Mohon tunggu...
Mustofa Ludfi
Mustofa Ludfi Mohon Tunggu... Lainnya - Kuli Tinta

Bapak-bapak Beranak Satu :)

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Siluet-Buku I (Tuhan Maha Pemberi Kejutan)-7

31 Agustus 2024   13:18 Diperbarui: 31 Agustus 2024   13:24 41
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Lalu apa yang kamu takutkan?"

"Aku tidak takut apa pun. Itu hanya masalah persepsi mereka. Mereka bohong berpendapat tentangnya. Cemara memang gaduh, tapi bulu matanya selalu teduh. Aku mundur beberapa langkah dari Cemara. Aku duduk di kursi yang tidak jauh darinya. Cemara masih membatu. Layang-layang itu tetap belum usai. Aku selalu suka dengan cara Cemara melukis layang-layang." Tatapan mata Lalang kosong. Ia sedang tidak berada di sebelah Aven. Ia sedang sibuk bersama Cemara. Ada tembok kukuh yang tak kasat mata.

Aven merasakan ketakjuban yang tidak terukur. Baginya, cerita tentang Cemara lebih mengguncang hatinya dari pada saat ia tahu bahwa ia telah terserang penyakit ganas yang menggerogoti hatinya. Cerita tentang Cemara telah meniupkan nyawa baru dalam kecemasannya; kecemasan tentang ajal yang bergegas datang. 

Sehingga baginya, ajal itu adalah barang bajakan yang berharga sangat murah dan sangat mudah di dapat. Apa artinya mati sekarang, besok, lusa atau tahun depan. Semua sama. Tak berbeda sedikit pun. Aven tidak peduli dengan perihal kematian yang setiap saat akan menjemputnya. Aven menjadi amnesia jika di dalam tubuhnya ada sebuah monster ganas yang siap menjungkalkannya ke dalam lubang kematian. Begitulah Aven. Sang pengembara kehidupan. Sang penantang sejati. Aven Semesta! Mirna sepakat dengannya. Mati hanya urusan waktu. 

"Ada nyawa baru dalam diriku. Aku tak pernah tahu tentangnya. Ia menarikku untuk memikirkannya. Bahkan jika mungkin menemuinya. Yang kutahu saat ini kamu sangat menyayangi Cemara!" 

"Waktu itu aku menemaninya sampai ia selesai melukis layang-layang. Namun pada titik di mana aku tejebak oleh suasana, tangan halusnya telah hinggap di pundakku. Aku balas sentuhannya dengan menyapanya lembut. Tapi ia memilih diam. Hanya air matanya yang meleleh. Aku pun ikut menangis bersamanya. Aku semakin sayang pada Cemara. Ia terus menangis. Merengkuh tubuhku. Pelukan tangannya sangat kuat. Aku merasakan jutaan molekul cemas mengalir dalam tubuhnya. Aku juga memeluknya erat, sangat erat. Aku benar-benar tidak ingin melepaskan tubuh Cemara. Entah, sudah berapa kali jarum jam berputar, dan aku masih di situ bersama Cemara. Memeluknya dengan erat, sangat erat ..."

Aven hanya bisa terdiam. Ia tidak mampu berbuat lebih saat Lalang kembali menjatuhkan bulir-bulir air matanya. Ada perasaan emosi yang mendalam di hati Lalang. Ingin saja Aven menyelam ke dalam lautan hatinya. Ia sadar. Aven tidak punya cukup oksigen untuk persediaan bernapas saat berada di dalam palungnya. Itu bukan masalah perhitungan hati atau rasa yang tiba-tiba muncul begitu saja, tapi itu adalah cerita Tuhan yang sebenarnya memang bersambung. Melengkapi. Dan tentu saja, semua ada jawabannya. 

Suasana sedang misterius-misteriusnya. Tetiba saja tubuhnya merasakan lemas. Seperti biasanya. Sejak dulu. Sekarang, ajaib. Cemara datang meniupkan energi. Hawa hangat merasuki tubuhnya. Sejak saat itu, ketidakpercayaan Aven pada obatnya mencapai puncak. Cemara menjelma obat. Akan ia genggam selamanya. Menghadapi monster yang mengigiti livernya. Mirna benar. Ia pernah berkata, jika sudah saatnya monster itu akan pergi darinya. Ketika itu Mirna sedang mabuk. Sempoyongan. Meracau. Menyebut-nyebut nama duda tak beranak. Aven memapahnya sampai ke sofa kontrakan. Lalu pamit. Dan Mirna, sambil menunjuk perut Aven, berkata: Aku benci sekali dengan Monster itu. Pada saatnya, ia akan pergi. Dan kamu hidup Bahagia selamanya. Bersamaku. Bersama anak-anak kita. Aven segera pergi. Mirna selalu begitu.   

Tepat sesuai perkiraannya. Satu setengah jam terlewat, bus berhenti di terminal Jombang. Aven akan ke dukuh Paruk. Lalang akan ke Jogja. Menjemput Cemara. Jalan yang berbeda. Aven ingin membuat takdirnya sendiri. Bukan tentang Kun lagi. Bang Udin. Mirna. Atau Lumbung yang sudah jinak di rumah. Ini takdir baru. Tentang Cemara. Lalang. Dan -mungkin- masih banyak lagi di ujung sana nanti. 

"Mungkin ini terdengar sangat konyol bahkan bisa dibilang gila. Kamu boleh tertawa sepuasnya." Aven menghela napas sejenak, "Aku boleh ikut kamu bertemu dengannya?"

"Kamu tidak mengenalku." Lalang terkejut.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun