(3) Dalam hal rata-rata Harga Pasar setempat di tingkat produsen di atas Harga Acuan atau HPP, Perum BULOG diberikan fleksibilitas harga pembelian pangan.
(4) Besaran fleksibilitas pembelian harga pangan dan jangka waktu pemberian fleksibilitas pembelian harga pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Rapat Koordinasi.
(5) Stabilisasi harga pada tingkat konsumen dilaksanakan melalui pelaksanaan operasi pasar oleh Perum BULOG dengan harga paling tinggi sama dengan HET.
Kesimpulan
Dari ketiga peraturan tersebut di atas, kita dapat memetakan hubungan antara harga acuan, harga pembelian pemerintah (HPP), dan harga eceran tertinggi. Harga acuan dipakai sebagai dasar pemerintah untuk melakukan tindakan stabilisasi harga. Ketika harga pasar di tingkat petani jatuh di bawah harga acuan (misal, ketika musim panen raya), maka pemerintah melalui BULOG melakukan pembelian langsung ke petani pada harga pembelian pemerintah (HPP). Logikanya harga yang tadi jatuh akan naik kembali karena naiknya permintaan dari pemerintah.
Begitu juga sebaliknya, ketika harga pasar di tingkat konsumen naik di atas harga acuan, maka pemerintah melakukan operasi pasar penjualan beras pada tingkat harga eceran tertinggi. Asumsinya, dengan bertambahnya penawaran, maka harga akan turun kembali.
Pada skema di atas, pemerintah tidak melibatkan pihak swasta pihak swasta. Pemerintah menempatkan dirinya sebagai Bapak, menjaga jarak dari produsen maupun konsumen. Pada saat tertentu pemerintah mendekati produsen untuk melakukan pertolongan, di lain waktu pemerintah akan mendekati konsumen untuk melakukan pertolongan.
Jadi, tuduhan Satgas pangan yang menuduh bahwa PT IBU melanggar ketentuan harga acuan dan/atau harga eceran tertinggi sepertinya kurang tepat. PT IBU bertindak sebagai pelaku usaha swasta yang perilakunya berdasarkan hukum pasar.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H