Sama seperti Aven, Kun juga tergila-gila dengan dunia pendakian. Tubuh tambunnya tidak menghalanginya naik gunung. Dari satu pendakian ke pendakian yang lain, dari Panderman ke Mahameru. Tapi Kun tidak mempunyai cita-cita ke Eropa. Kun mengatakan jika Eropa itu terlalu jauh. Ia khawatir, Mbah Kelud akan kesepian tanpanya. Di Eropa tidak ada saudara kembar Mbah Kelud, kilahnya. Mereka tertawa. Menertawai kelucuan hidup. Bukan joke yang dipksa muncul oleh Kun. Aven memahami itu. Semua memahaminya. Sudut-sudut semesta juga melihatnya.
Sejak PKPT selesai, Kun dan Aven semakin tak terpisahkan. Aven memilih meninggalkan kontrakannya demi bisa hidup satu atap dengan Kun. Entah, Kun punya daya pemikat apa. Yang jelas selain nama besar Bung Karno, Kun tidak punya apa-apa lagi. Ia hanya laki-laki tambun yang sederhana, bersahaja dan apa adanya. Satu lagi, Kun tidak pernah sedikit pun ingin tahu tentang latar belakang Aven. Ia dari mana dan orang tuanya siapa. Kun hanya tahu jika Aven adalah mahasiswa baru Universitas Negeri Malang (UM) yang berasal dari Surabaya. Itu saja, nggak lebih.
Waktu berlari sangat cepat. Ia seperti bahtera yang tak punya jangkar raksasa untuk berhenti sejenak saja. Sang waktu telah menghabisi satu semester pertama masa kuliah mereka. Semua tetap baik-baik saja. Kun dan Aven tetap lengket, tetap suka kopi. Sampai akhirnya, mereka bertemu dengan Lumbung. “Lengkap sudah!” Seru Kun berkali-kali. Lumbung seperti orang linglung, air mukanya terus bertanya: Ada apa dengan orang tambun yang duduk di sebelahnya?
***
Siang itu, kafe Tungku sedang padat-padatnya. Dosen, mahasiswa, pegawai akademik sampai petugas listrik berkumpul di dalamnya. Asap rokok yang terlihat menyerupai kabut menyesaki kafe yang berukuran 5x5 meter persegi itu.
Ada beberapa yang terbatuk-batuk, ada juga yang mengibas-ngibaskan tangan kanan di depan wajahnya tanda alergi terhadap asap rokok. Para perokok itu seolah tidak punya mata. Mulut keruhnya seperti kereta. Asap terus mengepul dari tiap celahnya. Tebal. Semakin menebal asapnya.