"Memang begitu faktanya sekarang. Ini kehendak kehendak yang di sana," sahut Aven tanpa ekspresi.
"Ia tidak melihat itu."
"Lalu?" Dua bahu Aven terangkat.
"Ia tidak sekali dua kali bercerita tentang seseorang yang selalu ada di dekatnya. Orang itu berambut sebahu, lurus. Cemara bilang, belum pernah ia bertemu orang seperti itu di dunia ini. Manusia dari dimensi yang beda. Tidak sama seperti kita. Kadang merasa asik, tapi tidak jarang ia juga terusik. Orang itu kerap memberi kabar kepadanya. Yang seharusnya datang lebih lambat. Yang tidak boleg diketahui terlebih dahulu. Tentang rahasia langit. Mungkin itu aku menyebutnya."Â
"Misalnya?" Sekarang dua alis Aven yang terangkat.
"Ia selalu tahu akan suatu hal yang orang lain belum tahu. Sesuatu yang tidak boleh dibagi, sebenarnya. Misalnya ia bilang; jika tetangga sebelahnya akan berduka karena suaminya meninggal. Orang-orang menganggap ia sedang miring otaknya. Tapi tidak. Suami itu benar-benar meninggal. Parahnya, ia pamitan kepadanya. Cemara pun hanya bisa pasrah. Dengan muka pucat. Cemara menangis tanpa air mata, seperti ketakuan. Merasa bersalah. Mengetahui tanpa bisa menyelamatkan. Ia lelah dengan itu semua. Ia hanya berharap, dunia berputar pada semestinya. Lalu kemudia ia buta akan pertanda itu. Biarlah semua terjadi. Tanpa harus dikabarkan. Terjadi sesuai alur dan kesepakatan yang berlaku."
"Itu firasat?" potong Aven cepat.Â
"Aku tidak tahu!" Lalang menampakkan wajah tegang dan serius.
"Ia bisa melihat kehidupan yang tak mungkin kita lihat, kan? Indigo istilahnya?"
"Iya. Tapi ia bukan indigo. Sudahlah. Kita berbeda, mungkin ada perbedaan. Jadi, sulit paham tentang Cemara," kata Lalang sedikit kesal. Cepat-cepat Aven menetralkan suasana
"Aku minta maaf. Cemara datang di hidupku sebagai sesuatu yang asing. Tapi aku merasakan perbedaan itu."Â