“Sam[1]! Bagi kopinya. Peh[2]!” Suara Kun besar, serak dan memuakkan. Gelegarnya membuyarkan upacara pagi itu.
“Pancet, ae![3]” Aven menggerutu.
“Eh, kamu, kan, sudah kuanggap saudara sendiri, Sam!” Kun menampakkan wajah yang lugu. Aven bergeming. Pandangannya tetap lurus ke atas langit. Tangan besar Kun sudah meraih cangkir kopi yang duduk manis di sebelah kanannya. Hidung Kun mengembang seketika. Kepulan asap kopi dan udara Malang pada pagi hari berebut masuk ke dalamnya. Kun dijamah sesuatu yang tak kasatmata.
“Kamu dapat apa dari langit pagi ini?” tanya Kun lancar. Lidahnya sudah basah dengan kopi. Licin dan mudah untuk mengeluarkan suara.
“Pengen ngerti, ae![4] Ngopi saja!” seru Aven. Ia menekan kalimatnya. Kun segera memahami posisinya. Kun mengerti apa yang harus dilakukan. Ia bergegas menjauh. Kun tahu, Aven ingin sendiri. Ada kapal yang harus ditumpangi. Gelombang air laut akan membawanya ke sebuah waktu yang lebih jauh. Waktu yang telah dilewatinya bertahun-tahun. Tidak terbahasakan, terkalimatkan.
Kun tidak membekas lagi. Jejaknya ditelan udara.
***
Nama lengkapnya adalah Muhammad Kun Fayakun. Tapi teman kuliahnya banyak yang telanjur memanggil Kuntet. Menurut mereka, nama itu lebih melankolis untuk dirinya dengan postur tubuh yang tidak sedap dipandang mata. Perut buncit dan rambut kriwul. Hidung Kun juga sering mengembang dan bibirnya selalu sisa. Tapi Anita, wanita yang dipacarinya dua tahun terakhir, selalu mengatakan jika Kun itu sangat mirip sekali dengan Ben Joshua. Kun mendadak jadi kupu-kupu, melayang-layang. Menghiasi kepala Anita. Bulir-bulir waru menggenapinya.
Kun adalah sahabat sejati Aven. Ada Kun pasti ada Aven. Hanya kamar mandi saja yang memisahkan mereka, kata Anita dengan wajah yang sedikit merah. Anita sering kesal dengan Kun. Ia merasa jika Kun lebih tertarik dengan laki-laki yang bernama Aven ketimbang dirinya. Tapi Kun selalu punya cara untuk melunturkan warna merah di wajah Anita. Entah bagaimana caranya, Kun selalu membawa tiket nonton bioskop. Anita suka sekali dengan bioskop. Dan Kun, menjawabnya dengan baik. Berpelukaaaan!
Kun adalah anak kandung gunung Kelud. Rumah Kun selalu penuh dengan abu saat Mbah Kelud, Kun biasa menyebutnya, kentut. Lahar panas dan dingin keluar beriringan. Rumah Kun yang selalu terkena kentut Mbah Kelud itu berada di Jalan Podang No. 10, Udan Awu-Blitar, Jawa Timur.
Kun dilahirkan tepat saat Mbah Kelud sedang terkentut-kentut. Sudah seminggu Mbah Kelud diare, kata tulisan yang terpampang di papan pengumuman besar yang dipasang oleh tim penanggulangan bencana alam di radius lima kilometer dari pusat letusan.
Keluarga Kun sangat panik. Tapi mereka juga sangat bangga. Aneh. Kun digadang-gadang menjadi suksesor Bung Karno. Mereka berujar, Kun mengintip dunia saat Mbah Kelud kentut. Ibu Kun dengan bangga menceritakan obsesinya, tapi Kun kecil sering tidak percaya diri menikmati hari-harinya. Kun dihantui nama besar Bung Karno. Merdeka!
Kun berjodoh dengan Aven saat kali pertama mengikuti PKPT kampus. Keduanya sudah terlihat kompak sejak awal pertemanannya. Menurut Kun, panitia PKPT saat itu sungguh menyebalkan. Kun berkali-kali harus push-up. Kun tertatih-tatih. Tubuh Kun yang agak melebihi kapasitas membuatnya mengkis-mengkis[5] saat melakukan aktivitas dorong bumi itu, padahal baru tiga kali dorongan. Di belakangnya ada Aven yang menahan tawa. Ia berteriak, Bung Karno semakin jauh dari tubuh tambun Kun.
Tak hanya push-up, Kun juga harus menelan napas kakak-kakak panitia yang rasanya beraneka ragam. Kun benci sekali jika ada yang berteriak di dekat wajahnya. Maka di hari kedua PKPT, Kun merencanakan kabur dari kampus. Aven yang mendengar rencana itu mengamininya dengan sangat sungguh-sungguh. Dan di hari yang telah direncanakan itu, Kun dan Aven asik berkaraoke ria di Matos[6]. Kakak-kakak panitia yang hafal wajah Kun kelimpungan mencari tubuh tambunnya. Rasain, buruan kalian kabur!
Ada kesamaan antara Aven dan Kun, yakni sama-sama mual dengan agenda PKPT yang terkesan didramatisir oleh kakak-kakak panitia. Kesamaan itu diperkuat oleh kecintaan mereka terhadap serbuk kopi. Bedanya, Kun meminum kopi sebagai syarat agar tidak sakit kepala. Aven meminum kopi sekaligus meminum maknanya. Beda kasta; beda cara mencintai kopi. Tapi Kun dan Aven tetap terikat kuat dalam aromanya.
Sama seperti Aven, Kun juga tergila-gila dengan dunia pendakian. Tubuh tambunnya tidak menghalanginya naik gunung. Dari satu pendakian ke pendakian yang lain, dari Panderman ke Mahameru. Tapi Kun tidak mempunyai cita-cita ke Eropa. Kun mengatakan jika Eropa itu terlalu jauh. Ia khawatir, Mbah Kelud akan kesepian tanpanya. Di Eropa tidak ada saudara kembar Mbah Kelud, kilahnya. Mereka tertawa. Menertawai kelucuan hidup. Bukan joke yang dipksa muncul oleh Kun. Aven memahami itu. Semua memahaminya. Sudut-sudut semesta juga melihatnya.
Sejak PKPT selesai, Kun dan Aven semakin tak terpisahkan. Aven memilih meninggalkan kontrakannya demi bisa hidup satu atap dengan Kun. Entah, Kun punya daya pemikat apa. Yang jelas selain nama besar Bung Karno, Kun tidak punya apa-apa lagi. Ia hanya laki-laki tambun yang sederhana, bersahaja dan apa adanya. Satu lagi, Kun tidak pernah sedikit pun ingin tahu tentang latar belakang Aven. Ia dari mana dan orang tuanya siapa. Kun hanya tahu jika Aven adalah mahasiswa baru Universitas Negeri Malang (UM) yang berasal dari Surabaya. Itu saja, nggak lebih.
Waktu berlari sangat cepat. Ia seperti bahtera yang tak punya jangkar raksasa untuk berhenti sejenak saja. Sang waktu telah menghabisi satu semester pertama masa kuliah mereka. Semua tetap baik-baik saja. Kun dan Aven tetap lengket, tetap suka kopi. Sampai akhirnya, mereka bertemu dengan Lumbung. “Lengkap sudah!” Seru Kun berkali-kali. Lumbung seperti orang linglung, air mukanya terus bertanya: Ada apa dengan orang tambun yang duduk di sebelahnya?
***
Siang itu, kafe Tungku sedang padat-padatnya. Dosen, mahasiswa, pegawai akademik sampai petugas listrik berkumpul di dalamnya. Asap rokok yang terlihat menyerupai kabut menyesaki kafe yang berukuran 5x5 meter persegi itu.
Ada beberapa yang terbatuk-batuk, ada juga yang mengibas-ngibaskan tangan kanan di depan wajahnya tanda alergi terhadap asap rokok. Para perokok itu seolah tidak punya mata. Mulut keruhnya seperti kereta. Asap terus mengepul dari tiap celahnya. Tebal. Semakin menebal asapnya.
Lumbung terlihat sedang asik dengan secangkir kopi yang ada di depannya. Ia duduk sendiri di kursi paling sepi. Wajahnya kalem. Dari gerak tubuhnya, lelaki itu tak suka dengan keramaian. Introfet. Parah. Tak ada obat.
Kun menangkapnya basah. Di belakangnya, ada Aven. Ia menyemangati Kun menangkap buruannya. Tangan beradu genggam. Genggaman Kun yang lebih besar menelan habis genggaman Lumbung. Diusul Aven penuh semangat.
Lumbung sekarang tahu, manusia tambun di sebelahnya bernama Kun. Dan juga, Aven memperkenalkan namanya. Mereka duduk di meja yang sama. Pesanan yang sama: Kopi hitam!
Persahaban telah terjalin. Aven menyebutnya sebagai tiga serangkai yang jaring-jaring persahabatannya terekat kuat dalam aroma kopi. Penuh keajaiban. Sakti. Tidak akan tumbang dalam waktu yang lama. Hahaha. Kun terus mendesiskan tawa.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H