Gemintang malam itu sangat banyak. Semua serba elok. Jutaan serangga bersuara memuja indahnya. Pertunjukan Yang Maha Esa. Manusia ataupun makhluk lainnya mengalami ketertundukan yang tidak bisa ditawar. Manusia mungkin sempat berpikir, bahwa adanya sesuatu adalah murni karya manusia itu sendiri.Â
Mereka lupa dengan kaidah ilahi. Ada sebuah ruang yang tidak mungkin ditembus manusia. Itulah takdir. Yang terjadi dan yang berwujud itu adalah rapalan doa-doa manusia. Tuhan tidak butuh dibuat tempat untuk bertunduknya manusia. Namun, hanya Tuhan yang bisa mengabulkan doa-doa dalam ketertundukan itu.
Kamu bisa lihat, Mir. Langit malam ini sebegitu indahnya. Mana mungkin aku tidak bisa melihatnya lama-lama. Semua tergantung kamu, Ven. Mati cepat, atau perlahan. Atau masih nanti-nanti. Semua itu pilihan. Bagaimana jika aku milih kamu, Mir? Menjijikkan. Aku ini seksi. Cantik. Putih mulus. Tapi tidak bisa jatuh cinta denganmu. Asu, kan? Tapi malah pilih duda brengsek. Biarin. Suka-suka akulah. Ya udah. Diem. Jangan ngomel terus. Siapa yang mulai?
Tuhan menciptakan manusia bukan karena Ia ingin disembah. Tapi faktanya, hanya Tuhan yang berhak disembah. Seperti itu skenarionya. Tapi manusia banyak yang mengacuhka. Mereka lebih memilih menyembah nafsunya.
Malam itu, wajah mereka dipenuhi kekaguman dan kesyukuran terhadap gemintang yang berbaris elok. Ada yang diam di tempat. Ada yang menggoda rembulan. Ada yang sibuk menyibak hijab malam. Itulah kemukus. Kemukus selalu kelihatan beda. Tidak pernah serupa dengan yang lainnya. Kemukus memang bandel. Tantrum. Tidak bisa tenang menikmati siklus malam.Â
Dua mata Aven menangkap kebandelannya. Ada kepuasan yang tak terperi. Namun, Lumbung lebih suka dengan bintang yang bergelayutan di lengan rembulan. Itulah puncak cinta yang tidak terdefinisikan oleh apa pun. Lumbung selalu berharap waktu berkenan berhenti agar siklus malam terjadi lebih lama.
 "Kamu tahu, kenapa malam ini banyak bintang?" tanya Aven di sela-sela kekaguman mereka pada gemintang.
"Tidak!"
"Bintang itu sengaja menemuiku. Sebab itu, malam ini aku ada di loteng ini. Naluriku selalu benar. Percayalah wahai bujang lapuk!"
"Tidak usah membual!"
"Kira-kira di antara gemintang itu ada malaikat tidak, ya?"
"Ada!" seru Lumbung penuh semangat.
"Malaikat apa?"
"Maut. Dan, kamu yang akan ditemuinya!"
"Hei, Bujang! Malaikat pun juga tahu mana yang pantas menghadap Tuhan duluan!"
"Aku juga belum pantas. Memangnya Tuhanmu bagaimana? Apa Ia juga punya malaikat?"
Nah. Benar, kan, Mir. Lumbung belum menjadi manusia kepompong. Ia belum berganti kulit. Sama. Tetap sama. Paradigma hidupnya masih sama. Kaku. Kolot. Kentel. Itulah kenapa, kamu bertemu aku, Ven. Aku ini memang rujukan hidupmu. Banyak pola pikirmu dari hasil mensitasi pikiranku. Aku memang begini. Apa adanya. Tapi aku seksi. Menggemaskan. Menggairahkan. Tidak. Biasa saja. Tapi kenapa kamu gemetar saat menggendongku dulu. Eh, bangsat. Dulu itu aku sekarat. Sesekaratnya aku, tapi masih ingat kamu. Mabuk, ya mabuk. Kenapa harus terhuyung di aspal. Untung saja, aku tidak bernafsu dengan manusia model kamu. Kan, aku tidak tahu, Ven. Bisa saja kamu nafsu, tapi nggak gentle mau bilang. Jadi, ya kutolong saja. Andai aku mati Ketika itu, kan ada kamu, Mir. Minimal jasadku tidak hanyut oleh malam. Ah. Sudahlah. Pokoknya aku cantik. Putih. Ngegemesin. Â
"Tuhanku mungkin sedang mengabulkan doa orang-orang yang di Gereja. Bisa juga Ia lagi di Kuil. Tangan Rahmah-Nya sedang membelai manja para pemuja! Tuhanku Mahabaik. Kepada semuanya. Tidak terkotak-kotak oleh rapalan iman."
"Memangnya kamu masih beriman?"
"Iman itu bukan parade tanya jawab. Itu sakral. Privat!"
"Kamu tidak bisa berpikir sekarang. Kamu percaya ada Tuhan, kan?"
"Percaya. Tapi tidak pada agama. Agama-agama yang kamu kenal itu tak ubahnya sebuah baju. Tidak kekal. Bentar lagi juga hancur. Coba, ternyata agama yang kamu imani saat ini hanyalah sebuah dongeng pengantar tidur. Apa kamu masih bisa mempertahankan agamamu itu?"
"Tapi sayangnya itu cuma berandai-andai saja!"
"Tuh, kan! Membela agama yang kamu imani sejak lahir saja tidak bisa. Hm. Makanya, kamu tidak perlu bertanya kapan aku menyembah Tuhan dengan baju agama!"
"Apa itu yang membuatmu tidak beragama?"
"Tapi aku bertuhan. Yang terpenting bukan masalah itu!"
"Lalu apa?"
"Sekali lagi, agama itu bukan parade tanya jawab. Agama itu bukan materi untuk perdebatan. Agama itu eksklusiv. Hamba dan Tuhan. Itu saja, kok!"
"Lalu kenapa ada kebenaran dalam agama?"
"Pertanyaan bagus! Mulai besok, kamu harus membuang pecimu yang lebih mirip bandana itu, yah. Kamu nggak bakat jadi Pak Ustaz. Ngerti?"
"Kamu mau menghindar atau mau menyerah dengan permainan otakmu?"
"Tiap agama pasti punya standar kebenaran masing-masing. Tiap pemeluknya wajib mempercayai itu. Silakan kamu menganggap agama lain itu salah, tapi jangan diteriakkan dengan semena-mena. Toleransi harus tetap dibangun. Agamamu bikin ribet, yah?"
"Sudah. Percuma aku membahas tentang agama. Kamu sendiri saja tidak punya agama!"
"Siapa yang bilang? Agamaku itu 'Semesta'! Aku tidak butuh agama saat memberi makan orang yang lapar. Aku juga tidak butuh ayat-ayat Tuhan untuk menyantuni anak yatim. Agamaku juga nurani!"
"Itu hanya alibimu saja untuk tidak terikat dengan aturan yang baku!"
"Bagiku semuanya punya aturan. Semesta juga punya aturan."
"Bukankah aturan itu untuk dijalankan?"
"Benar. Tapi aturan tidak punya hak memangkas hak hidupku!"
"Sekarang aku tanya. Jika saja agama itu tidak ada, bagaimana memahami kehidupan ini?" Lumbung terus mengejar Aven.
"Itu, kan, masih 'jika', berarti belum pasti!"
"Kalau begitu siapa yang gendeng?"
"Kita berdua!"
"Kok, bisa?"
"Karena kita telah mendewakan agama. Kita melupakan Sang Pemilik agama itu sendiri. Gendeng, kan?"
Lumbung mendadak diam. Kerut-kerut di keningnya mulai tampak. Lumbung sedang dalam proses berpikir hebat. Aven yang melihat itu hanya bisa tersenyum kecil. Aroma kemenangan dan kepuasan mulai tercium dari wajahnya. Aven tahu betul keadaan itu. Aven tahu betul jika sahabatnya sedang terjebak dalam logika yang seharusnya tidak perlu dinego.Â
Satu hal itu yang selalu menjadi titik perhatian Aven terhadap sahabatnya. Lumbung kerap terpenjara dalam logika yang seharusnya tidak perlu ia pikirkan. Menurutnya, hal itu juga yang menyebabkan Lumbung terkesan kaku dan praktis dalam berpikir. Tapi bagaimanapun itu, ruang kesadaran Aven lebih luas dari penjara yang memasung pikiran Lumbung. Aven lebih butuh Lumbung yang seperti itu. Lumbung yang selalu menentang dan bertanya tentang semua sesuatu kepada Aven.
Tuh, kan. Butuh Lumbung yang kaku. Kolot. Patuh pada aturan. Tidak toleran dalam aturan Tuhan. Sekarang gini saja, Ven? Pilih aku yang seksi sekali ini, atau Lumbung yang pola pikirnya mirip buldoser? Ah. Mir. Kita semua sama. Kita bukan pilihan. Aku sayang kamu. Sebagai manusia pemabuk. Bukan manusia seksi. Nggak bikin gairah. Â
"Agama itu tidak perlu jadi materi perdebatan, Mbung! Itu poinnya."
"Kamu benar juga."
"Setiap agama punya standar kebenaran masing-masing. Berdiskusi tentang siapa yang benar, ibarat memasukkan tubuh onta ke dalam kecilnya lubang jarum. Itu ajaran agamamu, kan?"
"Itu memang ayat Tuhan. Kamu tahu itu?"
"Untuk sekadar tahu itu, aku tidak butuh agama. Bukankah Tuhan pula yang menyuruh kita untuk membaca dengan nama-Nya?"
"Memang seperti itu. Benar apa yang kamu bilang. Ternyata dari tadi kita sedang berusaha memasukkan tubuh onta ke dalam kecilnya lubang jarum!"
"Lalu?"
"Yaah!? Sebagai temanmu, aku berharap yang terbaik buat kamu. Perihal kamu punya agama atau tidak, itu tak penting bagiku. Bagiku agamaku, bagimu agamamu. Selesai!"
"Panggil aku Suhu!" Aven berseloroh
"Kunam!"[1]Â
Â
"Malam ini bintang banyak sekali. Sayang mereka tidak memberiku satu gelas kopi."
Â
"Kamu masih mau di sini?"
Â
"Iya. Tapi harus dengan kopi. Sebentar aku turun ke dapur."
Â
Lumbung tidak menjawab. Hanya dua bahunya yang terlihat bergerak. Aven bergegas menuruni tangga dan menuju dapur.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H