Mohon tunggu...
Ahmad W. al faiz
Ahmad W. al faiz Mohon Tunggu... Penulis - Penulis.

a little bird which surrounds this vast universe, does not necessarily change itself, becoming a lizard. Do you know why. Yes you do.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Frudem & Demokrasi Inklusive

19 Agustus 2024   13:07 Diperbarui: 19 Agustus 2024   13:13 27
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Frudem & Demokrasi Inklusive.

Tentu, semua orang mengenal tokoh-tokoh dalam sejarah bangsa, sebagai tokoh-tokoh dalam diskursus "Demokrasi dan Inklusivitas" yakni, tokoh-tokoh yang sebut, saja, Gus Dur (Abdurrahman Wahid): Mantan Presiden RI, tokoh NU, dikenal sebagai bapak pluralisme Indonesia. Rocky Gerung: Filsuf dan pengamat politik yang dikenal dengan pemikiran kritisnya. Emha Ainun Nadjib (Cak Nun): Budayawan, penyair, dan pemikir Islam yang terkenal dengan gagasan-gagasan progresifnya. Serta, Romo Franz Magnis-Suseno: Filsuf dan rohaniawan Katolik yang banyak menulis tentang etika dan filsafat politik. 

Mungkin, pula ada banyak peran dalam sentra diskursus mengenai ranah sosiologis konstruktif dalam relasi Demokrasi dan juga negara, namun, kita mengenal diantaranya yang menjadi akrab di ingatan kita, adalah nama-nama di atas, gelagat dan gerak panggung yang juga banyak melahirkan konsep dan gagasan teoritik, juga termasuk kritisisme terhadap otoritarianisme, sebagai suatu rekonstruksi gambaran, sistematika yang buruk dalam pendekatan represif-nya terhadap rakyat. 

Namun, di satu sisi yang lain, adalah bahwa topik-topik semacam, inkluisfitas demokrasi dan juga beberapa wacana yang seirama, turut serta lahir sebagai gagasan, dalam bentuk respons interaktif seca langsung objektif, maupun, dalam teameter dari temasentris demokrasi panggung - yang menempatkan lapangan struktural kekuasaan sebagai kritik di atas sistem pengaturan dan kesejahteraan rakyat yang memburuk, yang di arahkan pada suatu kordinat yakni, otoritarianisme, yang otoriter, dan sebagai contoh kasus dalam perbincangan historisnya, Orde Baru, sebagai suatu subjek yang dimaksud dalam mengkaji kebijakan di kemudian hari, sebagai suatu cermin masa lalu dari pasca runtuhnya Orde-Lama.

Saya, tidak ingin terkesan dalam suatu pembahasan yang melibatkan suatu sosok figurasi dalam menjembatani peristiwa tersebut, ialah, sebagai pertimbangan relevansi dalam lokalitas waktu yang tidak benar-benar saya begitu saksikan, sebagai bukti, yang hanya nyaris, sebagai suatu fakta literal, dari beberapa informasi yang beredar, dalam wacana, publik baik media, digital, dana dokumentasi pustaka, terutama yang masih saya ingat, mungkin di dalam benak saya.

Tapi, sebagai tawarannya adalah bahwa, secara deskriftif dan definitif, demokrasi yang ideal dan bertolak belakang dari gamabaran kekuasaan tirani, dan otoritarianisme, sebut saja, adalah sesuatu yang di gambarkan dalam batasan, baik juga ruang lingkup, yang tepat mengenai inklusifitas, dan asas atau pokok yang mendasar dalam demokrasi sebagai suatu kontruksi pemikiran sosial, yang secara defakto bahwa, demokrasi justru, merupakan subjektifitas individu, yang tidak mengakomodasi kolektifitas masa sebagai suatu kecerdasan yang personal, melainkan, integritas dalam ranah ini diartikan sebagai suatu, kompenen, plural, majemuk, yang integral dalam satu variable, integritas, yang bisa bernama apa saja dalam setiap skup dari ruang lingkup sistem definis bahasanya, baik secara kultural dan strukutral, yang diyakini sebagai landasan pokok dan mendasar.

Dengan, demikian, demokrasi inklusive dan inklusifitas di dalamnya dapat dilakukan dan dijembatani, di ruang paling ekstream pun seperti layaknya suatu situasi dan kondisi yang secara konstruktif merupakan kontra dari indikasi demokrasi dapat diklasifiksi. baik, secara, kriteria dan kategorinya.

"Dialog Inklusivitas Negara & Agama, Filsafat".

Ini menunjukkan bahwa forum ini membahas hubungan antara negara dan agama dalam konteks Indonesia, dengan pendekatan filosofis dan inklusif. Inklusivitas, yang bertolak ukur, mewakili berbagai perspektif: Islam (tradisional dan progresif), Katolik, dan pemikiran sekuler. Yang, seolah, ingin menggabungkan pandangan politik, agama, dan filsafat. Dengan, bertujuan untuk membangun dialog yang inklusif tentang peran agama dalam negara.

Demokrasi yang pada dikursusnya, menjadi suatu potensi topik diskusi, dalam interpretasi Pancasila dalam konteks modern, serta keseimbangan antara nilai-nilai agama dan prinsip negara sekuler. Dan prinsip, peran agama dalam pembentukan kebijakan publik. Sebagai, jalan yang memicu adrenalin pemikiran para akedemisi, dan tantangan pluralisme di Indonesia. Baik pun juga seputar, filsafat sebagai jembatan antara agama dan negara.

Forum semacam ini sangat penting untuk Indonesia, mengingat keragaman agama dan budaya di negara ini. Diskusi-diskusi seperti ini dapat membantu menemukan titik temu antara berbagai pandangan dan memperkuat fondasi demokrasi inklusif di Indonesia.

Demokrasi Inklusif:

- Menjembatani Keragaman dalam Bingkai Negara Indonesia.

Indonesia, sebagai negara dengan keragaman etnis, agama, dan budaya yang luar biasa, terus menghadapi tantangan dalam mewujudkan demokrasi yang benar-benar inklusif. Forum Demokrasi (Frudem) hadir sebagai wadah diskusi yang bertujuan mencari pokok dasar demokrasi inklusif di Indonesia, dengan fokus pada keterbukaan dan kesiapan menghadapi persaingan global.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun