Indonesia, sebagai negara kepulauan dengan berbagai keragaman budaya, kini menghadapi ancaman serius dari perubahan iklim.Â
Wilayah-wilayah panas seperti Nusa Tenggara Timur (NTT) menjadi korban nyata dari dampak perubahan ini.Â
Yang mengkhawatirkan, dampaknya tidak hanya terbatas pada lingkungan fisik, tetapi juga merambat ke bidang sosial dan ekonomi, memperburuk ketimpangan yang sudah ada.Â
Pertanyaan yang muncul adalah: mengapa wilayah-wilayah panas ini semakin tertinggal?Â
Jika kita melihat laporan World Bank tahun 2023, jelas bahwa wilayah-wilayah dengan suhu lebih tinggi seperti NTT menghadapi tantangan besar dalam hal produktivitas ekonomi.Â
Ketika suhu naik, produktivitas di bidang-bidang seperti pertanian dan perikanan, yang menjadi andalan masyarakat lokal, menurun drastis.Â
Tidak hanya itu, akses terhadap air bersih dan kebutuhan dasar lainnya semakin sulit.Â
Dengan kondisi tergambar tadi, wajar jika daerah-daerah tersebut kesulitan untuk bersaing dengan kota-kota seperti Bandung yang lebih sejuk dan berkembang pesat (World Bank, 2023).Â
Bukan hanya faktor iklim yang berperan di sini.Â
Ada mekanisme ketimpangan yang lebih dalam yang diakibatkan oleh perubahan iklim.Â
Studi yang dilakukan oleh Noah Diffenbaugh dan Marshall Burke (2022) menjelaskan bahwa perubahan iklim secara global memperburuk ketimpangan ekonomi antara negara-negara beriklim panas dan dingin.Â