Mohon tunggu...
Ahmad W. al faiz
Ahmad W. al faiz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis.
Akun Diblokir

Akun ini diblokir karena melanggar Syarat dan Ketentuan Kompasiana.
Untuk informasi lebih lanjut Anda dapat menghubungi kami melalui fitur bantuan.

a little bird which surrounds this vast universe, does not necessarily change itself, becoming a lizard. Do you know why. Yes you do.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Frudem & Demokrasi Inklusive

19 Agustus 2024   13:07 Diperbarui: 19 Agustus 2024   13:13 54
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Frudem & Demokrasi Inklusive.

Tentu, semua orang mengenal tokoh-tokoh dalam sejarah bangsa, sebagai tokoh-tokoh dalam diskursus "Demokrasi dan Inklusivitas" yakni, tokoh-tokoh yang sebut, saja, Gus Dur (Abdurrahman Wahid): Mantan Presiden RI, tokoh NU, dikenal sebagai bapak pluralisme Indonesia. Rocky Gerung: Filsuf dan pengamat politik yang dikenal dengan pemikiran kritisnya. Emha Ainun Nadjib (Cak Nun): Budayawan, penyair, dan pemikir Islam yang terkenal dengan gagasan-gagasan progresifnya. Serta, Romo Franz Magnis-Suseno: Filsuf dan rohaniawan Katolik yang banyak menulis tentang etika dan filsafat politik. 

Mungkin, pula ada banyak peran dalam sentra diskursus mengenai ranah sosiologis konstruktif dalam relasi Demokrasi dan juga negara, namun, kita mengenal diantaranya yang menjadi akrab di ingatan kita, adalah nama-nama di atas, gelagat dan gerak panggung yang juga banyak melahirkan konsep dan gagasan teoritik, juga termasuk kritisisme terhadap otoritarianisme, sebagai suatu rekonstruksi gambaran, sistematika yang buruk dalam pendekatan represif-nya terhadap rakyat. 

Namun, di satu sisi yang lain, adalah bahwa topik-topik semacam, inkluisfitas demokrasi dan juga beberapa wacana yang seirama, turut serta lahir sebagai gagasan, dalam bentuk respons interaktif seca langsung objektif, maupun, dalam teameter dari temasentris demokrasi panggung - yang menempatkan lapangan struktural kekuasaan sebagai kritik di atas sistem pengaturan dan kesejahteraan rakyat yang memburuk, yang di arahkan pada suatu kordinat yakni, otoritarianisme, yang otoriter, dan sebagai contoh kasus dalam perbincangan historisnya, Orde Baru, sebagai suatu subjek yang dimaksud dalam mengkaji kebijakan di kemudian hari, sebagai suatu cermin masa lalu dari pasca runtuhnya Orde-Lama.

Saya, tidak ingin terkesan dalam suatu pembahasan yang melibatkan suatu sosok figurasi dalam menjembatani peristiwa tersebut, ialah, sebagai pertimbangan relevansi dalam lokalitas waktu yang tidak benar-benar saya begitu saksikan, sebagai bukti, yang hanya nyaris, sebagai suatu fakta literal, dari beberapa informasi yang beredar, dalam wacana, publik baik media, digital, dana dokumentasi pustaka, terutama yang masih saya ingat, mungkin di dalam benak saya.

Tapi, sebagai tawarannya adalah bahwa, secara deskriftif dan definitif, demokrasi yang ideal dan bertolak belakang dari gamabaran kekuasaan tirani, dan otoritarianisme, sebut saja, adalah sesuatu yang di gambarkan dalam batasan, baik juga ruang lingkup, yang tepat mengenai inklusifitas, dan asas atau pokok yang mendasar dalam demokrasi sebagai suatu kontruksi pemikiran sosial, yang secara defakto bahwa, demokrasi justru, merupakan subjektifitas individu, yang tidak mengakomodasi kolektifitas masa sebagai suatu kecerdasan yang personal, melainkan, integritas dalam ranah ini diartikan sebagai suatu, kompenen, plural, majemuk, yang integral dalam satu variable, integritas, yang bisa bernama apa saja dalam setiap skup dari ruang lingkup sistem definis bahasanya, baik secara kultural dan strukutral, yang diyakini sebagai landasan pokok dan mendasar.

Dengan, demikian, demokrasi inklusive dan inklusifitas di dalamnya dapat dilakukan dan dijembatani, di ruang paling ekstream pun seperti layaknya suatu situasi dan kondisi yang secara konstruktif merupakan kontra dari indikasi demokrasi dapat diklasifiksi. baik, secara, kriteria dan kategorinya.

"Dialog Inklusivitas Negara & Agama, Filsafat".

Ini menunjukkan bahwa forum ini membahas hubungan antara negara dan agama dalam konteks Indonesia, dengan pendekatan filosofis dan inklusif. Inklusivitas, yang bertolak ukur, mewakili berbagai perspektif: Islam (tradisional dan progresif), Katolik, dan pemikiran sekuler. Yang, seolah, ingin menggabungkan pandangan politik, agama, dan filsafat. Dengan, bertujuan untuk membangun dialog yang inklusif tentang peran agama dalam negara.

Demokrasi yang pada dikursusnya, menjadi suatu potensi topik diskusi, dalam interpretasi Pancasila dalam konteks modern, serta keseimbangan antara nilai-nilai agama dan prinsip negara sekuler. Dan prinsip, peran agama dalam pembentukan kebijakan publik. Sebagai, jalan yang memicu adrenalin pemikiran para akedemisi, dan tantangan pluralisme di Indonesia. Baik pun juga seputar, filsafat sebagai jembatan antara agama dan negara.

Forum semacam ini sangat penting untuk Indonesia, mengingat keragaman agama dan budaya di negara ini. Diskusi-diskusi seperti ini dapat membantu menemukan titik temu antara berbagai pandangan dan memperkuat fondasi demokrasi inklusif di Indonesia.

Demokrasi Inklusif:

- Menjembatani Keragaman dalam Bingkai Negara Indonesia.

Indonesia, sebagai negara dengan keragaman etnis, agama, dan budaya yang luar biasa, terus menghadapi tantangan dalam mewujudkan demokrasi yang benar-benar inklusif. Forum Demokrasi (Frudem) hadir sebagai wadah diskusi yang bertujuan mencari pokok dasar demokrasi inklusif di Indonesia, dengan fokus pada keterbukaan dan kesiapan menghadapi persaingan global.

Latar Belakang

Mari, kita, mulai dari suatu Forum yang turut memperbincangkan demokrasi pada era, trasisional sitemik, yang tidak berfokus pada paremeter rezim dan pembabakan waktu dalam dekade subjektifitas sejarahnya, dalam arti juga pada suatu ide yang terkait dari fase perkembangan demokrasi sebagai wawasan sistem yang turut mendampingin jalannya proses struktural pemerintahan dan kebijakan di dalamnya, dalam berbagai segi, yakni, eksekutif, legislatif, dan juga yudikatif, serta edukatif. 

Salah satu, forum itu adalah, Frudem menggagas sebuah dialog yang melibatkan tokoh-tokoh terkemuka dari berbagai latar belakang, termasuk, di dalamnya, adalah nama-nama, yakni, Gus Dur (Abdurrahman Wahid): Mantan Presiden RI dan tokoh NU yang dikenal sebagai bapak pluralisme Indonesia. Rocky Gerung: Filsuf dan pengamat politik dengan pemikiran kritis. Emha Ainun Nadjib (Cak Nun): Budayawan dan pemikir Islam progresif. Juga, Romo Franz Magnis-Suseno: Filsuf dan rohaniawan Katolik yang banyak menulis tentang etika dan filsafat politik.

Keempat tokoh ini mewakili spektrum pemikiran yang luas, mencakup perspektif Islam (tradisional dan progresif), Katolik, dan pemikiran sekuler. Di dalam tujuan dan fokus, forum ini memiliki beberapa fokus utama, diantara, lain, yakni, "Mencari landasan demokrasi yang melibatkan semua elemen masyarakat Indonesia", kemudian "Menekankan pentingnya transparansi dalam sistem demokrasi" kemudian "Mempersiapkan Indonesia untuk bersaing di tingkat nasional dan internasional" dan walakhir "Membahas hubungan antara negara dan agama dalam konteks Indonesia, dengan pendekatan filosofis dan inklusif. Di dalam aktifitas ini, dimana isu-isu kunci, layaknya, dari beberapa isu kunci yang menjadi bahan diskusi dalam forum ini meliputi:

1. Interpretasi Pancasila dalam konteks modern
2. Keseimbangan antara nilai-nilai agama dan prinsip negara sekuler
3. Peran agama dalam pembentukan kebijakan publik
4. Tantangan pluralisme di Indonesia
5. Filsafat sebagai jembatan antara agama dan negara

Di tambah, signifikansi, forum semacam ini memiliki peran penting dalam konteks Indonesia karena, bersifat akhirnya, mewadahi dialog antar berbagai perspektif yang ada di masyarakat, Lalu, membantu menemukan titik temu antara pandangan yang berbeda. Serta, dalam upayanya, memperkuat fondasi demokrasi inklusif di Indonesia. Dalam, rangka, mengeksplorasi cara-cara untuk meningkatkan daya saing Indonesia di kancah global.

Perihal, mewujudkan demokrasi inklusif di Indonesia bukanlah tugas yang mudah. Beberapa tantangan yang dihadapi meliputi, lebih sebagai bentuk pernyataan dimana, sebagai suatu faktor kesadaran yang memadai sebagai suatu nilai yang menjembatani perbedaan pandangan antar kelompok agama dan etnis.

Dan, menyelaraskan nilai-nilai tradisional dengan tuntutan modernisasi. Sehingga, dapat dipastikan dalam memastikan partisipasi yang setara dari seluruh elemen masyarakat dalam proses demokrasi. Tak sampai disana, namun, keragaman Indonesia juga menyediakan peluang unik, dari segi yang menyoal sumberdaya, kekayaan perspektif yang dapat memperkaya diskursus nasional. Dengan, segenap potensi untuk menjadi model demokrasi multikultural bagi dunia. Untuk dapat menciptakan peluang dan kesempatan untuk mengembangkan solusi inovatif dalam mengatasi tantangan sosial-politik.

Demokrasi inklusif bukan hanya sebuah konsep abstrak, tetapi merupakan kebutuhan nyata bagi Indonesia. Forum seperti Frudem memainkan peran vital dalam menggerakkan diskusi dan mencari solusi praktis. Dengan melibatkan tokoh-tokoh dari berbagai latar belakang, forum ini mencerminkan semangat keberagaman Indonesia sendiri.

Tantangan ke depan adalah bagaimana mentransformasikan wawasan dan ide-ide yang muncul dari diskusi-diskusi ini menjadi kebijakan dan praktik nyata yang dapat dirasakan oleh seluruh lapisan masyarakat Indonesia. Hanya dengan demikian, cita-cita demokrasi inklusif dapat benar-benar terwujud, membawa Indonesia menjadi negara yang lebih kuat, adil, dan siap menghadapi tantangan global.

Kebebasan dalam Arti Kemerdekaan: Libert dan Demokrasi Inklusif.


Konsep kebebasan atau "libert" merupakan salah satu pilar fundamental dalam pemahaman modern tentang demokrasi. Dalam konteks Indonesia yang beragam, interpretasi dan implementasi kebebasan ini menjadi kunci dalam mewujudkan demokrasi yang benar-benar inklusif.

Definisi dan konteks, Libert dalam filsafat politik, berakar dari pemikiran Enlightenment Eropa, khususnya karya Jean-Jacques Rousseau. Yang mencoba menekankan kebebasan individu sebagai hak asasi, namun juga mengakui pentingnya "kehendak umum" (volont gnrale). Dalam pengertian kebebasan dalam konteks Indonesia, kita dapat melihat keberadaan yang tercermin dalam semboyan "Bhinneka Tunggal Ika" (Berbeda-beda tetapi tetap satu). Yang dipengaruhi oleh nilai-nilai tradisional, agama, dan pengalaman kolonialisme.

Dimensi Kebebasan dalam Demokrasi Inklusif Indonesia

Kebebasan berekspresi, semisalnya saja, tantangan menyeimbangkan kebebasan berbicara dengan sensitivitas budaya dan agama. Termasuk, peran media sosial dalam membentuk ruang publik yang lebih dinamis namun juga berpotensi polarisasi. Hal lain, yang juga terpolarisasi sebagai topiknya dalam ide dan gagasan, mengenai fenomena, dari realitas, kebebasan beragama, dimana, untuk dapat menjamin hak kelompok mayoritas dan minoritas agama. Setidaknya, sama halnya, dengan suatu intensi - interaktif, untuk dapat mengelola hubungan antara negara dan agama dalam kerangka Pancasila. Yang berada dalam skup yang dipahami sebagai ruang lingkup, kebebasan berpolitik, yang geraknya secara evolusi sistem multi-partai pasca-Reformasi. Memberi, suatu fokus bagi, tantangan money politics dan politik identitas dalam pemilihan umum, sebagai salah satu contoh semisalnya. perebutan wilayah ideologis, yang demi terciptanya ruang kebebasan ekonomi, dalam, menyeimbangkan liberalisasi ekonomi dengan prinsip keadilan sosial. Dan, mengatasi kesenjangan ekonomi antar daerah dan kelompok masyarakat.

  Frudem, dalam debutnya, pada era, yang melihat fokus persoalan dalam gerak sosial masa dalam menjawab kebtuhan akhirnya berupaya menjaga keseimbangan antara kebebasan individu dan kepentingan kolektif. Dengan, selalu, berupaya, mengatasi potensi konflik antara berbagai interpretasi kebebasan. Yang, memastikan kebebasan tidak disalahgunakan untuk menekan kelompok lain.
Dan, akan adanya pengembangan dari model kebebasan yang unik dan sesuai dengan konteks Indonesia. Untuk dapat memanfaatkan keragaman sebagai kekuatan dalam inovasi sosial dan politik. Dalam integritas tujuan, yang memperkuat institusi demokrasi untuk melindungi dan memfasilitasi kebebasan yang bertanggung jawab. Dalam hal ini, sebagai, refleksi teoretisnya, mari melihat untuk memperdalam pemahaman tentang kebebasan dalam konteks demokrasi inklusif di Indonesia, kita bisa merujuk pada beberapa pemikir, semisal. Yakni, salah satunya, Nurcholish Madjid: Pemikirannya tentang "Islam Yes, Partai Islam No" menawarkan perspektif tentang kebebasan beragama dalam konteks negara sekuler. Dan, atau; Amartya Sen: Konsepnya tentang "development as freedom" relevan dalam memahami hubungan antara kebebasan, demokrasi, dan pembangunan di negara berkembang seperti Indonesia. Juga, nama seperti, Will Kymlicka: Teorinya tentang "multicultural citizenship" dapat membantu dalam memahami bagaimana kebebasan individu dapat dijamin dalam masyarakat yang sangat beragam.

Mengukur kebebasan atau "libert" dalam tolak ukur kemerdekaan dan dalam, konteks demokrasi inklusif Indonesia bukan sekadar konsep abstrak, melainkan prinsip hidup yang terus dinegosiasikan dalam realitas sehari-hari. Tantangannya adalah bagaimana mewujudkan kebebasan yang tidak hanya melindungi hak-hak individu, tetapi juga memperkuat kohesi sosial dan identitas nasional. Forum seperti Frudem memainkan peran penting dalam mendiskusikan dan merumuskan pemahaman bersama tentang kebebasan yang sesuai dengan konteks Indonesia. Melalui dialog yang melibatkan berbagai perspektif, Indonesia dapat terus mengembangkan model demokrasi inklusif yang menghargai kebebasan sekaligus menjaga keharmonisan dalam keberagaman.

Referensi Ilmiah

Untuk memperdalam pemahaman tentang demokrasi inklusif, berikut adalah beberapa referensi ilmiah dari dalam dan luar negeri:

Referensi Dalam Negeri.

1. Azra, A. (2006). "Indonesia, Islam, and Democracy: Dynamics in a Global Context". Jakarta: Solstice Publishing.
   - Azra menganalisis hubungan antara Islam, demokrasi, dan politik di Indonesia, menekankan pentingnya pluralisme dalam konteks negara Muslim terbesar di dunia.

2. Hefner, R. W. (2000). "Civil Islam: Muslims and Democratization in Indonesia". Princeton University Press.
   - Hefner meneliti peran Islam dalam demokratisasi Indonesia, menunjukkan bagaimana nilai-nilai Islam dapat mendukung demokrasi inklusif.

3. Budiman, A., Hatley, B., & Kingsbury, D. (eds.) (1999). "Reformasi: Crisis and Change in Indonesia". Clayton: Monash Asia Institute.
   - Buku ini menganalisis berbagai aspek reformasi di Indonesia, termasuk tantangan dalam membangun demokrasi yang inklusif pasca-Orde Baru.

4. Liddle, R. W. (2013). "Improving the Quality of Democracy in Indonesia: Toward a Theory of Action". Indonesia, 96, 59-80.
   - Liddle membahas strategi untuk meningkatkan kualitas demokrasi di Indonesia, termasuk pentingnya inklusivitas dalam proses demokratisasi.

Referensi Luar Negeri.

1. Young, I. M. (2000). "Inclusion and Democracy". Oxford: Oxford University Press.
   - Young mengembangkan teori demokrasi inklusif yang menekankan pentingnya representasi dan partisipasi dari kelompok-kelompok yang terpinggirkan.

2. Dryzek, J. S. (2010). "Foundations and Frontiers of Deliberative Governance". Oxford: Oxford University Press.
   - Dryzek membahas konsep demokrasi deliberatif, yang erat kaitannya dengan demokrasi inklusif, dan bagaimana hal ini dapat diterapkan dalam konteks global.

3. Parekh, B. (2006). "Rethinking Multiculturalism: Cultural Diversity and Political Theory". Harvard University Press.
   - Parekh mengeksplorasi tantangan dan peluang dalam membangun demokrasi yang inklusif dalam masyarakat multikultural.

4. Kymlicka, W. (1995). "Multicultural Citizenship: A Liberal Theory of Minority Rights". Oxford: Clarendon Press.
   - Kymlicka membahas bagaimana demokrasi liberal dapat mengakomodasi keragaman budaya dan etnis, sebuah aspek penting dari demokrasi inklusif.

5. Mansbridge, J., Bohman, J., Chambers, S., Estlund, D., Fllesdal, A., Fung, A., ... & Mart, J. L. (2010). "The place of selfinterest and the role of power in deliberative democracy". Journal of Political Philosophy, 18(1), 64-100.
   - Artikel ini membahas peran kepentingan diri dan kekuasaan dalam demokrasi deliberatif, yang relevan dengan diskusi tentang demokrasi inklusif.

Referensi-referensi ini menyediakan landasan teoretis dan empiris yang kuat untuk memahami konsep demokrasi inklusif dan bagaimana hal tersebut dapat diterapkan dalam konteks Indonesia. Mereka juga menawarkan perspektif komparatif yang dapat memperkaya diskusi tentang demokrasi inklusif di Indonesia.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun