Mohon tunggu...
Mustofa Ludfi
Mustofa Ludfi Mohon Tunggu... Lainnya - Kuli Tinta

Bapak-bapak Beranak Satu :)

Selanjutnya

Tutup

Roman Pilihan

Siluet-Buku I (Tuhan Maha Pemberi Kejutan)-7

31 Agustus 2024   13:18 Diperbarui: 31 Agustus 2024   13:24 90
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Sumber Gambar: Kompasiana

Aven mencoba melukisnya melalui garis-garis di wajah Lalang. Lalang teduh. Cemara -mungkin- tidak jauh beda. Lalang misterius. Juga Cemara. Ia terus mengkalimatkan keduanya. Perempuan itu diam. Menerawang jauh. Tidak mungkin mencuri dengar kalimat-kalimat Aven di hatinya.

Aven bermain peran. Ia mencoba membuat deskripsi. Fatamorgana. Tapi ia nyata, katanya meyakinkan. Lalang dan Cemara itu menggenapi. Saling menyumbang energi. Saling menyerap napas kehidupan. Sehingga Lalang adalah Cemara dan Cemara adalah Lalang. Mereka tidak berbeda. Mereka berdua adalah sama. Darah mereka sama dan detak jantungnya juga sama. Cemara mati maka Lalang akan menyusul. Jadi, rumah kaca itu adalah takdir yang ia buat sendiri. Ia Yakini sendiri. Sebagai sebuah jalan panjang yang harus ditempuh. Dicari ujungnya. Jika bisa, sekalian dengan pintunya. Tapi, ah. Aku tidak punya hak. Itu haknya, hak mereka. 

Aven kembali dari dimensi itu. Suara lembut Lalang memanggilnya dengan cepat.

"Ia pernah bercerita tentang rumah kaca. Semua dindingnya berupa kaca. Ada ia di mana-mana. Ia cemas. Dirinya tidak pernah satu. Ia putus asa!" Lalang kembali berkisah.

"Lalu?" 

"Dalam kemarahan yang luar biasa. kaca-kaca itu ia pecahkan. Habis tak tersisa. Harapannya hanya satu: "ia bisa utuh". Ketika serpihan kaca itu berhamburan, dirinya menjadi semakin banyak. Dalam serpihan-serpihan itu selalu ada ia. Ia dikepung ketakutan yang tidak pernah ia ketahui."

"Mengapa ia takut?"

"Aku dan Bunda juga sering bertanya. Tapi ia memilih untuk bungkam. Ia kerap membanting tubuhnya ke hamparan kehidupan yang samar. Absurd. Ia selalu menangis. Cemara selalu bertanya: Kenapa ia selalu ada dalam kaca? Tapi pertanyaan itu tidak pernah ada jawabannya. Ia masih tetap dalam rumah kaca. Ia selalu ketakutkan." Kalimat Lalang terdengar sangat berat. Ada bulir-bulir air mata yang menetes dari bola matanya lagi. Sebagian besar wajahnya telah basah.

"Apa yang sering ia risaukan lagi?"

"Waktu yang lebih cepat datang."

"Memang begitu faktanya sekarang. Ini kehendak kehendak yang di sana," sahut Aven tanpa ekspresi.

"Ia tidak melihat itu."

"Lalu?" Dua bahu Aven terangkat.

"Ia tidak sekali dua kali bercerita tentang seseorang yang selalu ada di dekatnya. Orang itu berambut sebahu, lurus. Cemara bilang, belum pernah ia bertemu orang seperti itu di dunia ini. Manusia dari dimensi yang beda. Tidak sama seperti kita. Kadang merasa asik, tapi tidak jarang ia juga terusik. Orang itu kerap memberi kabar kepadanya. Yang seharusnya datang lebih lambat. Yang tidak boleg diketahui terlebih dahulu. Tentang rahasia langit. Mungkin itu aku menyebutnya." 

"Misalnya?" Sekarang dua alis Aven yang terangkat.

"Ia selalu tahu akan suatu hal yang orang lain belum tahu. Sesuatu yang tidak boleh dibagi, sebenarnya. Misalnya ia bilang; jika tetangga sebelahnya akan berduka karena suaminya meninggal. Orang-orang menganggap ia sedang miring otaknya. Tapi tidak. Suami itu benar-benar meninggal. Parahnya, ia pamitan kepadanya. Cemara pun hanya bisa pasrah. Dengan muka pucat. Cemara menangis tanpa air mata, seperti ketakuan. Merasa bersalah. Mengetahui tanpa bisa menyelamatkan. Ia lelah dengan itu semua. Ia hanya berharap, dunia berputar pada semestinya. Lalu kemudia ia buta akan pertanda itu. Biarlah semua terjadi. Tanpa harus dikabarkan. Terjadi sesuai alur dan kesepakatan yang berlaku."

"Itu firasat?" potong Aven cepat. 

"Aku tidak tahu!" Lalang menampakkan wajah tegang dan serius.

"Ia bisa melihat kehidupan yang tak mungkin kita lihat, kan? Indigo istilahnya?"

"Iya. Tapi ia bukan indigo. Sudahlah. Kita berbeda, mungkin ada perbedaan. Jadi, sulit paham tentang Cemara," kata Lalang sedikit kesal. Cepat-cepat Aven menetralkan suasana

"Aku minta maaf. Cemara datang di hidupku sebagai sesuatu yang asing. Tapi aku merasakan perbedaan itu." 

"Perbedaan itu memang ada. Tapi aku ingin satu frekuensi dengannya. Ia selalu jauh melangkah. Aku masih di sini!"

"Apa yang bisa kamu jelaskan lagi tentangnya? Aku berharap, semoga Tuhan menyeretku ke tempat Cemara."

"Maksudnya?"

"Aku ingin tahu lebih jauh tentang peritiwa-peristiwa itu!"

"Satu lagi. Ia pernah mengatakan jika ia sangat takut dengan ruangan yang serba putih. Banyak orang berjalan tergesa-gesa. Ia melihat, mereka itu hendak menghabisinya."

"Cemara melihat apa?" 

"Tempat itu serupa neraka baginya." Lalang menghela napas sebentar. Dengan mata berkaca dia kembali berkisah, "Beberapa kali Cemara berlari sangat kencang dan menjauh dari ruangan itu sejauh-jauhnya. Semua orang hanya melihatnya dengan mata nanar dan dengan jutaan tanya yang menggantung di kepala. Menurutnya, dirinya akan dikuliti oleh mereka yang berpakaian putih-putih."

"Cemara manusia hebat."

"Barangkali, inilah dunia itu. Dunia yang selalu menghamburkan kerlip cahaya. Dunia yang selalu membuat mata buta. Dunia yang membuat Cemara dianggap gila!"

"Aku bisa merasakan kegetiran yang kamu rasakan. Tapi apa kamu harus menghakimi dunia ini? Biarlah dunia menjalankan kehendak-Nya dengan caranya sendiri. Kita lihat dan nikmati saja. Aku rasa, Cemara pun demikian. Ia lebih mengerti tentang dunianya."

"Beberapa hari yang lalu, sebelum menghilang, aku melihatnya melukis layang-layang. Beberapa kali aku menyapanya. Tapi layang-layangnya belum usai. Cemara membatu, hanya jari-jarinya yang bernyawa. Sesekali juga kedipan matanya. Aku terus memandanginya. Aku melihat ada surga di wajahnya. Bulu-bulu matanya selalu teduh. Seperti Bunda. Membuat kami selalu merasa terlindungi. Terayomi."

"Lalu apa yang kamu takutkan?"

"Aku tidak takut apa pun. Itu hanya masalah persepsi mereka. Mereka bohong berpendapat tentangnya. Cemara memang gaduh, tapi bulu matanya selalu teduh. Aku mundur beberapa langkah dari Cemara. Aku duduk di kursi yang tidak jauh darinya. Cemara masih membatu. Layang-layang itu tetap belum usai. Aku selalu suka dengan cara Cemara melukis layang-layang." Tatapan mata Lalang kosong. Ia sedang tidak berada di sebelah Aven. Ia sedang sibuk bersama Cemara. Ada tembok kukuh yang tak kasat mata.

Aven merasakan ketakjuban yang tidak terukur. Baginya, cerita tentang Cemara lebih mengguncang hatinya dari pada saat ia tahu bahwa ia telah terserang penyakit ganas yang menggerogoti hatinya. Cerita tentang Cemara telah meniupkan nyawa baru dalam kecemasannya; kecemasan tentang ajal yang bergegas datang. 

Sehingga baginya, ajal itu adalah barang bajakan yang berharga sangat murah dan sangat mudah di dapat. Apa artinya mati sekarang, besok, lusa atau tahun depan. Semua sama. Tak berbeda sedikit pun. Aven tidak peduli dengan perihal kematian yang setiap saat akan menjemputnya. Aven menjadi amnesia jika di dalam tubuhnya ada sebuah monster ganas yang siap menjungkalkannya ke dalam lubang kematian. Begitulah Aven. Sang pengembara kehidupan. Sang penantang sejati. Aven Semesta! Mirna sepakat dengannya. Mati hanya urusan waktu. 

"Ada nyawa baru dalam diriku. Aku tak pernah tahu tentangnya. Ia menarikku untuk memikirkannya. Bahkan jika mungkin menemuinya. Yang kutahu saat ini kamu sangat menyayangi Cemara!" 

"Waktu itu aku menemaninya sampai ia selesai melukis layang-layang. Namun pada titik di mana aku tejebak oleh suasana, tangan halusnya telah hinggap di pundakku. Aku balas sentuhannya dengan menyapanya lembut. Tapi ia memilih diam. Hanya air matanya yang meleleh. Aku pun ikut menangis bersamanya. Aku semakin sayang pada Cemara. Ia terus menangis. Merengkuh tubuhku. Pelukan tangannya sangat kuat. Aku merasakan jutaan molekul cemas mengalir dalam tubuhnya. Aku juga memeluknya erat, sangat erat. Aku benar-benar tidak ingin melepaskan tubuh Cemara. Entah, sudah berapa kali jarum jam berputar, dan aku masih di situ bersama Cemara. Memeluknya dengan erat, sangat erat ..."

Aven hanya bisa terdiam. Ia tidak mampu berbuat lebih saat Lalang kembali menjatuhkan bulir-bulir air matanya. Ada perasaan emosi yang mendalam di hati Lalang. Ingin saja Aven menyelam ke dalam lautan hatinya. Ia sadar. Aven tidak punya cukup oksigen untuk persediaan bernapas saat berada di dalam palungnya. Itu bukan masalah perhitungan hati atau rasa yang tiba-tiba muncul begitu saja, tapi itu adalah cerita Tuhan yang sebenarnya memang bersambung. Melengkapi. Dan tentu saja, semua ada jawabannya. 

Suasana sedang misterius-misteriusnya. Tetiba saja tubuhnya merasakan lemas. Seperti biasanya. Sejak dulu. Sekarang, ajaib. Cemara datang meniupkan energi. Hawa hangat merasuki tubuhnya. Sejak saat itu, ketidakpercayaan Aven pada obatnya mencapai puncak. Cemara menjelma obat. Akan ia genggam selamanya. Menghadapi monster yang mengigiti livernya. Mirna benar. Ia pernah berkata, jika sudah saatnya monster itu akan pergi darinya. Ketika itu Mirna sedang mabuk. Sempoyongan. Meracau. Menyebut-nyebut nama duda tak beranak. Aven memapahnya sampai ke sofa kontrakan. Lalu pamit. Dan Mirna, sambil menunjuk perut Aven, berkata: Aku benci sekali dengan Monster itu. Pada saatnya, ia akan pergi. Dan kamu hidup Bahagia selamanya. Bersamaku. Bersama anak-anak kita. Aven segera pergi. Mirna selalu begitu.   

Tepat sesuai perkiraannya. Satu setengah jam terlewat, bus berhenti di terminal Jombang. Aven akan ke dukuh Paruk. Lalang akan ke Jogja. Menjemput Cemara. Jalan yang berbeda. Aven ingin membuat takdirnya sendiri. Bukan tentang Kun lagi. Bang Udin. Mirna. Atau Lumbung yang sudah jinak di rumah. Ini takdir baru. Tentang Cemara. Lalang. Dan -mungkin- masih banyak lagi di ujung sana nanti. 

"Mungkin ini terdengar sangat konyol bahkan bisa dibilang gila. Kamu boleh tertawa sepuasnya." Aven menghela napas sejenak, "Aku boleh ikut kamu bertemu dengannya?"

"Kamu tidak mengenalku." Lalang terkejut.

"Sebentar lagi. Aku akan mengenal kalian. Kisahmu tentangnya membuatku susah untuk tidak ikut ke Jogja! Tapi ini bisa kamu tolak," jelas Aven dengan wajah penuh pengharapan.

"Iya. Tapi ini bukan tujuan yang sudah punya arah pasti!" seru Lalang.

"Perjalanan ini sudah pasti. Tinggal kita menuju ke sana. Apa aku boleh ikut denganmu?" Aven tidak ingin menyerah.

"Kita ini asing?"

"kamu tidak salah. Aku sudah terlanjur sangat tergila-gila untuk ikut denganmu."

"Kamu serius? Apa yang bisa kamu jaminkan untukku?"

"Aku tidak punya apa-apa. Aku hanya punya keyakinan!" tegas Aven. Lalang merenung sejenak. Kemudian bersuara lagi.

"Kita harus lewat mana untuk sampai di stasiun kereta?"

"Kita?" Aven terkejut lagi. "Jadi?"

"Apa kita harus menunda waktu lagi?"

"Kita naik bus. Aku ada teman baik di Kertosono. Jika berkenan, kita bisa mampir di sana sejenak. Ia dan keluarganya pasti akan sangat senang jika kamu berkenan mampir ke rumahnya. Aku jamin, kamu pasti suka. Mereka ramah. Baik. Semuanya, pokoknya," jawab Aven panjang. Lalang memikirkan sesuatu.

"Kamu yakin?" 

"Yakin. Bahkan sangat yakin!" Aven berseru. Banyak semangat di dua bola matanya. Ia dan Lalang sedang mengusulkan takdirnya? Tentang Aven, Mirna selalu punya gambaran tentangnya. Ia seperti melihat Aven punya takdir yang bisa ia rangkai sendiri. Sejak, ia ditolong karena mabuk, Mirna melempar janji, tidak akan pernah melepaskan laki-laki itu.

"Tunggu apa lagi?"

Wajah Aven berubah bentuk.

"Kita langsung ke sana!" ajak Aven cepat. Lalang mengangguk kemudian mengekor di belakangnya.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Roman Selengkapnya
Lihat Roman Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun