Udara sejuk kota Batu meniupi tubuhnya dengan segala keluesannya. Tiupan-tiupan halusnya seolah menjelma selimut tebal seperti saat ia di Mahameru. Hampir saja bola matanya mengatub. Batu menawarkan sejuta kesejukan. Surga sebelum surga di sana. Begitu katanya.
Batu adalah tetangga terdekat wilayah Malang di sebelah barat. Batu merupakan pintu pertama untuk meninggalkan Kota Madya Malang. Batu seperti pintu pertama yang harus ia buka. Selanjutnya, aka nada banyak pintu yang harus ia tembus; ia lewati.
Aven sedang berada dalam kegaduhan para penumpang yang searah dengannya. Bus yang ia tumpangi seperti ingin muntah dan mengeluarkan semua yang ada di lambungnya. Bayangkan saja. Kursi penumpang hanya berjumlah tiga puluh. Namun saat itu, jumlah penumpang mencapai empat puluh lima orang. Itu pun belum termasuk sopir dan kondekturnya. Andai saja bus itu bernyawa, maka detik itu juga ia akan mengundurkan diri dari dunia ini. Benar kata Aven, dunia transportasi negeri ini memang kejam. Penuh penyiksaan. Rasa sakit di mana-mana.
Aven dapat tempat duduk di bokong bus. Kursi yang jumlahnya lima itu, yang semuanya berada di belakang, terpaksa berisi enam orang. Bokong seksinya dengan terpaksa harus terjepit oleh bokong ibu-ibu yang baru pulang dari pasar Batu.
Aroma sayuran busuk tercium dari jaritnya. Aven ingin muntah. Namun, ia menelan lagi isi lambungnya yang sudah sampai di ujung mulut. Ibu-ibu itu terlihat sangat asik mengamatinya. Air mukanya yang kusut menunjukkan bahwa mereka sedang digerayangi perasaan risih oleh aksi Aven menelan isi lambung yang harusnya meledak.
Di Mantung,[1] ibu-ibu pengunjung tetap pasar Batu itu turun. Tapi bokong seksinya harus terjepit lagi. Seorang bapak berumuran lima puluh tahun menggantikan ibu-ibu itu menjepit bokongnya. Dengan senyum yang berbalut asap, bapak itu meminta izin untuk menjepit bokongnya. Aven tidak punya pilihan lain selain mengangguk setuju. Meski karena anggukannya itu, ia harus berjuang melawan serbuan asap rokok yang mengepul bebas dari bibirnya.
Aven dilanda gelisah. Tapi bapak itu tidak bisa menangkap kegelisahannya. Asap tebal terus mengepul dari bibir hitamnya. Asap itu menyerangnya dari segala arah. Aven sempat berdehem beberapa kali. Isyarat tidak nyaman. Bapak itu tidak menyadari. Tidak semua berjenis kelamin lelaki bisa berkompromi dengan asap rokok.
Waktu cepat berlalu. Tidak terasa, bus sudah masuk wilayah Pait[2]. Aven membuka dua matanya. Bapak bibir hitam bergegas turun. Bus reot itu sudah bisa dibuat berjoget. Ada sekitar enam kursi yang kosong. Aven segera melepas napas lega. Bokongnya telah terbebas dari siksaan yang pedih.
Aven segera membuat perkiraan. Dengan memasuki Pait berarti satu setengah jam lagi ia akan sampai di Jombang. Angka digital yang ada di ponselnya menunjukkan Sembilan. Tidak kurang tidak lebih.
Aven merasa tidak pantas lagi duduk sendirian di bokong bus. Memilih pindah dan duduk di kursi tengah adalah opsi yang paling baik. Ia bergegas menuju kursi tengah. Begitu duduk, Aven tersenyum puas.
Tidak beberapa lama. Bus memelankan lajunya. Ada perempuan. Kira-kira seumuran dengannya. Melambaikan tangan. Bus berhenti tepat di depannya. Jerit suara kondektur mengejutkan hamper seisi bus.
Perempuan itu segera naik. Bus melaju lagi. Ia sedang memilih kursi yang paling nyaman. Di barisan kursi tengah, hanya kursi sebelahnya saja yang kosong. Perempuan itu akan duduk di bokong bus seperti ia sebelumnya. Ia sadar. Ia harus dihindari. Sebab, semua mafhum. Penampilannya ketika itu lebih mirip intel yang menyamar preman ketimbang sebagai backpacker.
Tapi Aven salah. Perempuan itu memilih duduk di sebelahnya. Ia tersenyum syukur. Tuhan sungguh Maha Adil. Tuhan mengobati semua penderitannya sejak tadi. Bahkan jejak dikepung bau sayur busuk dan asap rokok masih tampak jelas di sekujur pakaiannya.
Perempuan itu -cantik- beraroma angel heart. Parfum mahal, yang beberapa waktu lalu ia lihat dan cium di tubuh Mirna. Ia baru pulang dari Swiss. Liburan mengejar duda. Tidak beranak. Tapi brengsek. Mirna dibodoh-bodohi. Tapi, ah. Tidak. Mirna yang bodoh. Ah tidak juga. Cinta memang begitu. Menciptakan kebodohan. Bagi Mirna. Dan juga duda itu. Mirna pulang dengan tangan hampa. Duda itu bergeming. Ia tidak mau pulang. Cinta memang bodoh. Sebodoh aku mengikuti hasratku. Menurutku itu paling benar. Cinta tidak menyakitkan. Tapi faktanya hatiku remuk. Harusnya aku jatuh cinta padamu, Ven. Enak. Kamu hobinya hanya ngopi. Dan sebentar lagi mati. Enak. Aku janda. Eh, bukan. Apakah gelar bagi seorang pacar yang ditinggal mati pacarnya? Apa iya, harus iddah juga? Ya sudah. Tenang Aven. Lain kali. Carilah duda yang bodoh. Biar kalau bodoh ketemu bodoh -bisa jadi- mungkin bisa pinter. Kayak minus ketemu minus itu, lo. Jadinya, kan, plus. Mirna mengernyitkan kening. Memang tidak bisa dibantah. Ia memang bodoh. Tapi wajahnya ayu sekali. Apa kamu bisa jatuh cinta padaku, Ven? Sangat bisa. Tapi aku tidak bisa mencintai Perempuan sempurna. Kekasihku harus tidak sempurna. Biar kami saling menggenapi. Cinta itu harus begitu. Datang untuk melengkapi. Bukan mengusir pergi. Dudamu bagaimana, Mirna? Itu, kan, tipemu. Cerdas. Pinter. Bergelar Ph.D. tapi brengsek, Ven! Yah. Memang itu satu paket. Coba, sebutin satu saja, kebrengsekkanya. Barangkali ada padaku. Mirna diam. Dihantam godam. Tepat di dada. Lalu pergi. Percakapan itu tak pernah usai. Aven dan Mirna berpisah sebagai sahabat. Bukan sebagai sepasang pacar.
Angel heart. Kembali ke parfum itu. Beraroma wangi yang menusuk lubang hidung. Legalisasi kecantikan. Mahal. Perfek. Ah. Duduknya saja cantik. Belum kalau ia merentangkan kedua tangan. Mengurai Lelah di punggung. Atau, andai saja, tersenyum padanya. Laki-laki yang sedari tadi mengawasinya tanpa putus.
Aven memilih berpura-pura. Ia tidak peduli. Anugerah itu. Sampai akhirnya kondektur bus membuyarkan semuanya.
“Turun mana, Mbak?” Perempuan itu ditanya.
“Jombang!” jawabnya cepat. Satu sobek karcis melayang padanya. Kondektur berlalu darinya. Tak peduli kecantikannya. Semua sama. Bayar, dan pergi. Kecuali kalau ada susuk (kembalian). Kondektur akan kembali. Melubangi karcis penumpang. Bukti, jika transaksi susuk sudah selesai.
Aven diam. Perempuan itu diam. Bus melaju kencang. Aven menjaga diamnya. Perempuan itu juga. Di sebelahnya. Hanya beberapa kilan. Jika dimeterkan, sekitar 0,01 meter. Jarak yang haram bagi bukan muhrim. Ah. Peduli setan. Tuhan Maha Memaklumi.
Aroma angel heart menguasai semuanya. Indera penciumannya bekerja lebih giat lagi. Aven terkesiap. Tapi juga kaku. Nggak ngerti musti ngapain.
Perempuan itu tampak sengaja memilih mematung. Pandangannya lurus ke depan dan kosong. Jalan berkelok itu memang kosong. Bus melaju sendiri. Tidak ada yang mengganggu. Riak-riak kecil disikat semuanya.
Aven tidak ingin berhenti mengamati. Ada yang aneh di perepmpuan itu. Bukan. Bukan seperti yang terjadi pada Mirna. Ini bedea. Ngeri. Gelap. Guntur. Meledak-ledak. Apa yang sedang bergemuruh di hatimu?
Tetiba saja Kun datang. Duduk menguasai di antara mereka. Kun adalah laki-laki pemerkosa kopi. Tapi dalam situasi seperti itu, Kun sangat bisa diandalkan. Ia akan selalu mempunyai banyak cadangan kalimat. Ia selalu yang bisa mencairkan keadaan. Meski sudah membeku, dan bahkan membatu. Tapi lelaki tambun itu pamit pergi lagi. Siluet punggungnya menggoda Aven. Ia raih. Tapi raib.
Ah. Andai Kun tak pergi. Lalu, ikut bersamanya dalam bus itu. Praktis, situasi akan berbeda. Aven berkelakar. Setan! Andai mahkluk itu, Kun, menderita stroke dan diharamkan minum kopi.
Aven terkekeh. Menertawai kelakarnya sendiri. Liurnya muncrat. Menghantam punggung kursi depannya. Lamunan itu musnah. Lenyap tak tersisa. Tatapan perempuan itu mengancam sekali. Aven menjadi membeku, membatu. Ribuan sarafnya konslet. Tolong aku. Tolong lepaskan aku! Perempuan di sebelahnya Kembali diam. Menarik lagi ancamannya. Namun Aven, terlanjur terkurung rapat di dalam bola matanya. Tidak mungkin kabur. Sebab kebahagiaan itu ada di sana. Kelak. Semua. Semesta akan menjawabnya. Pasti.
Situasi mendadak berubah. Ia bersuara.
“Mas mau pergi ke mana?” tanyanya pelan. Merdu. Burung-burung mengepakkan sayap. Dan yang lain bercericit. Kalimat itu sampai pada mereka. Merdu. Merdu sekali.
“Jawa Tengah,” jawab Aven pendek. Ia gerogi. Mirna cantik. Ia cantik. Tapi denyut jantungnya berbeda. Barangkali itu cinta. Bullshit. Bohong besar.
“Oh. Jawa Tengah. Aku ke Jogja. Apa dari Jombang bisa membeli tiket kereta ke Jogja?” tanyanya lagi.
“Bisa. Ada stasiun kereta besar di Jombang. Naik saja dari sana. Ini kebetulan atau disengajakan, kayak di film-film.”
“Mas naik apa nanti?” Perempuan itu lebih memilih bertanya lagi.
“Aku lebih suka naik bus. Bus dari Jombang ke Jogja banyak. Tinggal pilih yang mana.” Senyum Aven mengembang. Perempuan itu melepasnya dari penjara matanya.
Semua kembali bening lalu hening. Hanya suara bising bus yang terdengar di telinga. Namun, di keheningan itu, terculik ingatan. Dan menempatkannya pada dimensi yang tak terlihat. Aven berada di suatu tempat. Di sana ada Kun berdiri menunggu. Seperti sudah ada kesepakatan dan janji. Tempat itu bernama Ranu Kumbolo.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H