Mohon tunggu...
Ahmad Heru
Ahmad Heru Mohon Tunggu... wiraswasta -

penyuka kereta api, pengagum danau dan sejarah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak-anak Langit

16 November 2013   22:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:04 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

“Sebenarnya, menjahit itu dibagi ke dalam dua bagian kemahiran menjahit.” Jelas tazkiya lagi, “Pertama, kemahiran menjahit di lekuk potongan bahan. Kedua, kemahiran mengukur, membuat pola, dan memotongnya. Di antara dua kemahiran ini, ilmu kedualah memiliki tingkat kerumitan lebih tinggi. Ketika ingin jadi seorang penjahit, sipapun harus pandai terlebih dahulu menjahit dengan rapih. Kalau sudah mahir, baru akan diajari bagaimana cara mengukur, membuat pola, dan memotongnya. Paling tidak, seperti itulah yang diajarkan Ayah saya.

“Awalnya, saya dan kakak saya, melakukan pemberontakan kecil-kecilan terhadap upaya Ayah memaksa kami untuk mau belajar menjahit. Saya dan kakak saya tidak pernah bercita-cita jadi penjahit. Kami sudah cukup melihat betapa susahnya hidup dari profesi itu dijalani ayah kami itu. Dan, di antara saya dan kakak saya, sayalah yang paling kuat memberontak. Saya bilang pada Ayah, saya tidak punya bakat menjahit. Saya bilang, saya ingin jadi guru atau ahli di bidang hukum saja. Saya tidak ingin keluarga saya hidup susah kelak, sebagaimana susahnya ekonomi Ayah membesarkan saya dan keluarga.

Namun Ayah berkata, “Kalau kamu tidak mau menjadi penjahit, tidak mau menjadikan ini sebagai mata pencaharian, tak apa yang penting, anak seorang penjahit, dilarang jadi penjahat ya!!!” canda Ayah saya, kemudian lanjutnya, “Tapi paling tidak, saat kelak hidupmu tiba-tiba susah, tiba-tiba kau terjepit hidup, kau bisa menjadikan ilmu menjahit ini sebagai ban cadangan, sampai kesempitanmu hilang. Nah, Lebih baik jadi penjahit daripada jadi penjahat dengan alasan apapun, bukan?!” tanya Ayahku kemudian.

Kata-kata beliau itu ternyata lekat di kepala saya sampai hari ini. Dan satu lagi yang beliau pesankan pada saya dan kakak saya: “Meski nanti kalian insyallah sudah jadi orang kaya, milikilah sebuah mesin jahit di rumah. Pasti bahagia rasanya, bisa sesekali melihat anak-anak kalian kelak bisa memakai kemeja dan celana yang dijahitkan orangtua mereka sendiri. Atau jika tidak, bagilah ilmu menjahit warisan dari bapakmu ini, ajarilah orang yang tak punya keahlian dengan keterampilan menjahit yang kalian punya,agar mereka tidak memilih jadi pengemis jalanan karena alasan tidak sekolah dan kurang keterampilan kerja. Seperti sekawanan gepeng yang makin menumpuk saja ditiap sudut lampu merah kota ini. Percayalah pada Ayah, memberi keterampilan pada gepeng lebih mulia ketimbang melontarkan uang recehan pada mereka, meskipun kalian lakukan setiap hari seumur hidup.”

Kata-kata itu tak lantas langsung saya ikuti. Sampai sekarang, saat saya jauh dari orang tua, kalau ada keperluan memotong celana yang kepanjangan kakinya, atau baju yang terlalu longgar, saya pasti lari ke tukang jahit terdekat. Mengupah mereka untuk mengerjakan sesuatu yang sebenarnya sudah saya kuasai sejak saya masih kecil.

Sementara kakak saya, setelah berlika-liku mencari peruntungan dengan ijazah sarjananya, akhirnya memutuskan untuk menjadi penjahit juga seperti Ayah, tentu saja dengan skala yang berbeda. Begitulah kenangan saya tentang sebuah mesin jahit.

Kini, saat saya bersama kalian di komunitas Anak Langit ini, keinginan saya untuk memiliki sebuah mesin jahit kembali menggebu-gebu lagi karena kalian. Saya rindu mendengar derak-derik suara pedalnya, dan suara tik-tik saat benang kawin dengan benang, dan melihat putaran rodanya yang dulu sekali waktu kecil pernah menjepit jari-jari saya.

Saya juga terinpirasi pesan Ayah saya, untuk mengajarkan sedikit keterampialn yang saya punya kepada orang-orang yang yang kurang terampil untuk bekerja dan untuk apa saja asal jangan hidup mengemis, padahal kita masih mampu berusah belajar dan bekerja.

“Apa kalian mau jadi pengemis?” Tanya Tazkiya kemudian

Serentak semua menggeleng. “Tidaaak....” jawab mereka.

“Apa kalian mau belajar keterampilan menjahit?”

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun