Mohon tunggu...
Ahmad Heru
Ahmad Heru Mohon Tunggu... wiraswasta -

penyuka kereta api, pengagum danau dan sejarah

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Anak-anak Langit

16 November 2013   22:00 Diperbarui: 24 Juni 2015   05:04 115
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Hakim dan Tazkiya terlihat mengangguk, tangan kanan Hakim kemudian terangkat setinggi bahu, menyapa dua pendatang baru disaung ini, menyilahkan mereka duduk membaur, sambil terus menyimak Samboja yang sedang menyambung cerita di balik lukisannya lagi. Junaidi lantas duduk dan tersenyum pada semua yang hadir, termasuk pada Tazkiya.

“Sudahlah urus saja urusanmu Kang. Orang gelandangan lain saja tidak ada yang mau ambil pusing!, kata pacar gembelku.” Lanjut Samboja meneruskan ceritanya.

“Mereka tidak ambil pusing karena mereka tidak tahu, O.. pacar cantikku!.” jawabku.

“Kata siapa mereka tidak tahu, lebih baik akang ngegelandang lebih giat. Katanya mau membelikan aku kalung.” Nasehat pacar gembelku kemudian!

“Memang susah bicara dengan gelandangan. Mungkin itulah sebab mereka dan aku tentunya, terus menggelandang, karena mereka tak mau repot-repot memikirkan hal lain. Atau bisa juga karena hanya sisa-sisa nasi dan ikan asin yang masuk ke perut mereka, sehingga otak mereka tak cukup bergairah untuk memikirkan hal yang lain.

Setelah merasa tak ada guna meminta nasihat dari pacar gembelku, akupun bertekad akan mengambil keputusan sendiri. Akan aku laporkan semuanya, sejelas-jelasnya. Siapa tahu? mereka percaya dengan mulut bauku ini. Tapi sebelumnya untuk kesekian kalinya, aku ingin memastikan terlebih dahulu, agar dapat menyusun laporan sebaik mungkin.

Aku ingat malam itu malam minggu, tempat itu pasti sepi. Kecuali saat itu ada satu dua pendosa yang berpikiran yang sama denganku, sehingga melakukan kekejiannya juga di saat itu.

Tempat itu sebenarnya hanyalah sebuah sudut pertemuan antara tembok belakang sebuah gedung dengan tembok pembatas taman kota. Dan aku rasa  tempat itu tak  terlalu tersembunyi. Bahkan aku yakin Pak Walikota pun sering lewat kemari jika ingin menyampaikan permohonannya pada Sang Khalik. Cuma ketika malam gelap, tempat yang lebih mirip sudut terkutuk itu terlihat sangat gelap dan menyeramkan. Entah kenapa tidak ada penerangan disana.

Ketika aku sibuk mereka-reka kalimat yang akan kulaporkan, tiba-tiba dari mulut gang muncul sepasang manusia. Ternyata mereka adalah sepasang calon pendosa baru. Berjalan mereka perlahan menuju tempat itu. Ketika sampai di pojok sudut, si lelaki muda mengamati keadaan. Melongok-longok ia. Lalu adegan sok dramatis tiba. Si wanita, yang tampak lebih muda dari lelaki itu, merengek-rengek dan menangis haru. Setelah dengan sedikit rayuan, akhirnya ia mau meletakkan sebungkus keranjang mungil itu di pojok sudut, lantas berlalu gontai.

Seakan mendapat inspirasi aku berusaha merekam semua kejadian itu dengan otakku yang pas-pasan. Berharap mampu untuk melaporkannya besok. Tiba-tiba  lamunanku terhenti ketika pintu gedung belakang itu terbuka. Sesosok wanita keluar dari gedung itu dan memungut bingkisan itu. Mungkin karena kaget, yang di dalam bingkisan pun menangis. Dengan sigap wanita itu membawa bingkisan itu masuk. Entah sampai kapan ini berhenti.

Lalu aku kekantor polisi pagi-pagi sekali.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun