Mohon tunggu...
Ahmad Mutawakkil Syarif
Ahmad Mutawakkil Syarif Mohon Tunggu... Mahasiswa - Just a kid from Cendrawasih, Makassar

Hidup adalah seni menggambar tanpa penghapus

Selanjutnya

Tutup

Pendidikan Pilihan

Jago Gadget, Gagap Ilmu: Krisis Pendidikan di Era Digital

14 November 2024   07:51 Diperbarui: 15 November 2024   08:04 448
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Jago Gadget, Gagap Ilmu: Krisis Pendidikan di Era Digital”

Tulisan ini hadir sebagai keberlanjutan dari tulisan sebelumnya yang membahas terkait kecanduan gadget dan sosmed. Sejalan dengan judul diatas, maka yang menjadi fokus pembahasan kali ini berkaitan dengan dampak kecanduan tersebut terhadap dunia pendidikan. Dimana tentu yang akan menjadi subjek utama pembahasan adalah para pelajar, mulai dari tingkat sekolah dasar sampai jenjang perkuliahan. Mulai dari bagaimana mereka kecanduan, menurunnya minat belajar secara perlahan, hingga bagaimana kecanduan terrsebut bisa mengakibatkan penurunan suatu sistem pendidikan secara keseluruhan.

Sebenarnya, jika kita berbicara terkait tren penggunaan gadget dan sosmed, itu sudah dimulai sejak awal 2000-an, ditandai dengan masuknya berbagai jenis telepon genggam ke Indonesia seperti Nokia 3310, Motorola Razr, dan Sony Ericsson, lalu di rentang waktu yang kurang lebih sama lahirlah sosial media generasi pertama, seperti Friendster, My Space, Linkedln dan Facebook. Selang beberapa tahun kemudian muncullah sebuah produk bernama iphone yang dirilis oleh perusahaan apple yang menjadi jalan pembuka bagi perkembangan ponsel pintar waktu itu. Tak hanya itu, Google juga meluncurkan sebuah sistem operasi yang disebut sebagai Android, yang kemudian kita kenal sebagai pesaing utama iOS milik Apple. Dan tahun-tahun berikutnya pun berbagai inovasi di dunia gadget dan sosmed terus terjadi, sejalan dengan naiknya intensitas user dari kedua elemen tersebut.

Meningkatnya penggunaan terhadap gadget dan sosmed tersebut disebabkan berbagai faktor yang dipengaruhi oleh usia kepentingan atau tujuan penggunaan, dan tingkat keterlibatan. Setiap kategori mencerminkan perbedaan dalam perilaku, platform yang dipilih, serta cara berinteraksi. Misalnya, pada kategori orang dewasa, khususnya yang berumur 30-an keatas. Biasanya orang-orang yang termasuk ke dalam kategori ini menggunakan sosmed untuk berkomunikasi dengan teman-teman, kolega bisnis maupun keluarga jauh, ini bertujuan untuk menjaga hubungan agar tidak terputus. Dan platform yang dapat menunjang kepentingan mereka ini adalah Whatsapp dan Facebook. Selain itu, orang dewasa pada kategori ini umumnya sangat suka membaca berita, dengan tujuan agar mereka update dengan informasi terbaru, dan yang biasanya mereka gunakan adalah platform penyedia berita seperti Kompas. Namun tak jarang, ada juga orang dewasa yang menggunakan medsos untuk pekerjaan mereka, baik itu mereka yang ingin mencari pekerjaan, memperluas jaringan kerja, mempromosikan bisnis atau personal branding. Penjelasan tadi hanya sebagai contoh terkait apa alasan orang-orang pada kategori dewasa menggunakan gadget dan sosmed, dan jawabannya yang berbeda-beda, tergantung pada kepentingan masing-masing.

Hal serupa juga berlaku pada kategori anak-anak hingga remaja. Meskipun sebenarnya ada banyak faktor penyebab penggunaan gadget dan sosmed, tetapi dari perspektif penulis jawaban utamanya hanya satu, yaitu mencari hiburan. Dan berangkat dari faktor inilah yang menyebabkan berbagai faktor lainnya muncul yang kemudian dijadikan sebagai alasan penggunaan gadget dan sosmed pada kategori anak-anak sampai remaja.

Anak-anak dan remaja, satu kata yang sangat erat dengan dua jenis kelompok sosial ini adalah bermain. Bermain merupakan suatu proses dimana mereka tidak hanya bersenang-senang dan mencari hiburan semata, tetapi juga belajar tentang diri mereka sendiri, orang lain, dan dunia sekitar. Pada masa anak-anak, bermain adalah cara mereka untuk berinteraksi dengan teman sebaya, berkreasi sekaligus berkreativitas serta membangun keterampilan di bidang sosial dan motorik. Dan seiring bertambahnya usia, jenis permainan yang mereka mainkan pasti berubah mengikuti perkembangan otak dan fisik mereka.

Dan disinilah awal mula keterlibatan gadget dan sosmed, dimana kedua elemen tersebut menjadi “permainan” bagi mereka. Dengan adanya gadget dan sosmed, bermain tidak lagi selalu berhubungan dengan aktivitas di luar rumah, tetapi bisa dilakukan secara online, seperti bermain game, chattingan, menonton kartun, dan sebagainya yang mana tidak mengharuskan anak-anak keluar rumah.

Seiring berjalannya waktu, ketika anak-anak mulai memasuki fase remaja, pandangan mereka terhadap gadget dan sosmed perlahan akan berubah. Mereka secara perlahan akan menyadari bahwa gadget dan sosmed tidak hanya sebatas “wadah” untuk mencari hiburan, namun lebih dari itu. Sebagaimana yang dikatakan di beberapa paragraf sebelumya, bahwa faktor mencari hiburan adalah faktor utama yang kemudian menjadi pintu bagi kemunculan berbagai faktor lainnya. Ketika memasuki fase remaja, para remaja ini akan menyadari pentingnya interaksi sosial. Sebab, tak dapat dipungkiri, masa remaja adalah masa yang cenderung dipenuhi konflik. Hal tersebut bisa dipengaruhi beberapa faktor, seperti faktor tekanan dari teman-teman, perbedaan prinsip dengan keluarga maupun masyarakat, atau yang paling terkenal yaitu faktor pencarian identitas.

Selain masa penuh konflik, masa remaja merupakan masa dimana seseorang haus akan validasi, dan sehubungan dengan topik yang dibahas, gadget dan sosmed kemudian menjadi wadah bagi mereka untuk mendapatkan validasi tersebut. Misalnya, ketika seorang remaja mengupload fotonya ke instagram, tentu ia berharap akan mendapatkan like atau komentar yang menunjukkan bentuk perhatian orang lain padanya. Pada dasarnya, para remaja ini ingin publik menyadari eksistensi mereka, bahwa mereka ada, hidup dan berkarya di dunia ini. Selain faktor diatas, masih ada lagi beberapa faktor lainnya yang mendasari penggunaan gadget dan sosmed di kalangan remaja.

Sebenarnya penggunaan gadget dan sosmed oleh remaja tidaklah dilarang, sebab ada banyak dampak positif yang dihasilkan seperti kemudahan akses terhadap informasi pembelajaran, sarana pengembangan soft skill dan sebagainya. Namun pada fase remaja, seorang remaja cenderung sulit untuk mengedalikan dirinya. Ini tentu bukan klaim sepihak, sebab dalam ranah sains, hal ini berkaitan erat dengan tahap perkembangan otak, khususnya pada bagian prefrontal cortex, yang berfungsi untuk  pengambilan keputusan, perencanaan, dan kontrol diri. Otak bagian ini baru mencapai kematangan penuh sekitar usia 25 tahun, sehingga remaja sering kali lebih impulsif dan berfokus pada kepuasan instan daripada mempertimbangkan dampak jangka panjang. Karena itulah para remaja seringkali tidak terkendali saat bertindak, lebih lanjut, ketidakmampuan remaja dalam hal mengontrol dirinya juga yang kemudian membuat para remaja rentan mengalami kecanduan terhadap gadget dan sosmed.

Kecanduan terhadap gadget dan sosmed lah, yang kemudian menimbulkan banyak dampak negatif di berbagai aspek, salah satunya aspek pendidikan—sehubungan dengan tema tulisan kali ini. Kecanduan gadget dan sosmed dapat mempengaruhi beberapa aspek penting dalam pendidikan. Misalnya dari sisi kinerja otak, remaja yang sudah kecanduan gadget dan sosmed akan lebih sering menghabiskan waktunya untuk bermain gadget dan berselancar di sosial media, Ini dikarenakan media sosial dan aplikasi hiburan menawarkan reward atau kepuasan instan melalui fitur-fitur seperti notifikasi dan likes, sehingga pengguna seringkali terjebak dalam siklus serupa, dimana mereka merasa kecanduan terhadap rasa senang dan penghargaan, yang muncul setiap kali ada notifikasi baru, like, atau komentar, yang pada akhirnya memperkuat kebiasaan tersebut.. Apa akibat jangka panjangnya? Otak remaja tersebut akan mengalami penurunan dalam hal fokus dan konsentrasi, yang mana kedua hal tersebut sangat penting dalam proses pembelajaran. Sebab tanpa kemampuan fokus dan konsentrasi, maka materi pembelajaran yang dijelaskan guru maupun yang ada di buku akan susah untuk masuk ke otak, masuk telinga kanan keluar telinga kirikurang lebih begitulah perumpamaannya.

Selain penurunan kinerja otak, kecanduan gadget dan sosmed juga berdampak pada kesehatan fisik dan mental para remaja. Saat ini di sosmed sedang marak dengan konten-konten yang berbau dengan achievement individu, ini membuat mereka sering membanding-bandingkan diri mereka dengan orang lain di sosmed yang menyebabkan para remaja ini menjadi kurang percaya diri atau bahkan mengalami kecemasan secara emosional. Keadaan mental yang terganggu ini tidak hanya memengaruhi kesejahteraan pribadi mereka tetapi juga menurunkan performa akademik. Gadget dan sosmed juga membuat remaja mempunyai kebiasaan buruk, yaitu begadang. Terkadang para remaja ini sibuk bermain game—pushrank bersama teman, scroll sosmed tanpa tujuan yang jelas sehingga mengakibatkan kurangnya waktu tidur yang berkualitas. Kurangnya tidur berkaitan langsung dengan penurunan fungsi kognitif, seperti daya ingat dan kemampuan memecahkan masalah, yang sangat penting dalam pendidikan. Dengan tidur yang tidak cukup, remaja menjadi mudah lelah dan kurang bersemangat di kelas, yang mengurangi kemampuan mereka dalam mengikuti dan memahami materi pelajaran.

Sumber: Canva
Sumber: Canva

Bagi penulis sendiri, ada dua dampak negatif yang paling gampang terlihat akibat kecanduan gadget dan sosmed saat ini. Yaitu: 

Pertama, terciptanya ketergantungan terhadap teknologi. Jika kita melihat realita saat ini, para pelajar dari berbagai tingkatan pendidikan cenderung menggunakan bantuan gadget untuk menyelesaikan tugas-tugas mereka. Ini tentu memiliki dampak buruk, sebab ketika para pelajar ini terus-menerus menggunakan teknologi untuk mencari jawaban atas tugas-tugas yang diberikan, mereka sering kali tidak mengembangkan kemampuan berpikir kritis atau memecahkan masalah secara mandiri.

Dalam konteks pendidikan, kemampuan critical thinking dan solving problem ibarat kunci dalam memahami materi pembelajaran dan mengembangkan kemampuan analisis. Jika para pelajar mengalami ketergantungan terhadap teknologi, maka kunci tersebut akan menjadi berkarat sebab jarang atau bahkan tidak digunakan sama sekali. Ketergantungan ini disebabkan saat ini ada teknologi bernama AI (artificial intelligence), sebuah tools yang memudahkan para pelajar dalam mencari informasi yang berguna untuk menyelesaikan tugas dan masalah. Kemunculan AI ini yang kemudian membawa dampak kausalitas terhadap dunia pendidikan, sebab ketika para pelajar diberikan tugas, alih-alih melakukan analisis dan memahami konsep terlebih dahulu, mereka langsung copypaste soal tugas di AI lalu melakukan pola yang sama, yaitu copypaste jawaban AI ke tugas mereka.

Kedua, hilangnya motivasi belajar, ketika seorang remaja telah kecanduan gadget dan sosmed, maka mereka cenderung lebih tertarik pada tantangan dan reward yang ditawarkan pada dunia online dibandingkan dengan achievement akademik. Sebagai contoh, orang yang sudah kecanduan game online, dia akan lebih tertarik untuk mendapatkan pencapaian-pencapaian besar di dalam game, seperti rank yang tinggi, top leadeboard, dibandingkan dengan pencapaian di sekolah seperti nilai yang tinggi saat ujian, masuk peringkat 10 besar di kelas, dan sebagainya.

Sejatinya, jika kita berbicara tentang motivasi, maka itu merupakan sebuah hal yang sangat penting untuk mendorong seseorang dalam melakukan sesuatu ataupun mencapai target. Dalam konteks pendidikan, motivasi lah yang mendorong siswa terlibat aktif dalam proses pembelajaran, baik di dalam maupun diluar kelas, seperti menyelesaikan tugas, dan berpartisipasi dalam lomba, dan sebagainya. Ketika motivasi ini menurun karena mereka lebih tertarik pada dunia online yang memberikan kepuasan instan, para remaja ini akan menjadi lebih mudah bosan ketika proses pembelajaran, dan merasa kurang tertarik pada pelajaran yang memerlukan usaha dan ketekunan, seperti matematika, fisika, dsb.  Akibatnya, mereka kurang terdorong meningkatkan kemampuan akademik mereka.

Berbagai dampak negatif yang sudah dijelaskan diatas, pada akhirnya memiliki satu orientasi serupa, yakni dapat membawa penurunan kualitas pendidikan seorang pelajar, dan jika ini dibiarkan berlanjut maka akan mempengaruhi dunia pendidikan di Indonesia. Jangan sampai seperti kata peribahasa "Karena nila setitik, rusak susu sebelanga."

 

Sebenarnya, dampak negatif dari kecanduan gadget dan sosmed dalam dunia pendidikan sudah terlihat. Jika kita mengikuti perkembangan di sosmed beberapa waktu ke belakang, beredar sebuah video berisi siswa tingkat SMA (sekolah menengah atas) yang sedang diinterview. Video itu diunggah oleh seorang bernama Boyke Aldysha di platform Tiktok. (Sumber:https://www.tiktok.com/@papa.groot/video/7409636458300034309?q=sebutkan%20negara-negara%20eropa&t=1731515776689).

Interview siswa SMA. Sumber: https://www.tiktok.com/@papa.groot
Interview siswa SMA. Sumber: https://www.tiktok.com/@papa.groot

Dalam unggahannya tersebut, terdapat 4 orang siswa SMA yang sedang di ajak bermain game dalam bentuk interview. Adapun intruksi dalam interview tersebut menyuruh 4 orang siswa tersebut untuk menyebutkan nama-nama negara yang ada di benua Eropa, dan yang salah out, adapun yang bisa bertahan hingga akhir akan mendapat hadiah. Yang kemudian membuat video yang diunggah oleh pemilik akun tiktok dengan username @papa.groot ini menjadi sangat ramai bahkan memiliki komentar sampai 69 ribu lebih adalah karena jawaban yang diberikan keempat siswa tersebut. Jawaban yang diberikan oleh mereka kebanyakan melenceng, dimana negara yang mereka sebutkan sebenarnya tidak termasuk ke dalam wilayah benua eropa.

Orang pertama menjawab “Garut”, bahkan setelah diberikan kesempatan kedua jawaban yang diberikan masih salah, yaitu “Indonesia”, barulah di kesempatan ketiga ia menjawab dengan benar “Inggris”,

Orang kedua menjawab “Amerika”, di kesempatan kedua barulah ia menjawab dengan benar “Jerman”,

Orang ketiga menjawab “Brazil”, dan di kesempatan kedua jawabannya masih salah, yaitu “Australia” menyebabkan ia keluar dari permainan,

Orang keempat lansung benar dijawaban pertama “Belanda”,

Namun di putaran kedua, orang kedua dan keempat harus keluar sebab jawaban yang mereka berikan salah, mereka secara berurutan menjawab “filipina” dan “vietnam”, menyisakan orang pertama yang membuatnya menjadi pemenang.

Games dalam bentuk interview tersebut memang tidak bisa dijadikan tolak ukur untuk menilai kualitas pendidikan di Indonesia, namun games itu lebih dari cukup untuk mengundang rasa prihatin masyarakat terhadap kualitas pendidikan di negara kita. Ini terlihat dari beragam komentar yang ada;

“yg bener aja sma gak ngerti negara eropa”

“mereka klo belajar merhatin kh, negara eropa aj gatau”

“yang ditanya negara eropa yg dijawab negara di asia😭😭😭🙏”

“kemajuan pendidikan di Indonesia, negara Eropa aja sampe ga tau🗿”,

Dan masih banyak lagi komentar senada yang menggambarkan keprihatinan, kekecewaan dan kekhawatiran terhadap sistem pendidikan kita. Video ini sudah direpost oleh banyak akun lokal di platform yang berbeda-beda, uniknya di salah satu repost yang penulis temukan di Instagram, ada komentar seperti ini;

“yaelah, emang tau negara-negara di eropa buat kalian otomatis diterima kerja?”

Penulis setuju dengan komentar ini, tapi tidak secara menyeluruh. Memang benar, bahwa pengetahuan kita akan negara-negara di eropa, tidak akan membuat kita diterima kerja. Tapi ada satu hal yang luput disini yang kemudian mendasari terbentuknya sebuah kesalahan berpikir, yaitu orang-orang yang diinterview itu mengenakan seragam SMA, dan penampilan mereka secara fisik pun memang masih SMA, bukankah hal yang wajar jika seorang siswa ditanya terkait pengetahuan yang ia pelajari?. Dan bicara terkait pengetahuan, bukankah pengetahuan terkait negara-negara di Eropa itu masuk ke dalam ranah pelajaran Geografi? Kalaupun seandainya di sekolah mereka secara kebetulan tidak belajar geografi, bukankah pada tingkat yang lebih rendah, yaitu SD, kita telah diajari tentang pembagian benua dan negara di mata pelajaran IPS? Jadi seharusnya mereka paling tidak bisa menjawab lebih dari 5 negara dengan benar, tapi jangankan 5, orang yang bertahan paling akhir saja hanya bisa menjawab 2 negara saja yang sesuai dengan instruksi di awal video. Ini membuat kita bertanya-tanya, apa yang salah dengan sistem pendidikan kita? Mengapa pertanyaan yang seharusnya dengan gampang dijawab oleh anak SD bahkan tidak bisa dijawab oleh anak SMA? Apakah ada yang salah dengan kurikulum sistem pendidikan kita?Atau justru penyebab utamanya berasal dari para pelajar itu sendiri? berbagai pertanyaan ini—sekali lagi, muncul sebagai bentuk keprihatinan, kekecewaan serta kekhawatiran atas sistem pendidikan di negara ini.

Dan masih seputar interview tersebut, penulis meyakini bahwa gadget dan sosmed lah yang menjadi pengaruh utama. Sebab, bisa dikatakan bahwa mayoritas pelajar saat ini telah kecanduan gadget dan sosmed, dan kecanduan tersebut telah menimbulkan dampak negatif—sebagaimana yang telah dijelaskan diatas, yang berakibat pada menurunnya kualitas pendidikan, dan itu tercermin dalam interview tersebut. Bahkan saat ini di medsos ada banyak sekali konten-konten yang dijadikan tren ataupun standar bagi banyak remaja, sampai ada isitilah “tren tiktok” atau “standar tiktok”, yang membuat para pelajar yang sudah kecanduan gadget dan sosmed terobsesi untuk mengikuti tren ini.

Harapannya, dengan mengetahui dampak-dampak negatif yang bisa timbul akibat kecanduan gadget dan sosmed, para pelajar di Indonesia bisa lebih sadar akan bahaya yang mungkin timbul jika sudah kencanduan, sekaligus menjadi lebih pandai dalam memanajemen waktunya ketika menggunakan 2 hal tersebut. Sebab, jika sudah kecanduan, maka akan berdampak pada banyak aspek, salah satunya menurunnya kualitas pendidikan. Dan jika tak ada perhatian serius, maka terjadi potensi munculnya penurunan kualitas sistem pendidikan di Indonesia. Karena itu perlu kerjasama antara orang tua, guru, masyarakat serta para pelajar itu sendiri untuk lebih selektif dalam menggunakan gadget dan sosmed. Sekian Terimakasih.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Pendidikan Selengkapnya
Lihat Pendidikan Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun