"Perbedaan itu memang ada. Tapi aku ingin satu frekuensi dengannya. Ia selalu jauh melangkah. Aku masih di sini!"
"Apa yang bisa kamu jelaskan lagi tentangnya? Aku berharap, semoga Tuhan menyeretku ke tempat Cemara."
"Maksudnya?"
"Aku ingin tahu lebih jauh tentang peritiwa-peristiwa itu!"
"Satu lagi. Ia pernah mengatakan jika ia sangat takut dengan ruangan yang serba putih. Banyak orang berjalan tergesa-gesa. Ia melihat, mereka itu hendak menghabisinya."
"Cemara melihat apa?"Â
"Tempat itu serupa neraka baginya." Lalang menghela napas sebentar. Dengan mata berkaca dia kembali berkisah, "Beberapa kali Cemara berlari sangat kencang dan menjauh dari ruangan itu sejauh-jauhnya. Semua orang hanya melihatnya dengan mata nanar dan dengan jutaan tanya yang menggantung di kepala. Menurutnya, dirinya akan dikuliti oleh mereka yang berpakaian putih-putih."
"Cemara manusia hebat."
"Barangkali, inilah dunia itu. Dunia yang selalu menghamburkan kerlip cahaya. Dunia yang selalu membuat mata buta. Dunia yang membuat Cemara dianggap gila!"
"Aku bisa merasakan kegetiran yang kamu rasakan. Tapi apa kamu harus menghakimi dunia ini? Biarlah dunia menjalankan kehendak-Nya dengan caranya sendiri. Kita lihat dan nikmati saja. Aku rasa, Cemara pun demikian. Ia lebih mengerti tentang dunianya."
"Beberapa hari yang lalu, sebelum menghilang, aku melihatnya melukis layang-layang. Beberapa kali aku menyapanya. Tapi layang-layangnya belum usai. Cemara membatu, hanya jari-jarinya yang bernyawa. Sesekali juga kedipan matanya. Aku terus memandanginya. Aku melihat ada surga di wajahnya. Bulu-bulu matanya selalu teduh. Seperti Bunda. Membuat kami selalu merasa terlindungi. Terayomi."