Mohon tunggu...
Aidhil Pratama
Aidhil Pratama Mohon Tunggu... Administrasi - ASN | Narablog

Minat pada Humaniora, Kebijakan Publik, Digital Marketing dan AI. Domisili Makassar.

Selanjutnya

Tutup

Nature Pilihan

Dampak Perubahan Iklim: Produktivitas Turun, Ketimpangan Meningkat

9 September 2024   16:31 Diperbarui: 9 September 2024   16:42 118
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan berbagai keragaman budaya, kini menghadapi ancaman serius dari perubahan iklim. 

Wilayah-wilayah panas seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi korban nyata dari dampak perubahan ini. 

Yang mengkhawatirkan, dampaknya tidak hanya terbatas pada lingkungan fisik, tetapi juga merambat ke bidang sosial dan ekonomi, memperburuk ketimpangan yang sudah ada. 

Pertanyaan yang muncul adalah: mengapa wilayah-wilayah panas ini semakin tertinggal? 

Jika kita melihat laporan World Bank tahun 2023, jelas bahwa wilayah-wilayah dengan suhu lebih tinggi seperti NTT menghadapi tantangan besar dalam hal produktivitas ekonomi. 

Ketika suhu naik, produktivitas di bidang-bidang seperti pertanian dan perikanan, yang menjadi andalan masyarakat lokal, menurun drastis. 

Tidak hanya itu, akses terhadap air bersih dan kebutuhan dasar lainnya semakin sulit. 

Dengan kondisi tergambar tadi, wajar jika daerah-daerah tersebut kesulitan untuk bersaing dengan kota-kota seperti Bandung yang lebih sejuk dan berkembang pesat (World Bank, 2023). 

Bukan hanya faktor iklim yang berperan di sini. 

Ada mekanisme ketimpangan yang lebih dalam yang diakibatkan oleh perubahan iklim. 

Studi yang dilakukan oleh Noah Diffenbaugh dan Marshall Burke (2022) menjelaskan bahwa perubahan iklim secara global memperburuk ketimpangan ekonomi antara negara-negara beriklim panas dan dingin. 

Negara-negara yang sudah panas cenderung lebih terpengaruh secara negatif oleh pemanasan global, sementara negara-negara dingin, seperti Norwegia, justru diuntungkan. 

Hal yang sama dapat kita lihat di Indonesia: wilayah seperti NTT terus tertinggal, sementara kota-kota besar di wilayah yang lebih sejuk terus tumbuh. 

Ini bukan kebetulan, tetapi akibat langsung dari perubahan suhu global yang tidak proporsional dampaknya. 

Jika dilhat lebih dalam, salah satu penyebab ketimpangan ini adalah ketergantungan wilayah panas pada sektor-sektor ekonomi yang sangat rentan terhadap perubahan iklim. 

NTT, misalnya, sangat bergantung pada pertanian dan perikanan. 

Kedua sektor ini sangat sensitif terhadap perubahan suhu dan pola cuaca. 

Dengan musim kering yang semakin panjang dan curah hujan yang tidak menentu, produktivitas pertanian menurun drastis. 

Ini mengakibatkan pendapatan masyarakat turun dan memperlebar jurang ketimpangan antara NTT dan daerah-daerah lain yang lebih maju (Diffenbaugh & Burke, 2022). 

Yang ironis adalah, wilayah-wilayah ini malah kontribusinya minimal terhadap pemanasan global. 

NTT, dengan tingkat emisi karbon yang jauh lebih rendah dibandingkan Jakarta atau Surabaya, harus menanggung beban paling berat dari dampak perubahan iklim. 

Kebijakan-kebijakan nasional sering kali tidak memperhitungkan ketidakadilan ini. 

Seringkali, fokus kebijakan terletak pada mitigasi di wilayah-wilayah yang sudah berkembang, sementara daerah-daerah yang lebih panas dan tertinggal seperti NTT kurang mendapatkan perhatian yang memadai (Guivarch, Taconet, & Méjean, 2021). 

Dalam konteks sosial budaya, perubahan iklim juga membawa dampak signifikan. 

Di wilayah-wilayah beriklim panas, banyak budaya lokal yang bergantung pada alam kini terancam hilang. 

Tradisi pertanian, yang telah diwariskan dari generasi ke generasi, mulai terkikis karena kondisi alam yang tidak lagi mendukung. 

Masyarakat yang dulu hidup berdampingan dengan alam kini dipaksa untuk mencari alternatif ekonomi yang sering kali tidak sesuai dengan budaya lokal mereka. 

Proses ini tidak hanya merusak perekonomian, tetapi juga mengancam keberlangsungan budaya yang telah hidup selama ratusan tahun. 

Lebih dari itu, perpindahan penduduk dari daerah panas ke kota-kota besar menciptakan dinamika sosial baru yang tidak selalu positif. 

Ketika penduduk dari daerah panas pindah ke kota-kota besar untuk mencari pekerjaan yang lebih baik, mereka sering kali menghadapi kesulitan beradaptasi dengan kehidupan perkotaan yang serba cepat dan kompetitif. 

Ini menciptakan segregasi sosial baru di kota-kota besar, di mana penduduk asli kota merasa "terancam" oleh masuknya pendatang dari daerah panas. 

Akibatnya, muncul ketegangan sosial yang memperburuk situasi, baik di kota maupun di daerah asal para pendatang (World Bank, 2023). 

Jadi, bagaimana kita seharusnya merespons masalah ini? 

Tentu, solusi jangka panjang harus mencakup kebijakan yang lebih adil dan berkelanjutan. 

Mitigasi perubahan iklim perlu difokuskan pada daerah-daerah yang paling rentan, seperti NTT. 

Lebih dari itu, perlu ada upaya untuk mendiversifikasi ekonomi di wilayah-wilayah panas, sehingga masyarakat tidak lagi terlalu bergantung pada sektor-sektor yang rentan terhadap perubahan iklim. 

Pengembangan sektor-sektor baru yang lebih tahan terhadap perubahan iklim, seperti industri pariwisata berkelanjutan atau energi terbarukan, bisa menjadi solusi yang layak (Guivarch et al., 2021). 

Pada akhirnya, perubahan iklim bukan hanya tentang suhu yang semakin panas atau cuaca yang semakin ekstrem. 

Ini adalah masalah ketimpangan yang semakin melebar, baik di tingkat global maupun di dalam negeri. 

Dan jika kita tidak segera mengambil tindakan, ketimpangan ini akan terus tumbuh, meninggalkan daerah-daerah panas seperti NTT semakin jauh di belakang. 

Dalam skenario yang lebih buruk, kita mungkin akan melihat daerah-daerah ini tenggelam, tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga secara sosial dan budaya.

Referensi:
- Diffenbaugh, N., & Burke, M. (2022). For Whom the Bell Tolls: Climate Change and Inequality. [Link](http://www.elibrary.imf.org/view/journals/001/2022/103/article-A001-en.xml)
- World Bank. (2023). Indonesia Country Climate and Development Report. [Link](https://www.worldbank.org/en/country/indonesia/publication/indonesia-country-climate-and-development-report)
- Guivarch, C., Taconet, N., & Méjean, A. (2021). Linking Climate and Inequality. [Link](https://www.imf.org/en/Publications/fandd/issues/2021/09/climate-change-and-inequality-guivarch-mejean-taconet)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun