Mohon tunggu...
Ahmad Haiqel
Ahmad Haiqel Mohon Tunggu... Penulis - 𝓼𝓮𝓭𝓪𝓷𝓰 𝓽𝓲𝓭𝓾𝓻

Selamat datang di medium subjektif, tapi terkadang objektif juga.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Black Lives Matter: Apa, Mengapa, dan Akankah Menjalar ke Indonesia?

7 Juni 2020   02:01 Diperbarui: 10 Juni 2020   14:25 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Jika diperhatikan, kasus kematian George Floyd adalah hal terbesar di tahun ini setelah kasus pandemi COVID-19. Bukan tanpa sebab, kematian George Floyd yang bahkan kejaksaan agung Minneosta pun menyebutnya sebagai pembunuhan, menuai amarah dan kecaman. 

Lalu, siapakah George Floyd dan apa yang dilakukannya sehingga harus diringkus kepolisian?

George Perry Floyd Jr. atau yang dikenal George Floyd adalah pria kelahiran Fayetteville, North Carolina pada 14 Oktober 1973. Floyd dibesarkan di Cuney Homes di Bangsal Ketiga Houston , Texas. Teman dan keluarga memanggilnya Perry dan mencirikannya sebagai "raksasa lembut". Pada 2014, Floyd pindah ke Minnesota untuk mendapatkan pekerjaan sebagai supir truk dan penjaga keamanan. Namun karena pandemi yang sedang terjadi ini, ia kehilangan pekerjaannya sebagai penjaga keamanan.

Jika melihat ke belakang, Floyd relatif tergolong anak berbakat. Terbukti ketika ia sangat aktif dalam tim basket di universitasnya, memimpin tim juara sepakbola di kejuaraan negara bagian Texas, hingga menjadi rapper di grup hip hop Screwed Up Click. Namun hidup tak selalu baik, pada 2009 ia dijatuhi hukuman penjara selama lima tahun atas perbuatan pencurian bersenjata.

Pada 25 Mei 2020, ia diringkus Departemen Kepolisian Minnesota (MPD). Kasus ini bermula saat Floyd membeli rokok di sebuah toko dimana ia biasa membelinya. Penjaga toko di sana pun mengenalnya sebagai sosok pria yang sangat ramah. Namun saat kejadian, penjaga itu sedang tidak bertugas. 

Floyd dilayani oleh seorang remaja yang juga menyadari bahwa Floyd menggunakan uang pecahan 20 dollar palsu untuk membeli rokok itu. Remaja itu sempat meminta rokok itu dikembalikan, namun tidak diketahui mengapa Floyd menolak. 

Sesuai prosedur toko, remaja itu menelepon 911 dan melaporkan kejadian itu. 7 menit setelah panggilan, beberapa polisi datang dan meringkus Floyd yang sedang duduk di mobil di depan toko itu. 

Tak lama, beberapa polisi termasuk Derek Chauvin, penindih leher George Floyd tiba. Chauvin mengakui menggunakan cara menindih leher Floyd dengan lututnya yang mana hal itu adalah tindakan legal di Minnesota dikarenakan Floyd menolak untuk dimasukkan ke dalam mobil. 

Setelah 8 menit 46 detik ditindih, Floyd tak bergerak. Meski sebelumnya ia memohon Chauvin untuk mengangkat lututnya karena ia tak bisa bernapas. Floyd dinyatakan tewas karena serangan jantung.

Tepat sehari setelah kematiannya, terjadi unjuk rasa yang pada awalnya berjalan damai,namun berakhir ricuh dengan vandalisme cat semprot dan tembakan gas air mata serta pengrusakan beberapa kendaraan kepolisian. 

Pada 27 Mei, dua hari setelah kematian Floyd, unjuk rasa semakin mencekam. Sebuah toko dibakar, beberapa dijarah, bahkan satu orang ditembak mati oleh pemilik pegadaian karena ia meyakini bahwa orang itu telah membobol pegadaiannya.

Di hari ketiga, walikota Minneapolis, Jacob Frey menyatakan situasi darurat dan menerjunkan 500 anggota Garda Nasional Minnesota ke daerah Saint Paul. Hari itu puluhan bangunan dibakar, ratusan toko dirusak dan dijarah, bahkan kantor polisi di distrik ketiga diserbu pengunjuk rasa dan dibakar.

Namun semua kerusuhan itu tampaknya dianalogikan berlebihan oleh Donald Trump. Ia tak berhenti mengutuk dan mengancam  untuk menertibkan para pengunjuk rasa. Pidatonya diancam oleh berbagai pihak, cuitannya "digembosi" oleh Twitter, bahkan kepala kepolisian pun memintanya untuk tutup mulut daripada memperkeruh keadaan.

Salah satu publik figur yang mengecam cuitannya adalah penyanyi kenamaan Taylor Swift. "Setelah menyulut api supremasi kulit putih dan rasisme selama pemerintahan anda, anda mempunyai keberanian untuk berpura-pura punya superioritas moral sebelum  mengancam dengan kekerasan. Ketika penjarahan dimulai, tembakan dimulai? 

Kami akan memilih kamu terdepak pada November. @Realdonaldtrump," pungkas Swift di cuitannya yang hingga saat ini telah disukai oleh 2,2 juta orang.

Kerusuhan yang semakin meluas ini jelas tak hanya disebabkan kematian George Floyd. Tindakan represif aparat dan "respon salah" oleh pemerintah khususnya Donald Trump, memancing pengunjuk rasa yang semakin banyak dan masif. 

Tak hanya masyarakat biasa, beberapa publik figur juga ikut turun ke jalan untuk menyuarakan aksi ini. Ariana Grande, pasangan Shawn Mendes dan Camila Cabello, Madison Beer, aktor Cole Sprouse yang sempat ditahan kepolisian, hingga Halsey yang tertembak peluru karet namun berhasil tertahan oleh lapisan bajunya.

Aksi bertajuk "Black Lives Matter" ini tak hanya dilakukan di Amerika saja. Beberapa kota lain seperti London, Auckland, Rio De Janeiro, dan beberapa kota di negara lainnya.

Di Australia, ribuan demonstran berkumpul untuk solidaritas atas kematian George Floyd. Meski tak mendapatkan izin, para demonstran tetap turun ke jalan untuk menjalankan aksi bertajuk "Black Lives Matter", juga mengutuk tindakan buruk aparat Australia atas suku asli Australia, Aborigin.

Di Kanada para demonstran bentrok dengan kepolisian Montreal. Beberapa benda dilemparkan ke arah petugas, lalu dibalas dengan semprotan merica dan tembakan gas air mata. Beberapa jendela hancur dan beberapa kebakaran terjadi.

Di Brasil juga demikian. Demonstran yang mengecam kejahatan kepolisian atas ras kulit hitam pekerja di Rio de Janeiro dibubarkan dengan tembakan gas air mata. Demonstran pun membalas tembakan itu dengan seruan "I can't breathe", senada dengan apa yang diucapkan George Floyd sebelum kematiannya.

Di paris, sekitar 20 ribu demonstran ricuh dengan kepolisian. Selain mengecam kejahatan dan rasialisme di Amerika, para demonstran juga kembali mengulik kasus kematian Traore yang terjadi di Paris pada 2016 silam.

Jika kita melihat secara detail, aksi-aksi yang menjalar ke negara lain didasari oleh "kasus lokal" yang terjadi. Mereka semua memanfaatkan momentum kematian George Floyd ini untuk bersatu menyuarakan kecaman atas tindakan rasialisme dan ketidakadilan sebuah ras di negara mereka masing-masing. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia sendiri masih sarat akan kasus SARA, terutama kasus ketidakadilan atas suatu ras. Jika disandingkan, semua itu menjorok ke kasus pelanggaran HAM di Papua yang tak pernah terselesaikan. 

Jikalau Amerika mempunyai jargon "Black Lives Matter"  atau kehidupan orang hitam itu penting, Indonesia mempunyai jargon "Papuan Lives Matter" atau kehidupan orang papua itu penting.

Tagar #PapuanLivesMatter sempat berkumandang di aplikasi Twitter. Salah satu akun yang membesarkan tagar ini adalah Veronika Koman, tersangka dugaan provokasi dalam peristiwa di asrama mahasiswa Papua di Surabaya tahun 2019, juga pengacara yang menangani banyak kasus HAM di Papua.

Tak hanya Veronika Koman, akun @puspen_tni juga mencuitkan tagar yang sama, namun memposting kegiatan sosial TNI di Papua dan menyelipkan tagar #WeLovePapua.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, mengatakan ini adalah momentum yang dieksploitasi beberapa kelompok, termasuk kelompok pro-referendum Papua. "Pandangan umum itu orang asli Papua ingin merdeka. Padahal tidak semua orang Papua ingin merdeka," ujarnya.

Itu [isu rasialisme] tidak akan dieksploitasi, jika tidak ada [kasus rasialisme], kan? Memang isu rasialisme ada dan momentum itu dimanfaatkan untuk melakukan kritik pada Indonesia. Rasialisme adalah dasar dari kebijakan yang diskriminatif secara politik, ekonomi dan budaya," tambahnya.

Jika kita melihat kasus terakhir yang cukup menghebohkan saja, yaitu pada Agustus 2019 di Surabaya, ketika asrama mahasiswa Papua yang digeruduk massa sambil meneriaki mahasiswa Papua dengan panggilan "monyet". 

Kejadian ini menyita perhatian berbagai pihak. Kejadian ini juga menjadi momentum penyuaraan "amarah" Papua atas tindak rasialisme dan ketidakadilan yang selama ini mereka rasakan. 

Tokoh kemerdekaan Papua Barat, Benny Wenda, berkomentar bahwa insiden di Surabaya telah "menyalakan api unggun rasisme, diskriminasi, dan penyiksaan orang Papua Barat selama hampir 60 tahun oleh Indonesia".

Tindakan rasis ini menyebabkan unjuk rasa di berbagai wilayah di Indonesia, khususnya di Papua dan Papua Barat. Amukan massa tak terkendali. Rumah, pasar, kantor, hingga gedung DPRD pun berhasil dibakar massa. 

Unjuk rasa yang terjadi juga membuat beberapa pihak kebingungan karena salah satu tuntutan demonstran adalah referendum Papua. Bahkan bendera Bintang Kejora pun lenggang berkibar di depan Istana Negara, Jakarta.

Namun inti dari itu semua adalah tindak rasialisme dan ketidakadilan atas suatu ras. Jika melihat apa yang telah terjadi dan apa yang sedang terjadi, seharusnya di Indonesia juga sudah ada yang mengadakan aksi yang sama. Momentum "Black Lives Matter" bisa dimanfaatkan untuk solidaritas atas perlakuan "kasus lokal" di Indonesia. Namun mungkin dikarenakan ihwal pandemi yang saat ini semakin mengganas di Indonesia, para aktivis dan masyarakat mengurungkan niat untuk menggelar aksi ini. 

Namun momentum yang lebih besar bisa saja terjadi. Bukan sebuah kemustahilan mereka akan berkumpul untuk menyuarakan "Black Lives Matter" dan "Papuan Lives Matter", seiring dengan pelonggaran demi pelonggaran PSBB yang diterapkan di berbagai wilayah.

Tetapi jika di hari esok beberapa pihak ingin menggelar aksi solidaritas ini, tentunya mereka akan memanen kecaman dan ancaman. Di situasi pandemi seperti ini, berbagai hal menjadi krusial. Segala aktivitas sudah diatur dan disahkan sanksi bagi yang melanggarnya. 

Dari aspek perizinan, tentunya aksi ini tidak akan mendapatkan izin. “Dilarang sama sekali apapun yang berkumpul dengan massa, termasuk kalau mau ada demo dalam pandemi apalagi soal ini, kami tidak akan izinkan,” kata Kabid Humas Polda Metro Jaya, Komisaris Besar Yusri Yunus seperti dilansir CNNIndonesia.com, Sabtu (18/2020).

Jadi sebuah unjuk rasa secara langsung atas kasus ini sepertinya tidak akan dilakukan. Mereka akan terus bersuara, namun dengan cara yang berbeda.

Satu hal yang pasti, kita harus belajar atas apa yang terjadi, khususnya di Amerika. Negara maju yang warganya relatif lebih berkualitas dari Indonesia, juga negara yang sudah ratusan tahun merdeka, masih menyimpan bara rasialisme dan perlawanan. Tentunya kita semua tidak menginginkan apa yang terjadi di Amerika juga terjadi di negara tercinta kita ini.

-Salam Mimpi-

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun