Â
Parodi yang menyajikan bagaimana elegannya senja melukis semesta telah berakhir. Senja pergi entah ke mana. Malam benar-benar telah menunjukkan eksistensinya.Â
Â
Lalang sudah berdiri di beranda. Sementara Aven masih sibuk dengan pakaiannya. Lumbung segera menyalakan mobil. Acara malam itu adalah mengisi perut sepenuh-penuhnya dengan pecel tumpang Pak Djan.
Â
Pecel tumpang. Makanan itu sangat sederhana. Disajikan di wadah sederhana dan dijajakan di warung yang sederhana. Namun, rasa makanan itu memang tidak termaafkan. Rasa yang dihasilkan dari tempe busuk yang terbalut santan itu benar-benar membuat lidah melemas, kemudian meleleh. Kata Lumbung, aneka bentuk lidah sudah merasakan nikmatnya tersiram kuah tumpang Pak Djan. Lidah-lidah itu selalu histeris, katanya menambahkan.Â
Â
Tepat pukul tujuh malam mereka berangkat. Hanya butuh sepuluh menit untuk sampai di warung itu.Â
Â
Lumbung segera meminggirkan mobilnya. Puluhan motor dan mobil berebut tempat. Parkiran penuh sesak. Warung Pak Djan didemo banyak manusia. Pak Djan lalu kabur? Tidak. Pak Djan pemberani. Satu persatu pendemo diterima dan dilayani dengan baik.
Â