Tentu, solusi jangka panjang harus mencakup kebijakan yang lebih adil dan berkelanjutan.Â
Mitigasi perubahan iklim perlu difokuskan pada daerah-daerah yang paling rentan, seperti NTT.Â
Lebih dari itu, perlu ada upaya untuk mendiversifikasi ekonomi di wilayah-wilayah panas, sehingga masyarakat tidak lagi terlalu bergantung pada sektor-sektor yang rentan terhadap perubahan iklim.Â
Pengembangan sektor-sektor baru yang lebih tahan terhadap perubahan iklim, seperti industri pariwisata berkelanjutan atau energi terbarukan, bisa menjadi solusi yang layak (Guivarch et al., 2021).Â
Pada akhirnya, perubahan iklim bukan hanya tentang suhu yang semakin panas atau cuaca yang semakin ekstrem.Â
Ini adalah masalah ketimpangan yang semakin melebar, baik di tingkat global maupun di dalam negeri.Â
Dan jika kita tidak segera mengambil tindakan, ketimpangan ini akan terus tumbuh, meninggalkan daerah-daerah panas seperti NTT semakin jauh di belakang.Â
Dalam skenario yang lebih buruk, kita mungkin akan melihat daerah-daerah ini tenggelam, tidak hanya secara ekonomi, tetapi juga secara sosial dan budaya.
Referensi:
- Diffenbaugh, N., & Burke, M. (2022). For Whom the Bell Tolls: Climate Change and Inequality. [Link](http://www.elibrary.imf.org/view/journals/001/2022/103/article-A001-en.xml)
- World Bank. (2023). Indonesia Country Climate and Development Report. [Link](https://www.worldbank.org/en/country/indonesia/publication/indonesia-country-climate-and-development-report)
- Guivarch, C., Taconet, N., & Méjean, A. (2021). Linking Climate and Inequality. [Link](https://www.imf.org/en/Publications/fandd/issues/2021/09/climate-change-and-inequality-guivarch-mejean-taconet)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H