Sinar-sinar lampu di jalan-jalan pelosok kampung, ramai menghiasi gelapnya yang kelam. Kala itu, Aku sedang berada disitu. Ditepi jalan yang ada sebuah tiang listrik dan menyandarkan diri, seusai kegiatan sehari-hariku berjualan di pasar malam.
Kebetulan saat itu, ramai pembeli tidaklah seperti biasanya. Akan tetapi, begitulah mekanisme dalam hal mencari uang. Ada masa dimana berkelimpahan atau istilah lainnya ramai pembeli, namun ada juga masa-masa dimana harus menyisakan barang, karena pembeli tak banyak.
Aku berdiam diri disana, menyaksikan Orang-orang kumuh nan lesu berjalan kesana-kemari. Tak lama kemudian, dalam saku bajuku, ku keluarkan sebuah lembaran foto yang tersimpan dan selalu bersamaku dimanapun diriku pergi.
Foto itu, adalah pujaan hatiku yang selalu kuharap-harapkan untuk memilikinya. Seorang Perempuan yang begitu rajin. Sosoknya selalu tak pernah kenal lelah. Kecantikan itu memang sifatnya relatif. Namun, melihat sikapnya yang demikian, kupikir Ia sudah tak pantas lagi dikatakan perempuan cantik yang hanya sebatas relatif.
Jamak sudah kulihat, Orang-orang yang ekonomi berkecukupan bahkan lebih, hidup dalam kemewahan dan menutup dirinya untuk bersosialisasi pada Orang-orang seperti diriku yang dhu'afa. Tetapi tidak dengan dia. Walau hidupnya yang mapan, sikap rendah hati itu begitu memukau.
Mula-mula, Aku hanya sebatas menjalin tali pertemanan sebagai sesama pedagang saja dan tidak pernah berpikir untuk lebih daripada itu. Namun, takdir selalu mempertemukan kita secara terus menerus seolah-olah bagaikan tanpa henti. Â Â
Disebabkan takdir yang berjalan sistematis seperti itulah, benih-benih rasa itupun akhirnya tumbuh. Tumbuh, bagaikan Bunga mawar yang merekah. Merekah, menebar wangi dan ke-indahannya. Dan keindahan itu, bersatu lalu menyatu dalam perasaan cintaku yang tulus untuk selalu menginginkannya.
Buku diary-ku sudah sampai dihalaman ke-70. Tanpa harus dielakkan dan dikesampingkan, perasaan yang begitu mendalam ini pun lantas kutuliskan didalamnya. Perempuan itu, namanya Ayu. Dan, tanpa harus ditafsirkan, nama tersebut memang sudah senantiasa menyelimuti paras serta karakternya.
Kalau banyak Orang berkata bahwa "Pujaan Hatiku Hanyalah Kamu." Maka, teruntuk diriku, sudah pasti adalah dirinya. Saat ini, itulah yang kurasa. Ironisnya, perasaan ini tak pernah kusampaikan kepadanya. Foto itu, Aku mengambilnya dari saku celananya yang terjatuh, ketika Ia mengambil sesuatu dari dalamnya.
Ketika genggaman tanganku menyimpan fotonya, Ia pun pergi bersama kedua adik yang selalu membantu dirinya dalam hal berusaha tersebut. Pasar pun menjadi sunyi. Semua teman-teman pengais rezeki uang-uang receh para dermawan, telah beristirahat. Tetapi Aku, singgah disitu untuk masih tetap ingin memandangnya.
Karena Aku ingin, Alam Semesta dan sebuah tiang listrik ini, menjadi saksi bisu cinta yang kuanggap suci ini. Pikirku, kalau Alam ternyata tidak setuju akan cintaku padanya, biarlah tiang listrik yang menegurnya. Tentu saja, Aku tak akan peduli.
Selama menatapnya, Aku sempat dilanda ke-bingungan. Kira-kira, siapakah sosok lelaki yang dia cintai saat ini? Kalau ternyata ada, entahlah apa lalu yang kemudian Aku rasakan. Seribu dewi fortuna, pasti tengah menghiasi hari-hari si lelaki itu.
Pernah hati kecilku berbicara bahwa ; "Mungkinkah kamu dapat memilikinya? Sedangkan tikus-tikus yang dipandang hina oleh Manusia saja, juga memandang kamu sebagai sesuatu hal yang teramat begitu  rendah?" sehingga acapkali, sikap pesimisme akhirnya mendominasi cintaku padanya. Bahkan saat ini.
Mungkinkah sebuah mutiara yang berkarat, akan mampu mendapatkan cinta sebuah rembulan yang terang benderang? Jawaban yang logis tentu saja adalah, "Tidak Mungkin" alias "Mustahil." Baiklah, tidak ada masalah.
Beberapa waktu atau selang satu jam kemudian, Aku akhirnya merasakan tubuhku yang sudah lelah beraktifitas. Maka, kumantapkan niat setelahnya untuk pulang kerumah. Sesampainya dirumah, buku diary yang sudah sampai halam ke-80, kutuliskan kembali perasaan-perasaan yang semakin berubah ini.
Jam dinding tertawa ucap grup band jamrud. Ya, begitulah rupanya sifat jam dinding rumahku. Setiap hari ia selalu menertawakan diriku yang lambat. Lambat segala hal. Ya berpikir, bekerja, bahkan dalam urusan asmara atau berusaha meng-utarakan cinta pun. Selalu saja terkadang lambat.
Namun, keterlambatan itu bukan hanya difaktori dengan rasa takut semata. Tetapi sekeliling dirinya yang juga masih kuragukan. Aku masih setuju dengan argumen para tikus tadi. Oleh karena itu, akankah jiwanya kuat dan tidak mudah goyah terhadap hasutan-hasutan bengis sekelilingnya?
Dan hari ini, akhirnya Aku mulai berpikir satu hal. Tikus-tikus memang secara karakter itu buruk serta ia merupakan hewan yang dipandang hina. Akan tetapi, apakah kehadirannya di muka bumi ini memang tidak berfungsi? Dengan kata lain, apakah hadirnya tidak membawa kemanfaatan selain hanya kerugian Makhluk hidup semata? Kalau iya, Aku tentu mengatakan bahwa itu tidak benar.
Kita takkan mampu membayangkan untuk menahan derita manakala kuman-kuman dirumah tidak dimakan tikus. Ya, meski tak bisa dpungkiri apabila kawanannya terlalu jamak, itu akan merugikan. Namun, intinya sudah jelas. Bahwa kehadiran tikus tidak sepenuhnya merugikan.
Lalu bagaimana dengan Aku dan gembel-gembel lain yang sebagian orang kadangkala tidak menganggapnya? Apakah kehadiran para gembel hanya merugikan suatu Negara bangsa karena tingkat populasinya yang banyak, akan merugikan Negara tersebut? begitu kan pemikiran Hitler, sehingga banyak orang miskin di Jerman dibumi hangus-kan.
Pesimisme itupun akhirnya pergi dari dalam jiwaku. Dan aku yakin, kalau kelak Aku berani mengungkapkan perasaan ku padanya, tentu Aku tak tahu apa jawabannya, yang jelas kalau Ia berkata "Mau," Aku berjanji untuk terus menjaga dan bahkan membimbingnya menuju kebenaran Ilahi.
Kalaupun seandainya Ia ternyata menolakku dengan berkata "Tidak," maka Aku takkan pernah memaksanya. Ya, aku takkan memaksa. Dan bagaimana cara memaksanya? Apakah berbuat kriminal? Tentu saja itu hak perasaannya. Pertemanan akan tetap terjalin, tetapi tidak lagi dengan perasaan yang tulus ini.
Manusia memang di satu sisi harus bisa menerima kenyataan. Kenyataan yang mungkin bisa kita katakan "Pupus." Tidak semua kehendak Manusia itu ada masanya selalu tercapai. Namun, apabila Manusia itu setidaknya memasang sikap selalu optimis terhadap objek yang dijuang, entah kenapa. Aku berpikir, kalaulah ternyata kita mengalami kegagalan. Namun, ada cara Tuhan kemudian bekerja mengabulkan.
Lebis jelasnya adalah, berjuang dengan gigih tetapi gagal, kemudian Tuhan membantu kita mencapai itu justru dengan caraNya yang lain. Itu tandanya apa? itu tandanya adalah, "Apa Yang Baik Menurut Manusia, Belum Tentu Baik Menurut Tuhan Sang Pencipta." Pun sebaliknya.
Seperti itulah salah-satunya rumus kehidupan. Tetapi apa yang mesti digaris-bawahi akan asumsi ini? Tak lain, ialah perihal untuk M.A.U. Tiga huruf yang mengisyaratkan agar semua Manusia jangan hanya sekadar berpangkul tangan untuk pasrah menerima keadaan-keadaan.
Melainkan, Ia harus berbuat. Jadi ada dimensi tindakan disitu, yang dimulai dari Akal Pikiran.Setidaknya, Aku bisa sedikit bersikap dewasa untuk dapat memahami perihal hal tersebut.
Sulit bagi kita jika berdiam diri dan pasrah terhadap situasi keadaan, lantas berkhayal untuk melihat perubahan dan kemajuan, pastilah kita akan mengalami penderitaan yang begitu perih. Sebab, khayal itu takkan tercapai.
Rasa letihku, entah kenapa pergi sesaat setelah suara tawanya. Tawa yang selalu hempaskan penat, bahkan terhadap Dunia yang sedang berduka ini. Ya, Ia pun rupanya sudah tahu, bahwa Dunia ini tengah berduka. Sebab pemakmurnya, sedang tertidur dan tak punya daya untuk terbangun.
Aku memimpikannya, seperti halnya bunga Teratai selalu mendambakan agar danau tidak pernah lenyap hanya karena faktor kejamnya kemarau melanda. Namun, sang danau tempat tumbuhnya, seolah-olah memberi tanda ingin segera mengering, karena Ia tak sudi menerima sang teratai.
Alarm ku lantas berbunyi dengan riang. Suara riangnya, karena tertawa terbahak-bahak menertawakanku. Aku pun terbangun dan menjadi malu. Ya, individu yang memalukan. Tetapi bukan berarti diriku insecure.Â
Insecure itu hanyalah sifat dari anak-anak. Dan Aku bukanlah bagian daripada banyak Anak-anak. Jadi sebagai sosok yang mengklaim bahwa dirinya sudah dewasa, adalah tidak dibenarkan bahwa Dunia adalah objek yang harus ditakuti.
Kalau kita ingin berpikir, Dunia ini pun sesungguhnya tercipta untuk melayani semua kebutuhan hidup Manusia. Hidup Manusia yang haus akan segala sesuatu yang sifatnya finansial material. Tuhan sebagai sang pencipta, menyediakanlah Dunia ini untuk Manusia, sebagai bentuk Maha PengasihNya.
Tidak terkecuali Aku, yang selama ini sudah memupuk rasa hingga menggunung tinggi. Akan tetapi, pernahkah kita berpikir? Bagaimana jikalau Gunung-gunung yang dengan pongahnya menjulang tinggi, kemudian terpecah menjadi berkeping-keping?
Saat ini, tibalah Aku pada fase dimana Aku sudah siap untuk berbicara dengannya. Mencoba untuk meng-utarakan cintaku. Kata "Cinta," yang orang-orang hari ini sudah mencemarinya menjadi suatu kata yang tersimpan dalam perasaan, kemudian dianggap sebagai keburukan. Mencintai seseorang, sama dengan menyiksa diri sendiri. Begitulah kira-kira.
Aku menghubunginya. Ayu, wanita yang kucintai itu, kucoba untuk merayunya sesekali. Setelah itu niatku, adalah untuk mengajaknya bertemu. Tetapi sangat disayangkan. Rayuanku sudah memperlihatkan sikap Ia yang sebenarnya kepadaku.
Ayu menolak cintaku. Ia berkata bahwa Ia sedang berada dalam fase dimana menutup dirinya, dan pulih dari rasa sakitnya tanpa harus melibatkan Orang lain, yakni Aku. Entahlah, mungkin menutup diri untuk selama-lamanya. Menutup diri dari sekeliling, orang banyak, dan bahkan dalam persoalan asmara. Begitulah dia berucap padaku.Â
Ya, Aku tak akan memaksa. Pernyataannya itu, lantas membuatku sakit hati. Dan kini, itulah yang kurasa. Baiklah, sakit hati sesaat mungkin tidak ada masalah. Kemudian di satu sisi, Aku pun tak menyangka. Mimpiku ternyata benar. Ayu menolak cintaku. Tetapi Aku tidak pernah menganggap itu kenyataan. Namun, mimpi itu ternyata sudah menjadi nyata. Sayang sekali.
Sejenak, terlintas dalam benak pikirku di kemudian hari. Apakah pernyatannya itu hanyalah bersifat terpaksa? Atau mungkin itu hanyalah alibi atau alasannya? Karena Ia pun selanjutnya berpikir. Mungkinkah Ia harus menerimaku yang secara ekonomi, tidaklah mempuni ini?
Ya, kurasa begitulah selanjutnya jalan pikirannya. Ayu hanya saja menolakku secara halus. Agar, tak ada lagi membuatku mengharapkannya. Ia tak ingin Aku berharap terus-menerus, berangan-angan untuk  memilikinya, sebab itu adalah hal yang mustahil.
Saat ini, tibalah akhirnya Aku berada pada fase dimana untuk berhenti mengharapkan cinta yang tulus dari seorang perempuan. Bukan karena tidak ada yang menyukai-Ku dan Aku merasa sakit ketika jatuh cinta. Akan tetapi, Aku memang masih belum layak untuk dicintai, dan cinta pun memakluminya.
Cinta lalu berusaha membuatku agar menjauhinya dan jangan pernah melibatkan diri kembali. Itulah mengapa, wanita-wanita yang mungkin memang pernah mencintaiku, lantas pergi menjauh pada akhirnya dan melupakanku. Â Â
Sejauh ini, sudah 5 orang Wanita yang kucintai dan Aku gagal memahami mereka betapa tulusnya cintaku. Disamping itu, ada sekitar 2 orang wanita yang mencintaiku dan Aku tak menggubrisnya sama sekali. Bukan tak ada hati untuk membalas. Tetapi seperti yang kukatakan. Aku belum layak untuk itu.
Ayu, lantas menjelma menjadi kenanganku yang untuk pertama kalinya. Pertama kali seorang perempuan menolakku. Ya, Ayu-lah perempuan yang secara terus terang pertama kali menolak cintaku, meski dengan peralihan bahasa yang santun, dengan upayanya agar tak membuatku sakit hati.
Ayu wanita cantik yang pernah kucintai itu, tetaplah masih untuk selalu kutemui. Sebab kami, adalah dua jiwa yang ber-profesi sama. Jalanan dan para gembel-gembel jalanan-lah teman sejati kami. Teman tempat kita bertukar pikiran, dan memahami apa itu esensi sebenarnya dari kata "Bersyukur," yang selalu didengungkan Orang-orang.
Tetapi, Aku tak pernah menyesal untuk mengenal dan mencintainya. Dari dia-lah, pikiran-pikiran yang kutuliskan diatas, akhirnya sudah kusadari. Kalau pada akhirnya, pikiranku pun bertanya mau sampai kapan? Entahlah, Aku sendiri juga tak mempunyai jawabannya.
       ~~~Mungkin saja dalam jangka waktu yang lama, atau bahkan, selama-lamanya.~~~
                                              ****
Banyak sekali sudah diantara kita semua yang  menuangkan kegelisahan-kegelisahan diri kita dalam banyak tulisan-tulisan  seperti esai, puisi, syair, cerpen, dll. Bahkan, kita pun mem-publishnya pada khalayak ramai, dalam bentuk kisah-kisah fiksi yang berbeda. Sehingga menjadi bahan evaluasi.
Saya begitu bangga dengan kita semua karena sudah mampu menuangkan imajinasi itu. Sampaikanlah terimakasih banyak bagi masa-masa yang berlalu. Karena masa lalu tersebut-lah, kita sudah dijadikan sosok-sosok yang begitu dewasa dalam menyikapi hidup yang senantiasa berjalan ini.
Â
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H