Mohon tunggu...
Ahmad Haiqel
Ahmad Haiqel Mohon Tunggu... Penulis - 𝓼𝓮𝓭𝓪𝓷𝓰 𝓽𝓲𝓭𝓾𝓻

Selamat datang di medium subjektif, tapi terkadang objektif juga.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Black Lives Matter: Apa, Mengapa, dan Akankah Menjalar ke Indonesia?

7 Juni 2020   02:01 Diperbarui: 10 Juni 2020   14:25 252
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di paris, sekitar 20 ribu demonstran ricuh dengan kepolisian. Selain mengecam kejahatan dan rasialisme di Amerika, para demonstran juga kembali mengulik kasus kematian Traore yang terjadi di Paris pada 2016 silam.

Jika kita melihat secara detail, aksi-aksi yang menjalar ke negara lain didasari oleh "kasus lokal" yang terjadi. Mereka semua memanfaatkan momentum kematian George Floyd ini untuk bersatu menyuarakan kecaman atas tindakan rasialisme dan ketidakadilan sebuah ras di negara mereka masing-masing. Lalu, bagaimana dengan Indonesia?

Indonesia sendiri masih sarat akan kasus SARA, terutama kasus ketidakadilan atas suatu ras. Jika disandingkan, semua itu menjorok ke kasus pelanggaran HAM di Papua yang tak pernah terselesaikan. 

Jikalau Amerika mempunyai jargon "Black Lives Matter"  atau kehidupan orang hitam itu penting, Indonesia mempunyai jargon "Papuan Lives Matter" atau kehidupan orang papua itu penting.

Tagar #PapuanLivesMatter sempat berkumandang di aplikasi Twitter. Salah satu akun yang membesarkan tagar ini adalah Veronika Koman, tersangka dugaan provokasi dalam peristiwa di asrama mahasiswa Papua di Surabaya tahun 2019, juga pengacara yang menangani banyak kasus HAM di Papua.

Tak hanya Veronika Koman, akun @puspen_tni juga mencuitkan tagar yang sama, namun memposting kegiatan sosial TNI di Papua dan menyelipkan tagar #WeLovePapua.

Peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Cahyo Pamungkas, mengatakan ini adalah momentum yang dieksploitasi beberapa kelompok, termasuk kelompok pro-referendum Papua. "Pandangan umum itu orang asli Papua ingin merdeka. Padahal tidak semua orang Papua ingin merdeka," ujarnya.

Itu [isu rasialisme] tidak akan dieksploitasi, jika tidak ada [kasus rasialisme], kan? Memang isu rasialisme ada dan momentum itu dimanfaatkan untuk melakukan kritik pada Indonesia. Rasialisme adalah dasar dari kebijakan yang diskriminatif secara politik, ekonomi dan budaya," tambahnya.

Jika kita melihat kasus terakhir yang cukup menghebohkan saja, yaitu pada Agustus 2019 di Surabaya, ketika asrama mahasiswa Papua yang digeruduk massa sambil meneriaki mahasiswa Papua dengan panggilan "monyet". 

Kejadian ini menyita perhatian berbagai pihak. Kejadian ini juga menjadi momentum penyuaraan "amarah" Papua atas tindak rasialisme dan ketidakadilan yang selama ini mereka rasakan. 

Tokoh kemerdekaan Papua Barat, Benny Wenda, berkomentar bahwa insiden di Surabaya telah "menyalakan api unggun rasisme, diskriminasi, dan penyiksaan orang Papua Barat selama hampir 60 tahun oleh Indonesia".

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun