Mohon tunggu...
Likpai
Likpai Mohon Tunggu... -

Penglaju Tangerang-Jakarta

Selanjutnya

Tutup

Money Pilihan

Kasus Beras Maknyus: Semua Bermula dari Kerancuan Konsep dan Istilah (Bagian 2)

28 Juli 2017   17:20 Diperbarui: 29 Juli 2017   09:09 942
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ekonomi. Sumber ilustrasi: PEXELS/Caruizp

Seminggu terakhir ini, publik dihebohkan oleh berita digeledahnya gudang PT Indo Beras Unggul (PT IBU) produsen beras merk Maknyus dan Cap Ayam Jago. Pada perkembangannya, saling tuduh dan bantah terjadi antara Mentan vs PT IBU terjadi. Masalah makin meruncing ketika perdebatan itu memancing publik untuk ikut menanggapi. Hal ini terjadi karena muncul istilah-istilah baru dan logika-logika yang susah dimengerti publik. Serial tulisan ini akan mengupas istilah, konsep, dan logika yang menyertai kasus ini.

# Harga Acuan vs Harga Eceran Tertinggi

Sebelum kasus penggeledahan ini ramai, pernahkan pembaca disini mendengar bahwa beras ada Harga Eceran Tertinggi (HET)-nya?pernahkan membaca tulisan HET di kemasan, di bak-bak beras di warung beras? Kalau jawabannya belum pernah, jangan-jangan memang aturan tentang HET seperti itu tidak ada.

Maka ketika kasus ini mencuat, saya cukup kaget bahwa beras ada HET-nya. Setidaknya itu yang diutarakan Satgas Pangan. Apalagi dikesankan, HET beras ini benar-benar harga jual tertinggi ke konsumen akhir, baik penjualan yang dilakukan oleh BULOG maupun oleh pihak swasta.

Untuk itu, mari kita telusuri aturan yang jadi dasar hukum HET beras. Beberapa kali Satgas Pangan menyandarkan soal HET ini pada Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 47/M-DAG/PER/7/2017 tertanggal 18 Juli 2019. Peraturan ini mengganti peraturan soal yang sama sebelumnya, yaitu Nomor  27/M-DAG/PER/5/2017 tentang penetapan harga acuan di petani dan harga acuan penjualan di Konsumen.

Dari beberapa berita, ternyata permendag 47/2017 yang terbit di bulan juli ini belum berlaku. Namun, masalah sesungguhnya bukan disitu, toh dengan belum berlakunya permendag baru tetap berlaku permendag lama yang mengatur juga tentang harga acuan. Masalah sesungguhnya adalah benarkah harga acuan sama dengan harga eceran tertinggi? Benarkah semua kalangan usaha harus menjual beras ke konsumen akhir tidak boleh melebih HET? Karena ini masalah teknis, maka mari kita coba telusuri istilah-istilah tersebut ke sumber hukumnya langsung.

Permendagnomor 27/M-DAG/PER/5/2017

Dalam permendag nomor 27/M-DAG/PER/5/2017 didefinisikan bahwa Harga Acuan Pembelian di Petani adalah harga pembelian di tingkat petani yang ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan struktur biaya yang wajar mencakup antara lain biaya produksi, biaya distribusi, keuntungan, dan/atau biaya lain. Harga Acuan Penjualan di Konsumen adalah harga penjualan di tingkat konsumen yang ditetapkan oleh Menteri dengan mempertimbangkan struktur biaya yang wajar mencakup antara lain biaya produksi, biaya distribusi, keuntungan, dan/atau biaya lain (pasal 1).

BULOG dan pelaku usaha dalam melakukan pembelian dan penjualan untuk beras mengacu pada Harga Acuan Pembelian di Petani dan Harga Acuan Penjualan di Konsumen yang ditetapkan oleh Menteri (pasal 2 dan 4).

Pada Pasal 4 ini diatur soal pelaku usaha (swasta) untuk memakai harga acuan ini. Pasal 4 inilah pasal yang mungkin dapat menjerat PT IBU dalam kasus ini. Pasal ini merupakan norma baru. Permendag sebelumnya, yaitu nomor 63/M-DAG/PER/9/2016 dan peraturan-peraturan yang lebih tinggi yang akan di bahas nanti, tidak terdapat pasal tersebut. Tidak mencolek-mencolek pihak swasta.

Namun, permendag ini juga mengatur bagaimana tindakan pemerintah kalau harga di pasar tidak sesuai dengan harga acuan ini. Pasal 6 lah yang mengatur tindakan tersebut bahwa dalam hal harga beras di tingkat petani berada di bawah harga acuan dan harga di tingkat konsumen di atas harga acuan, menteri dapat menugaskan BULOG untuk melakukan pembelian dan penjualan sesuai dengan harga acuan.

Jadi, kalau harga di pasar tinggi (misal, PT IBU menyebabkan harga tinggi di pasar) maka tindakan pemerintah cukup melakukan operasi pasar, tidak dengan penggeledahan.

Apakah benar kesimpulan saya?belum tentu benar. Dan permendag itu juga belum menjawab pertanyaan apakah harga acuan sama dengan harga eceran tertinggi.

Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015

Maka mari kita buka Peraturan Presiden Nomor 71 Tahun 2015 tentang Penetapan Dan Penyimpanan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting. Perpres ini penting karena menjadi landasan hukum terbitnya serial permendag tentang harga acuan tersebut.

Pasal 4 : Untuk pengendalian Ketersediaan Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6), Menteri menetapkan harga acuan dan harga pembelian Pemerintah Pusat untuk sebagian atau seluruh Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.

Pasal 5 :

  • Dalam kondisi tertentu yang dapat mengganggu kegiatan perdagangan nasional, Pemerintah Pusat wajib menjamin pasokan dan stabilisasi harga Barang Kebutuhan Pokok dan Barang Penting.
  • Kondisi tertentu yang dapat mengganggu kegiatan perdagangan nasional sebagaimana dimaksud pada ayat (1), merupakan kondisi terjadinya gangguan pasokan dan/atau kondisi harga Barang Kebutuhan Pokok dan/atau Barang Penting tertentu berada diatas harga acuan atau dibawah harga acuan.
  • Dalam melaksanakan kewajiban sebagaimana dimaksud pada ayat (1) Menteri menetapkan kebijakan harga, pengelolaan stok dan logistik, serta pengelolaan ekspor dan impor.
  • Penetapan kebijakan harga sebagaimana dimaksud pada ayat (3) berupa:
  • penetapan harga eceran tertinggi dalam rangka operasi pasar untuk sebagian atau seluruh Barang  Kebutuhan Pokok sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat (6) huruf a; dan/atau
  • Dalam menetapkan kebijakan harga, pengelolaan stok dan logistik, serta pengelolaan ekspor dan impor, Menteri dapat:
  • menugaskan Badan Usaha Milik Negara yang ditunjuk oleh Pemerintah.

Dari Pasal 4 dan Pasal 5 Perpres Nomor 71 Tahun 2015 di atas, muncul tiga istilah harga, yaitu harga acuan, harga pembelian pemerintah (HPP), dan harga eceran tertinggi (HET) dalam rangka operasi pasar. Di sini kita mulai mengendus bahwa harga-harga tersebut adalah jenis harga yang berbeda. Sedangkan pihak yang menjadi alat pemerintah untuk mengendalikan harga beras ini hanya BUMN (BULOG) tidak melibatkan swasta sama sekali.

PeraturanPresidenNomor 48Tahun 2016

Untuk lebih menegaskan perbedaan harga acuan, harga pembelian pemerintah (HPP), dan HET ini, mari kita telusuri Peraturan Presiden Nomor 48 Tahun 2016 Tentang Penugasan Kepada BULOG Dalam Rangka Ketahanan Pangan Nasional sebagaimana telah diubah terakhir dengan Perpres Nomor 20 Tahun 2017. Dalam pasal 5 disebutkan:

(1) Perum BULOG melakukan stabilisasi harga Pangan pada tingkat produsen dan konsumen.

(2) Stabilisasi harga Pangan pada tingkat produsen, dilaksanakan dengan pembelian Pangan oleh Perum BULOG dengan Harga Acuan atau HPP di gudang Perum BULOG, dalam hal rata-rata Harga Pasar setempat di tingkat produsen di bawah Harga Acuan atau HPP.

(3) Dalam hal rata-rata Harga Pasar setempat di tingkat produsen di atas Harga Acuan atau HPP, Perum BULOG diberikan fleksibilitas harga pembelian pangan.

(4) Besaran fleksibilitas pembelian harga pangan dan jangka waktu pemberian fleksibilitas pembelian harga pangan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) ditetapkan dengan Keputusan Rapat Koordinasi.

(5) Stabilisasi harga pada tingkat konsumen dilaksanakan melalui pelaksanaan operasi pasar oleh Perum BULOG dengan harga paling tinggi sama dengan HET.

Kesimpulan

Dari ketiga peraturan tersebut di atas, kita dapat memetakan hubungan antara harga acuan, harga pembelian pemerintah (HPP), dan harga eceran tertinggi. Harga acuan dipakai sebagai dasar pemerintah untuk melakukan tindakan stabilisasi harga. Ketika harga pasar di tingkat petani jatuh di bawah harga acuan (misal, ketika musim panen raya), maka pemerintah melalui BULOG melakukan pembelian langsung ke petani pada harga pembelian pemerintah (HPP). Logikanya harga yang tadi jatuh akan naik kembali karena naiknya permintaan dari pemerintah.

Begitu juga sebaliknya, ketika harga pasar di tingkat konsumen naik di atas harga acuan, maka pemerintah melakukan operasi pasar penjualan beras pada tingkat harga eceran tertinggi. Asumsinya, dengan bertambahnya penawaran, maka harga akan turun kembali.

Pada skema di atas, pemerintah tidak melibatkan pihak swasta pihak swasta. Pemerintah menempatkan dirinya sebagai Bapak, menjaga jarak dari produsen maupun konsumen. Pada saat tertentu pemerintah mendekati produsen untuk melakukan pertolongan, di lain waktu pemerintah akan mendekati konsumen untuk melakukan pertolongan.

Jadi, tuduhan Satgas pangan yang menuduh bahwa PT IBU melanggar ketentuan harga acuan dan/atau harga eceran tertinggi sepertinya kurang tepat. PT IBU bertindak sebagai pelaku usaha swasta yang perilakunya berdasarkan hukum pasar.

Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Money Selengkapnya
Lihat Money Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun