"Zulfi, boleh ikut jamaah?" tiba-tiba suara perempuan memanggilku dari arah belakang. Aku menoleh ke belakang dan mengecek suara siapa yang memanggilku.
Ya Allah, ternyata suara Zahra! Kataku dalam hati setengah terkejut.
Dia bersama satu temannya. Zahra adalah anak kelas lain. Dia ketua keputrian di SKI. Dulu aku sempat mengaguminya. Dari wajahnya, cara bicaranya, penampilannya, ilmu agamanya, sungguh membawa aroma surga. Tetapi aku merasa tak pantas untuk mendapatkannya.
"Iya, boleh," jawabku agak gugup.
Aku pun mundur mendekat ke tabir jamaah laki-laki dan perempuan yang seukuran pinggang. Kini pikiranku jadi kurang khusyuk. Bertarung antara berusaha khusyuk dan terbayang jamaah di belakangku. Rasanya sulit untuk khusyuk salatku kali ini.
"Zulfi, kami sudah siap," ucap Zahra mengingatkanku karena terlalu lama, belum juga takbirotul ikhrom.
"Oh ya, iya," jawabku agak kaget.
Kujalani salat dengan pikiran yang masih kacau. Setelah kekacauan oleh Aida, kini dikejutkan oleh Zahra. Pertemuan yang tidak aku duga.
      "Zulfi nanti pulang lewat arah mana?" tanya Zahra sambil keluar dari masjid. Tangannya membawa kitab terjemah Al-Quran yang dipeluk ke dadanya.
      "Aku ke arah terminal," jawabku.
      "Boleh kami ikut jalan bareng? Kami juga ke arah yang sama," pinta Zahra.