Mohon tunggu...
Ahmad Heru
Ahmad Heru Mohon Tunggu... wiraswasta -

penyuka kereta api, pengagum danau dan sejarah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak-anak Langit

16 November 2013   22:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:04 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Anak Langit di Bantown.

Matahari siang di Kota Tangerang Bantown, tak pernah kompromi. Panasnya, selalu begitu. Menyengat. Selalu sama, aroma bakar panasnya cukup untuk membuat para pemakai jalan raya menjadi ngebut memacu roda kendaraannya, dan ingin segera sampai tujuan. Tak terkecuali aku. Dengan mengendarai Supra Fit Hitam kesayanganku, yang kudapatkan dari hasil kerja keras ayahku tercinta. Aku bergegas menuju kampus. Anak kuliah semester 5 sepertiku memang sedang asik-asiknya kuliah. Rajin datang ngampus tiap hari.

Maklumkanlah sobat. Untuk aktivis sepertiku dan juga seperti Junaidi, dan juga kak Hakim, kegiatan kami berjubel dan antri untuk dilakukan stiap hari diasamping tugas kuliyah. Namun Kami senang, “karena memang untuk itulah kita hidup, untuk berkarya, dan harus punya karya nyata, dan karya itu haruslah konkrit. Kita masih muda kawan, mari kita tanamkan rasa malu jika kita harus mengemis, baik pada oarangtua, maupun pada para pengguna jalan raya...”. Itulah kata-kata Kak Hakim didepan Tujuh bocah yang dibinanya di komunitas Anak Langit di bantaran sungai Cisa done dekat kampus kami.

Saat aku sedang menuju tempat Komunitas anak Langit di sore itu, trafic line lalulintas didepanku melototkan matanya kearahku. Lampu merah. Sebagai pengendara yang baik, aku ikuti peraturan yang ada. Kuhentikan motorku tepat di belakang marka jalan. Aku berhenti di perempatan Jalan Perintis UMT. Salah satu perempatan padat di Jalan Kalipasir, tepi sungai Cisadane.

“Kak, minta uangnya Kak..” dua anak kecil menghampiriku dengan tatapan memelas.

Yang satu laki-laki, berbadan cukup lumayan besar, dan dekil sekira masih belasan umurnya. Sedang yang satunya lagi perempuan umur belasan juga, namun berperawakan lebih kurus dengan potongan rambut kriwil ala Rege band. Membuatku miris mendapaiti mereka saat begini.

Tak kubalas sapaan mereka. Aku hanya melambaikan tangan kosong. Sebuah isyarat bahwa aku tidak akan memberikan apa-apa dan menyuruhnya segera pergi.

Aku bukannya anti beramal. Aku suka beramal. Tapi ini masalah ideologi. Memberikan uang recehan pada anak-anak di jalanan adalah sebuah kesalahan. Dengan mudahnya kita memberikan uang kita, mereka akan mengira mencari uang itu adalah hal yang gampang dan tidak perlu perjuangan. Cukup minta sana-sini, maka uang akan muncul sendiri. Jika mental itu terbawa sampai mereka dewasa, bukankah negeri Bantown ini akan semakin terpuruk?

Jika memiliki uang lebih, bukankah lebih aman wal manfaat?, jika kita sumbangkan pada panti atau rumah singgah saja, atau dinas sosial?. Untuk selanjutnya, uang itu digunakan mengurusi anak-anak jalanan agar lebih memiliki masa depan. Sebagaimana yang aku bersama kawan-kawan kak Hakim lakukan. Mengorganisir mereka dalam sebuah komunitas. Komunitas Anak Langit Bantown kami beri nama.

***

“Eh kang, Hoy.. kang, eh... neng... sini, apa kalian tau Komunitas anak langit?” panggil seorang Mahasiswa bermotor vespa diego jadul, pada serombongan pengamaen di jalan Perintis, yang sedang berteduh di musholah taman kota.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun