Penegakan hukum merupakan pilar utama dalam menjamin keadilan dan ketertiban dalam suatu negara. Di berbagai negara, termasuk Indonesia, penegakan hukum sering kali bergantung pada political will atau kemauan politik dari pemerintah yang berkuasa. Kemauan politik adalah determinasi dari pemimpin politik atau pemerintah untuk mengambil langkah konkret dalam menegakkan hukum dan aturan, tanpa terkecuali. Dalam konteks Indonesia, political will ini dapat memengaruhi penegakan hukum dalam beberapa aspek penting, seperti penegakan konstitusi, tindak pidana khusus (seperti korupsi), serta pelanggaran dalam pemilu.
1. Penegakan Konstitusi
Penegakan konstitusi di Indonesia sering kali menjadi tantangan tersendiri, terutama ketika berhadapan dengan tarik ulur kepentingan politik. Political will yang kuat dari pemerintah dibutuhkan untuk menjaga konstitusi sebagai hukum tertinggi di negara ini. Sebuah penelitian yang dilakukan oleh Center for Strategic and International Studies (CSIS) menyatakan bahwa keberlanjutan demokrasi konstitusional di Indonesia sangat bergantung pada sikap pemerintah yang berkuasa, terutama dalam menghormati keputusan Mahkamah Konstitusi. Sayangnya, dalam beberapa kasus, keputusan Mahkamah Konstitusi sering kali tidak diimplementasikan secara penuh oleh pemerintah, yang mengindikasikan lemahnya komitmen pada supremasi hukum.
Penelitian lainnya oleh Indonesian Constitutional Court Watch (ICCW) menunjukkan bahwa sekitar 30% dari keputusan Mahkamah Konstitusi yang dikeluarkan selama periode 2015-2022 tidak sepenuhnya dilaksanakan oleh lembaga eksekutif. Hal ini menimbulkan pertanyaan serius tentang political will pemerintah untuk menegakkan hukum konstitusi secara konsisten.
2. Penegakan Hukum dalam Tindak Pidana Khusus: Korupsi
Korupsi merupakan salah satu tindak pidana khusus yang memiliki dampak besar terhadap stabilitas ekonomi dan kepercayaan publik. Di Indonesia, political will pemerintah sering kali tercermin dalam kebijakan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Data dari KPK menunjukkan bahwa sejak lembaga ini didirikan, terdapat lebih dari 1.357 perkara korupsi yang telah ditangani hingga tahun 2023. Meskipun demikian, efektivitas pemberantasan korupsi tetap bergantung pada sejauh mana pemerintah mendukung independensi KPK.
Menurut laporan tahunan KPK pada tahun 2023, terdapat penurunan jumlah operasi tangkap tangan (OTT) dibandingkan dengan tahun-tahun sebelumnya, di mana hanya 8 kasus OTT terjadi sepanjang tahun tersebut, turun dari 21 kasus pada tahun 2019. Hal ini memunculkan spekulasi di kalangan publik dan peneliti bahwa revisi Undang-Undang KPK pada tahun 2019, yang dinilai melemahkan kewenangan lembaga ini, berperan dalam menurunnya aktivitas penindakan terhadap pelaku korupsi.
Tabel berikut menunjukkan data penanganan kasus korupsi oleh KPK dalam beberapa tahun terakhir:
Tahun
Kasus Ditangani
Kasus OTT
Pejabat Negara Tersangka
Kerugian Negara (Triliun Rupiah)
2019
178
21
14
3.1
2020
119
7
8
1.5
2021
122
10
6
2.7
2022
113
9
10
2.3
2023
105
8
5
1.9
Dari tabel tersebut, terlihat adanya fluktuasi dalam jumlah kasus yang ditangani oleh KPK, namun yang mencolok adalah penurunan dalam jumlah OTT. Para peneliti dari Transparency International Indonesia mencatat bahwa political will pemerintah memainkan peran krusial dalam menjaga efektivitas KPK dalam memberantas korupsi.
3. Penegakan Hukum dalam Pelanggaran Pemilu
Dalam konteks pemilu, Indonesia telah menyaksikan berbagai bentuk pelanggaran yang mengancam proses demokrasi, termasuk politik uang dan manipulasi suara. Data dari Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menunjukkan bahwa pada Pemilu 2019, tercatat lebih dari 15.052 pelanggaran yang dilaporkan, mulai dari pelanggaran administratif hingga tindak pidana pemilu.
Laporan Bawaslu untuk Pemilu 2019 mengungkapkan bahwa dari total pelanggaran tersebut, sekitar 58% terkait dengan politik uang, dan 27% di antaranya melibatkan penggunaan fasilitas negara oleh calon petahana. Keberhasilan penindakan terhadap pelanggaran tersebut sangat dipengaruhi oleh political will pemerintah untuk memastikan proses pemilu yang bersih.
Berikut data jumlah pelanggaran pemilu berdasarkan laporan Bawaslu:
Jenis Pelanggaran
Jumlah Kasus (2019)
8.731
Penyalahgunaan Fasilitas Negara
4.064
Manipulasi Data Pemilih
1.257
Pelanggaran Administratif
1.000
Penindakan terhadap pelanggaran ini sering kali hanya bersifat administratif, yang menunjukkan political will pemerintah masih belum cukup kuat dalam memberikan sanksi tegas kepada pelaku, terutama yang terkait dengan politik uang dan penyalahgunaan fasilitas negara.
Penegakan hukum di Indonesia masih sangat bergantung pada political will pemerintah. Di satu sisi, ada upaya untuk memperkuat supremasi hukum, tetapi di sisi lain, ketergantungan yang besar pada kemauan politik sering kali menciptakan ketidakpastian dalam penegakan hukum. Penelitian dari berbagai lembaga seperti CSIS, Transparency International, dan Bawaslu menunjukkan bahwa political will yang lemah dapat menghambat penegakan hukum yang adil, baik dalam konteks penegakan konstitusi, pemberantasan korupsi, maupun pelanggaran pemilu.
Untuk memastikan bahwa hukum ditegakkan secara konsisten, diperlukan political will yang kuat dan berkelanjutan dari pemerintah, disertai dengan pengawasan yang ketat dari lembaga-lembaga independen. Political will yang kuat adalah fondasi penting untuk mewujudkan negara yang menjunjung tinggi rule of law dan keadilan bagi seluruh rakyat, Vox Populi, Vox Dei.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H