Keputusan para tokoh-tokoh perjuangan di Hulu Sungai pada saat itu juga sangat besar pengaruhnya bagi seluruh daerah Kalimantan yang termasuk dalam genggaman kekuasaan pemerintahan kolonial Belanda.
Di Kalimantan Selatan didirikanlah sebuah pemerintahan militer yang berpusat di Hulu Sungai oleh Letkol Hasan Bassry pada tanggal 17 Mei 1949 dengan disertai sebuah Declare bersejarah yang dibacakan di Ni’ih Loksado, Hulu Sungai Selatan. Dilakukannya tindakan tersebut merupakan sebuah upaya tandingan terhadap legitimasi Pemerintahan Hindia-Belanda yang secara De Jure berkuasa atas Kalimantan melalui kesepakatan Linggarjati.
Pemerintahan Militer ALRI D IV Pertahanan Kalimantan yang di pimpin oleh Letkol Hasan Bassry sebagai Gubernur Tentara ingin menunjukan kepada dunia bahwasanya secara De Facto mereka (sebagai representasi bagian RI ) lebih berkuasa ketimbang pemerintahan Belanda yang mulai terdesak “kalah” oleh kekuatan Pemerintahan Tentara ALRI D IV Pertahanan Kalimantan [1].
[1]
-Terdesaknya Belanda membuat Residen Belanda AG Deelman memohon untuk “case Fire” kepada Pemerintahan Republik Indonesia di Jakarta & UNCI sebagai komisi bentukan PBB yang bertugas mendamaikan peperangan Indonesia – Belanda (tidak termasuk untuk mendamaikan daerah diluar kesepakatan Linggarjati). Namun menariknya akibat dampak dari kesepakatan Linggarjati organisasi bersenjata ALRI Divisi IV Pertahanan Kalimantan otomatis menjadi gerakan “ilegal” diluar dari Angkatan Perang Republik Indonesia Serikat (APRIS) yang di akui pemerintah RI. Fakta dilapangan saat itu memperlihatkan keberadaan dan kekuasaan Militer ALRI di tahun 1949 secara de facto telah menguasai pulau Kalimantan khususnya Kalimantan Selatan.
-Yang secara tidak langsung peristiwa dan sikap tersebut adalah bentuk “kekalahan” pihak Belanda terhadap Pemerintahan Militer Gubernur ALRI.
-Juga penting diketahui pada masa itu angkatan perang Pemerintahan Gubernur Tentara ALRI Divisi IV yang berpusat di Hulu Sungai memiliki jumlah bala tentara kurang lebih 30.000 prajurit gerilyawan bersenjata yang tersebar diseantero Kalimantan.
Masa peralihan di Hulu Sungai
Masa perlihan, dari era pemerintahan kolonial Hinida-Belanda menjadi sebuah bagian dari Negara Kedaulatan Republik Indonesia. Daerah kawasan Hulu Sungai dikembali diwarnai dengan beberapa catatan bersejarah yang berdampak hampir kepada seluruh wilayah di Kalimantan Selatan.
Diawali dari sejak di akuinya Kalimantan adalah bagian dari Republik Indonesia. Permasalahan pun dimulai ketika “rasionalisasi” para pejuang bersenjata ALRI D IV dan seluruh Lasykar bersenjata pendukungnya untuk menjadi bagian dari Angkatan Perang Republik Indonesia. Rasionalisasi personel yang menyangkut 30.000 anggota gerilyawan MPK ALRI (seperti yang dilaporkan Letkol Hasan Basry tanggal 2 September 1949 di Munggu Raya ) bukanlah hal yang mudah.
Kerangka acu rasionalisasi bidang ketenagaan oleh tim militer pusat menjurus kepada dua kategori, yaitu meneruskan karir kemiliteran dan kembali atau “dikembalikan” ke masyarakat. Belum lagi imbas dari KMB dan realisasi dari UU Darurat No.4/1950 ( tentang peleburan pasukan KNIL kedalam APRIS).
Sebagian anggota KNIL yang masuk dalam APRIS itu dijadikan pelatih dan komandan pasukan, dan mereka rata-rata dinaikkan pangkatnya dan sebagian besar mantan pejuang gerilya yang masuk APRIS malah berpangkat rendah dan prajurit biasa. Hal ini justru melahirkan pergolakan yang sangat besar bagi para pejuang gerilya dimana sudah menjadi rahasia umum, serdadu KNIL sejak awal dibentuk oleh Belanda dengan tujuan menumpas para pejuang gerilya. Belum lagi ditambah ejekan-ejekan mantan serdadu KNIL kepada mantan gerilyawan, yang menyebut “tentara kampung tak layak menjadi tentara nasional”.