"Ada!" seru Lumbung penuh semangat.
"Malaikat apa?"
"Maut. Dan, kamu yang akan ditemuinya!"
"Hei, Bujang! Malaikat pun juga tahu mana yang pantas menghadap Tuhan duluan!"
"Aku juga belum pantas. Memangnya Tuhanmu bagaimana? Apa Ia juga punya malaikat?"
Nah. Benar, kan, Mir. Lumbung belum menjadi manusia kepompong. Ia belum berganti kulit. Sama. Tetap sama. Paradigma hidupnya masih sama. Kaku. Kolot. Kentel. Itulah kenapa, kamu bertemu aku, Ven. Aku ini memang rujukan hidupmu. Banyak pola pikirmu dari hasil mensitasi pikiranku. Aku memang begini. Apa adanya. Tapi aku seksi. Menggemaskan. Menggairahkan. Tidak. Biasa saja. Tapi kenapa kamu gemetar saat menggendongku dulu. Eh, bangsat. Dulu itu aku sekarat. Sesekaratnya aku, tapi masih ingat kamu. Mabuk, ya mabuk. Kenapa harus terhuyung di aspal. Untung saja, aku tidak bernafsu dengan manusia model kamu. Kan, aku tidak tahu, Ven. Bisa saja kamu nafsu, tapi nggak gentle mau bilang. Jadi, ya kutolong saja. Andai aku mati Ketika itu, kan ada kamu, Mir. Minimal jasadku tidak hanyut oleh malam. Ah. Sudahlah. Pokoknya aku cantik. Putih. Ngegemesin. Â
"Tuhanku mungkin sedang mengabulkan doa orang-orang yang di Gereja. Bisa juga Ia lagi di Kuil. Tangan Rahmah-Nya sedang membelai manja para pemuja! Tuhanku Mahabaik. Kepada semuanya. Tidak terkotak-kotak oleh rapalan iman."
"Memangnya kamu masih beriman?"
"Iman itu bukan parade tanya jawab. Itu sakral. Privat!"
"Kamu tidak bisa berpikir sekarang. Kamu percaya ada Tuhan, kan?"
"Percaya. Tapi tidak pada agama. Agama-agama yang kamu kenal itu tak ubahnya sebuah baju. Tidak kekal. Bentar lagi juga hancur. Coba, ternyata agama yang kamu imani saat ini hanyalah sebuah dongeng pengantar tidur. Apa kamu masih bisa mempertahankan agamamu itu?"