Negara-negara yang sudah panas cenderung lebih terpengaruh secara negatif oleh pemanasan global, sementara negara-negara dingin, seperti Norwegia, justru diuntungkan.Â
Hal yang sama dapat kita lihat di Indonesia: wilayah seperti NTT terus tertinggal, sementara kota-kota besar di wilayah yang lebih sejuk terus tumbuh.Â
Ini bukan kebetulan, tetapi akibat langsung dari perubahan suhu global yang tidak proporsional dampaknya.Â
Jika dilhat lebih dalam, salah satu penyebab ketimpangan ini adalah ketergantungan wilayah panas pada sektor-sektor ekonomi yang sangat rentan terhadap perubahan iklim.Â
NTT, misalnya, sangat bergantung pada pertanian dan perikanan.Â
Kedua sektor ini sangat sensitif terhadap perubahan suhu dan pola cuaca.Â
Dengan musim kering yang semakin panjang dan curah hujan yang tidak menentu, produktivitas pertanian menurun drastis.Â
Ini mengakibatkan pendapatan masyarakat turun dan memperlebar jurang ketimpangan antara NTT dan daerah-daerah lain yang lebih maju (Diffenbaugh & Burke, 2022).Â
Yang ironis adalah, wilayah-wilayah ini malah kontribusinya minimal terhadap pemanasan global.Â
NTT, dengan tingkat emisi karbon yang jauh lebih rendah dibandingkan Jakarta atau Surabaya, harus menanggung beban paling berat dari dampak perubahan iklim.Â
Kebijakan-kebijakan nasional sering kali tidak memperhitungkan ketidakadilan ini.Â