Pada 27 Mei, dua hari setelah kematian Floyd, unjuk rasa semakin mencekam. Sebuah toko dibakar, beberapa dijarah, bahkan satu orang ditembak mati oleh pemilik pegadaian karena ia meyakini bahwa orang itu telah membobol pegadaiannya.
Di hari ketiga, walikota Minneapolis, Jacob Frey menyatakan situasi darurat dan menerjunkan 500 anggota Garda Nasional Minnesota ke daerah Saint Paul. Hari itu puluhan bangunan dibakar, ratusan toko dirusak dan dijarah, bahkan kantor polisi di distrik ketiga diserbu pengunjuk rasa dan dibakar.
Namun semua kerusuhan itu tampaknya dianalogikan berlebihan oleh Donald Trump. Ia tak berhenti mengutuk dan mengancam untuk menertibkan para pengunjuk rasa. Pidatonya diancam oleh berbagai pihak, cuitannya "digembosi" oleh Twitter, bahkan kepala kepolisian pun memintanya untuk tutup mulut daripada memperkeruh keadaan.
Salah satu publik figur yang mengecam cuitannya adalah penyanyi kenamaan Taylor Swift. "Setelah menyulut api supremasi kulit putih dan rasisme selama pemerintahan anda, anda mempunyai keberanian untuk berpura-pura punya superioritas moral sebelum mengancam dengan kekerasan. Ketika penjarahan dimulai, tembakan dimulai?
Kami akan memilih kamu terdepak pada November. @Realdonaldtrump," pungkas Swift di cuitannya yang hingga saat ini telah disukai oleh 2,2 juta orang.
Kerusuhan yang semakin meluas ini jelas tak hanya disebabkan kematian George Floyd. Tindakan represif aparat dan "respon salah" oleh pemerintah khususnya Donald Trump, memancing pengunjuk rasa yang semakin banyak dan masif.
Tak hanya masyarakat biasa, beberapa publik figur juga ikut turun ke jalan untuk menyuarakan aksi ini. Ariana Grande, pasangan Shawn Mendes dan Camila Cabello, Madison Beer, aktor Cole Sprouse yang sempat ditahan kepolisian, hingga Halsey yang tertembak peluru karet namun berhasil tertahan oleh lapisan bajunya.
Aksi bertajuk "Black Lives Matter" ini tak hanya dilakukan di Amerika saja. Beberapa kota lain seperti London, Auckland, Rio De Janeiro, dan beberapa kota di negara lainnya.
Di Australia, ribuan demonstran berkumpul untuk solidaritas atas kematian George Floyd. Meski tak mendapatkan izin, para demonstran tetap turun ke jalan untuk menjalankan aksi bertajuk "Black Lives Matter", juga mengutuk tindakan buruk aparat Australia atas suku asli Australia, Aborigin.
Di Kanada para demonstran bentrok dengan kepolisian Montreal. Beberapa benda dilemparkan ke arah petugas, lalu dibalas dengan semprotan merica dan tembakan gas air mata. Beberapa jendela hancur dan beberapa kebakaran terjadi.
Di Brasil juga demikian. Demonstran yang mengecam kejahatan kepolisian atas ras kulit hitam pekerja di Rio de Janeiro dibubarkan dengan tembakan gas air mata. Demonstran pun membalas tembakan itu dengan seruan "I can't breathe", senada dengan apa yang diucapkan George Floyd sebelum kematiannya.