Akan ada banyak sekali pertanyaan mengenai tradisi, adat istiadat sampai dengan budaya yang dianut oleh masyarakat Jawa. Dari mulai tutur kata, bahasa, dan pola matematis dalam meniti kehidupannya.
Terdapat laku dan ajaran yang sampai saat ini masih diamalkan oleh kelompok masyarakat yang masih memegang teguh tradisi dan budaya tersebut.
Berangkat dari definisi yang menyatakan bahwa budaya merupakan hasil cipta, karya dan karsa manusia. Maka dalam membicarakan sekelumit warisan budaya Jawa tersebut begitu menyenangkan, selain banyak sekali preseden dan juga khazanah pengetahuan baru, bagi kaum muda saat ini khususnya, budaya Jawa juga menjadikan laku hidup lebih membumi. Hal ini sudah barang tentu banyaknya nilai kosmologi yang terdapat dalam budaya Jawa tersebut.Â
Hal unik yang sampai saat ini seringkali terdengar ialah sebuah hitungan weton, neptu dan yang satu rumpun dengannya. Mengapa hal itu terjadi?
Masyarakat yang masih memegang teguh budaya Jawa meyakini bahwa hitung weton atau neptu tersebut berpengaruh terhadap kehidupan seseorang, seperti halnya menyangkut keberuntungan atau kesialan (baca; nahas). Ditarik kepada hitungan tersebut, kalender.
Peran penting kalender memiliki pengaruh terhadap masyarakat jawa, dalam penentuan hari misalnya.
Dengan menggunakan kalender Jawa sebagai media dalam menentukan hari setelah mengetahui neptu dan juga weton maka muncullah peran dan fungsi dari kalender tersebut.
Kemudian pada masa lalu juga masyarakat Jawa sudah mengenal kalender, baik kalender Jawa kuno atau kalender Jawa baru, untuk menandai segala bentuk aktivitasnya. Atau biasa disebut dengan Pranata Mangsa.
Kalender Pranata Mangsa atau yang disebut juga dengan kalender musim tersebut telah digunakan sejak 22 Juni 1856 yang konon dipelopori oleh Pakoeboewono VII dan diperbaharui oleh Sri Paduka Mangkunegara IV.
Kalender Pranata Mangsa sudah barang tentu kalender dijadikan sebuah 'pakem' pada dunia agraria/pertanian atau bahari/kelautan dan Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika (BMKG) yang kiprah awalnya berangkat dari pengamatan yang dilakukan oleh Dr. Onnen, Kepala Rumah Sakit di Bogor pada 1841.
Sebab pada petani di masa lalu atau bisa disebut juga dengan istilah petani tradisional yang menggunakan 'ilmu titen' dalam membaca gejala alam atau juga untuk memulai segala sesuatunya.
Kalender Pranata Mangsa ini dalam sistemnya tetap mengacu pada kalender masehi atau dengan kata lain tetap mengikuti sistem orbit sebagaimana kalender masehi yang terdapat 365 atau 366 jumlah harinya, hanya saja yang membedakan kalender masehi dan juga kalender Pranata Mangsa tersebut adalah sistem pembagian bulan yang ada di dalamnya.
Dalam sistem pertanian, masyarakat pada era kiwari yang erat kaitannya dengan era milenium dan tak terlepas dari peran teknologi, lambat laun maka sistem kalender Pranata Mangsa tersebut mulai ditinggalkan dan menggunakan berbagai berbagai metode dalam memulai aktivitasnya, meskipun tidak dipungkiri bahwa masih terdapat masyarakat yang mengaplikasikannya meskipun mulai tergerus eksistensinya.
Dengan tidak lagi relevan atau alasan lain, semisal kondisi geografis yang tidak bisa dijadikan standar atau juga karena perubahan iklim yang tidak bisa lagi ditebak oleh orang tua.
Untuk memulai aktivitas dalam dunia pertanian, masyarakat Jawa Barat, khususnya Indramayu mungkin tidak asing dengan acara adat seperti, Sedekah Bumi, Unjungan, Ngarot, untuk memulai masa bercocok tanam atau 'tandur'. Kemudian ada juga 'Mapag Tamba' yang dilakukan untuk menjemput kemakmuran serta memohon untuk dijauhkan dari segala penyakit seperti hama.
Kemudian Mapag Sri ialah sebuah acara adat yang dilakukan sebelum atau sesudah masa panen. Dan hal tersebut tidak terlepas dari perhitungan waktu dalam pelaksanaannya, semisal menghindari hari tertentu atau harus di hari tertentu yang diharapkan mendapatkan berkah dari Sang Pencipta.
Oleh karenanya perhitungan 'weton' juga 'neptu' menjadi kunci dalam menentukan 'hari baik' tersebut.
Kalender Pranata Mangsa juga memiliki peran penting dalam masyarakat petani Jawa. Selain untuk mengetahui gejala alam, juga sebagai sebagai pertanda pergantian musim baik 'Labuhan' (peralihan musim kemarau menuju penghujan), 'Rendeng' (penghujan), 'Mareng' (peralihan musim dari penghujan ke musim kemarau atau pancaroba) dan juga 'Ketiga' (kemarau). Sehingga mangsa Labuh dan Mareng diartikan sebagai masa 'peralihan musim'.
Lebih detailnya mengenai kalender Pranata Mangsa beserta karakter hari didalamnya ialah sebagai berikut:
1. Kasa (kartika) 22 Juni - 1 Agustus terjadi dalam 41 hari
Pada masa ini disebut dengan Soca murca saking embanan yang dalam terjemah leterleknya 'permata yang terlepas dari cincinnya'.
Masa terang yang biasanya kering: sinar matahari 76 % kelembaban udara 60,1 %, curah hujan 67,2 mm, suhu udara 27,4 oC. Pada masa ini manusia merasa ada sesuatu yang hilang dalam alam, walau cuaca sedang terang.
Masa ini menandai dedaunan yang yang mulai mengering menjelang akhir bulan Juni. Kemarau mulai terasa dan kegiatan panen telah usai sehingga keadaan ini dimanfaatkan oleh petani untuk membersihkan sisa-sisa panen dan menebar pupuk organik dan waktu yang cocok untuk menanam palawija.
Dalam sumber lain dikatakan bahwa masa ini baik untuk mengawali atau melakukan pekerjaan karena semuanya akan selamat dan membuahkan hasil yang menggembirakan.
2. Karo (poso) 2 Agustus - 24 Agustus terjadi dalam 23 hari
Kemudian pada masa ini disebut dengan Bantala rengka yang ditandai dengan panas terik dan tanah sawah mulai rekah (Jawa; mletak), pasokan air berkurang dan hal ini juga ditandai dengan mulai keluarnya daun muda di pucuk pohon mangga, rambutan sampai pohon randu dan tradisi lisan Jawa menyebutnya dengan 'Kamididing'.
Dalam masa ini akan ditemui pertengkaran dan halangan besar. Hawa menjadi panas, curah hujan menjadi 32,2 mm.
3. Katelu 25 Agustus - 17 September terjadi dalam 24 hari
Masa ini disebut Suta manut ing bapa yang berarti 'anak mengikuti orang tuanya', hal ini sebagai penanda bahwa 'suta' yang diartikan sebagai anak ialah kiasan dari tumbuhan menjalar seperti ubi dan kacang panjang.
Kemudian kata 'bapa' ialah berarti kayu atau bambu untuk tumbuhnya tanaman menjalar tersebut. Hanya saja curah hujan naik lagi menjadi 42.2 mm. Sumur- sumur mulai kering dan angin yang berdebu. Saat ini kemarau semakin mengeringkan segala sesuatu namun palawija sudah siap di panen pada akhir masa ini.Â
4. Kapat (sitra) 18 September - 12 Oktober terjadi dalam 25 hariÂ
Masa ini disebut dengan Waspa kumembeng jroning kalbu. Pada bulan September ini lisan Jawa menyebutnya dengan 'sat-sate sumber' yang menandakan kemarau yang begitu terik dan. Dan saat ini pula burung mulai membuat sarang dan bertelur dan pohon kapuk atau randu mulai berbuah. Kemarau mulai berakhir, sinar matahari 72 %, kelembaban udara 26,7 oC.
Di Masa ini juga terdapat tanda baik dan kedudukannya ada pada tanda sri (subur) sebagai penanda dari banyaknya rizki dan keselamatan.
5. Kalima (manggala) 13 Oktober - 8 November terjadi dalam 27 hari
Di Masa ini sering disebut sebagai Pancuran mas sumawur ing jagad sebagai tanda dari adanya hujan pertama yang dalam curah hujannya hanya berjumlah sedikit namun seperti oase di padang pasir dan hal ini juga ditandai dengan munculnya hama hewan melata seperti ulat.
Saat ini curah hujan naik menjadi 151,1 mm dan pada masa ini terdapat banyak anak yang lahir dan dianugerahi keselamatan.Â
6. Kanem (naya) 9 November - 21 Desember terjadi dalam 43 hari
Masa ini disebut juga dengan Rasa mulya kasucen yang berarti 'rasa bahagia yang muncul dari kesucian' sebagai penanda dari banyaknya hujan yang turun dedaunan mulai rimbun dan ditandai dengan musim buah-buahan dan para petani mulai menggarap sawahnya. Saat ini curah hujan meninggi menjadi 402,2 mm.
7. Kapitu (palguna) 22 Desember - 2 Februari terjadi dalam 43 hari
Masa ini disebut juga dengan Wisa kentar ing maruta yang diartikan dengan 'bisa terbang dibawa angin'. Sebagai penanda bahwa pada bulan Kapitu ini angin bertiup kencang menerbangkan dan pula membawa penyakit.
Selain itu pada bulan ini juga curah hujan sedang tinggi dan terus-menerus sehingga cuaca menjadi dingin. Tak jarang pada masa ini juga sering terjadi banjir yang menimbulkan penyakit.
Pada saat ini pula petani sudah mulai menggarap sawah seperti menanam. Masa ini sinar matahari 67 %, kelembaban udara 80 %, curah hujan 501,4 mm dan suhu udara 26,2oC.
Mangsa kapitu yang terjadi pada bulan Desember dan juga Januari yang dalam lisan Jawa Desember seringkali diartikan sebagai 'gede-gedene sumber' sebagai penanda tingginya curah hujan dan Januari dilisankan sebagai 'ujan seari-ari' atau hujan setiap hari.
Pada masa ini seringkali ditandai dengan banyaknya orang bepergian dan pekerjaan dan di rumah banyak orang yang disibukkan dengan hal yang tidak penting.
8. Kawolu (wasika) 3 Februari - 28 Februari terjadi dalam 26 hari.
Masa ini disebut juga dengan Anjrah jroning kayu yang berarti 'berkat dan kebahagiaan di hati'. Musim ini ditandai dengan musimnya kucing kawin bermunculan pula hewan sejenis hama dalam tanah sebab tanaman padi sudah mulai meninggi sehingga mendatangkan harapan.
Pada sumber lain disebutkan bahwa pada masa ini sebagai masa kesendirian, karena ditinggal mati istri atau tidak beristri. Pada saat ini curah hujan 371,8 mm, meski tak jarang mendung dan kilat disertai petir.
9. Kasanga (jita) 1 Maret - 25 Maret terjadi dalam 25 hari.
Wedharing wacana mulya atau 'ungkapan mutiara kata'. Saat ini curah hujan menurun menjadi 252,5 mm.
Masa ini juga menandai curah hujan yang mulai mereda dan uir-uir atau tonggeret mulai bernyanyi di pepohonan yang disambut nyanyian cengkerik dan juga belalang yang sudah menetas dan keluar dari sarangnya. Keprihatinan dan akan ada banyak kehilangan adalah tanda dari mangsa ini.
10. Kasadasa (srawana) 26 Maret - 18 April terjadi dalam 24 hari.
Masa ini disebut juga dengan gedhong mineb jroning kalbu yang ditandai dengan banyaknya hewan yang berkembangbiak sebagaimana berbagai jenis burung banyak yang bertelur dan menetas. Sehingga sinar matahari 60 %, kelembaban udara 74 % curah hujan 1816,6 mm, suhu udara 27,8 o C.
Arti dari masa ini ini dapat pula diartikan sebagai masa memadu kasih atau gedhong mineb yang berarti 'pintu tertutup'. Dan masa ini juga padi telah mulai menguning.
11. Dhesta (pradawana) 19 April - 11 Mei terjadi dalam 23 hari.
Kemudian masa ini disebut dengan sotya sinarawedi yang juga berarti 'diakrabi, dikasihi' yang ditandai dengan burung yang sudah hinggap di tanaman padi sebab sumber pangan melimpah baik di sawah ataupun kebun dan kata sotya yang diartikan sebagai anak burung dan diartikan pula sebagai 'permata, intan' sebagai lambang kesuburan.
Pada sumber lain dikatakan bahwa masa ini akan banyak orang yang datang, keluarga atau rakyatnya akan selamat dan segala yang ditanam akan berbuah baik. Dan masa ini curah hujan turun menjadi 129,1 mm.
12. Sadha (asuji) 12 Mei - 21 Juni terjadi dalam 41 hari
Bulan terakhir dari sistem kalender Pranata Mangsa ini disebut dengan Tirta sah saking sasana yang diartikan dengan 'air kering dari sumbernya' sebagai tanda musim kemarau telah tiba yang ditandai dengan pepohonan yang mengering dan lisan Jawa menyebutnya dengan musim bedhidhing atau kamididing karena curah hujan naik lagi menjadi 149,2 mm, suhu udara mulai dingin.
Dengan kata lain masyarakat petani mengenal empat musim dalam satu tahun yakni;Â
1. 18 September - 21 Desember musim 'Labuhan' berjumlah 95 hari.
2. 22 Desember - 25 Maret musim 'Rendeng' berjumlah 95 hari.
3. 26 Maret - 21 Juni musim 'Mareng' berjumlah 88 hari.
4. 22 Juni - 17 September musim 'Ketiga' berjumlah 88 hari
Selain itu terdapat 'mangsa' yang meringkas 12 bulan menjadi 6 bulan dalam satu tahun dalam kalender Pranata Mangsa ini:
1. Mangsa terang, terjadi dari tanggal 12 Mei - 12 Agustus dengan jumlah 82 hari.
2. Mangsa paceklik, terjadi pada tanggal 2 Agustus - 24 Agustus dengan jumlah 23 hari.
3. Mangsa semplah, terjadi pada tanggal 25 Agustus - 8 November dengan jumlah 76 hari.
4. Mangsa udan, terjadi pada tanggal 9 November - 2 Februari dengan jumlah 86 hari.
5. Mangsa pengarep-arep, terjadi pada tanggal 3 Februari - 18 April dengan jumlah 75 hari.
6. Mangsa panen, terjadi pada tanggal 19 April - 11 Mei dengan jumlah 23 hari.
Selain itu dalam sistem perhitungan masyarakat Jawa juga sudah tidak asing dengan weton dan neptu, selain untuk menentukan hari penting semisal acara resepsi ataupun dalam menentukan hari untuk bercocok tanam dengan bilangan berikut kemudian ditambah yang kemudian juga dibagi dan lain sebagainya.
Minggu :5, Senin :4, Selasa: 3, Rabu: 7, Kamis:8, Jum'at:6, Sabtu :9
Sedangkan Neptu pasaran adalah sebagai berikut:
Pon:7, Wage :4, Kliwon :8, Legi : 5, Pahing :9
Sebagai contoh dalam bercocok tanam dengan contoh hari Minggu Kliwon neptunya = 5 + 8 = 13 , kemudian hasil 13 dari penjumlahan tersebut kita hitung dengan mengulang hitungan berikut sampai habis angka 13.
Oyot
Uwit
Godong
Uwoh
Lebih jelasnya seperti ini, mari kita ulang cara menghitung neptu Minggu Kliwon = 13 , dengan cara terperinci :
Oyot - Uwit- Godong- Uwoh
Oyot - Uwit- Godong- Uwoh
Oyot - Uwit- Godong- Uwoh
Oyot
Melihat hitungan diatas kita tahu jika neptu 13 jatuh pada hitungan oyot, berarti tanaman yg cocok pada neptu 13 adalah Jenis Tanaman yg panennya berupa 'oyot' atau akar seperti ubi dan semacamnya.
Dari sistem kalender Pranata Mangsa di atas yang juga terdapat cara perhitungan untuk waktu menanam telah menjadikan sebuah bukti bahwa khazanah keilmuan Jawa di masa lalu begitu mengagumkan.
Bukan hanya menyoal budaya 'anggah-ungguh' dalam tindakan, melainkan budayanya juga mengajarkan bagaimana hidup di Jawa dengan segenap warisan yang tak terhitung jumlahnya.Â
Sisi positifnya ialah generasi di masa depan dapat mengetahui betapa kayanya keilmuan orang terdahulu dan betapa telitinya manusia di masa lalu dalam membaca alam, meskipun hanya dengan pengamatan yang dilakukan berulang-ulang.
Meskipun kelemahan dari kalender Pranata Mangsa tersebut tidak bisa dilakukan disemua tempat namun setidaknya bisa menjadi gambaran dalam membaca suasana.
Namun karena kelemahan tersebut maka perlu adanya upaya dalam pengamatan yang lebih komprehensif agar kalender tersebut dapat kembali menjadi rujukan dalam dunia pertanian.
***
Di sini penulis menggunakan beberapa referensi dalam mengulik kalender Pranata Mangsa ini, pertama dengan dengan 2 buku Serat Centhini jilid 1 yang dituturkan ulang oleh Agus Wahyudi dan Penanggalan Jawa karya Harsono H Saputra, selebihnya mencari informasi lisan pada masyarakat dalam penggunaan sistem kalender tersebut.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H