Di kota itu, misalnya, masih bisa ditemui nenek-nenek yang hanya mengenakan kemben dan duduk-duduk di halaman rumah. Pemandangan itu semakin menarik tatkala mereka duduk saling membelakangi. Satu paling depan, kemudian ada yang duduk di belakangnya. Begitu seterusnya. Biasanya sampai lima orang bahkan lebih. Itulah warisan budaya kuno yang terkenal dengan tradisi petan-petan. Tradisi petan-petan adalah aktivitas mencari kutu yang hidup gemuk di antara rambut-rambut. Simbolisasi kekerabatan sangat kentara dari aktivitas itu.Â
Â
Meski Kertosono terus-terusan digigit waktu, kearifan lokal kota tetap terasa hangat sampai sekarang. Perbedaan SARA tidak bisa menjadi alasan terjadinya gesekan dalam kehidupan bermasyarakat. Gereja, Masjid, Kelenteng dan tempat peribadatan yang lain berdiri kukuh berdampingan. Toleransi horizontal sangat terlihat jika rumah-rumah ibadah itu sedang melakukan aktivitasnya masing-masing. Apalagi dalam momen-momen peribadatan yang besar.
Â
Kertosono selalu ramah untuk siapa saja dan untuk umat apa saja. Kertosono adalah cermin keberagaman manusia dengan keyakinannya. Pecel tumpang mengajarkan memahami perbedaan. Kertosono menerapkannya dengan sangat sempurna.Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H