Tak terasa sebulan lebih telah berlalu sementara Ranti masih bekerja di rumah itu. Meski sempat dilanda gundah-gulana, ia masih tetap bertahan. Apa yang sempat dikhawatirkannya dan juga Bagas, tampaknya tidak terjadi lagi.
Kondisi rumah itu kini senormal rumah pada umumnya. Meski begitu, seperti janjinya ke Bagas, ia tidak akan ragu lagi untuk mengundurkan diri jika memang sudah tidak menghendaki pekerjaan itu lagi.
Tidak seperti biasanya, hari itu Ranti datang kerja pada siang hari dikarenakan ada bimbingan skripsi yang ia ikuti paginya. Sebelumnya ia sudah menyampaikan hal itu ke Bu Hilda. Beruntung sang majikan sangat pengertian. Sembari berterima kasih atas hal tersebut, Ranti lalu memperoleh pesan darinya untuk membersihkan kembali lantai atas.
Â
Selepas dari kampus, ia langsung ke tempat kerjanya dengan membawa tas dan seluruh tugas kuliahnya. Itu kali kedua Ranti diberi amanat membereskan lantai atas. Meski pernah dibersihkan sebelumnya, kondisinya kali ini cukup kotor tapi tidak separah kali pertama.
Menyaksikan kembali ruangan itu dengan kondisi fisik yang lelah, terbersit dalam benaknya berbagai pikiran. "Bagaimana jika tugas ini tidak diselesaikan? Atau malah tidak dikerjakan? Apakah Bu Hilda akan tahu? Bukankah Pak Pondi, si tukang kebun, mengaku bekerja tapi kenyataannya tidak demikian? Bahkan hebatnya ia tetap menerima gaji."
Saat pikiran itu terlintas, HP-nya mendadak bergetar tanpa nada dering. Sebuah SMS mengejutkan dari Bu Hilda masuk. "Pekerjaan ini bersifat trust. Jangan pernah dirusak! Sekali saja rusak, sulit untuk diperbaiki."
Terkejut dengan pesan itu, dirinya bertanya-tanya. "Bagaimana mungkin Bu Hilda tahu apa yang sedang ku pikirkan? Tidak, tidak! Ini hanya kebetulan saja. Aku hanya lelah tapi aku sadar sepenuhnya dengan tugasku dan aku akan bertanggung jawab melakukannya."
Dia pun mengerjakan tugasnya. Setelah selesai, ia bersiap hendak pulang. Jam di HP-nya menunjukkan pukul 15:03 saat rintik hujan mulai turun. Berharap segera berhenti, hujan yang turun malah semakin deras. Rasa kantuk yang tak tertahankan akibat begadang mengejar deadline skripsi semalaman ditambah keletihannya setelah sibuk dengan aktivitas seharian, membuatnya mengantuk berat lalu jatuh tertidur.
Terbangun dengan perasaan aneh, ia tak percaya telah terlelap di rumah itu. "Aku benar-benar tertidur pulas," ucapnya setelah melihat jam 17:14 di HP-nya.
Ia terheran-heran saat mendapati semua lampu yang ada di setiap ruangan sudah menyala. Tak cuma itu, seluruh gorden di ruang tamu telah tertutup rapat. Membuatnya bertanya-tanya siapa yang telah melakukan itu semua.
Saat hendak menuju jendela depan, pandangannya tertuju sesaat pada cermin besar yang ia lewati. Cermin itu kembali tertutupi debu. Kejanggalan mulai terasa namun ia tidak acuh akan hal itu. Dengan segera ia mendekat ke arah gorden dan mengintip dari baliknya. Diluar terlihat sudah tidak hujan lagi. Hatinya lega akan hal itu.
Namun saat bersamaan, ia kembali merasakan keanehan seperti waktu itu. Aroma asap dupa kembali menyeruak ke seluruh ruangan. Tak hanya itu, dari kamar atas kembali terdengar sayup-sayup suara tv yang kian lama kian jelas kedengarannya.
Â
"Oh, tidak! Aku pasti berhalusinasi lagi. Bukan, bukan! Aku hanya lelah dan perlu istirahat. Itu saja! Dan aku harus segera keluar dari sini," ujarnya sambil buru-buru naik ke lantai atas untuk mengambil sweater-nya yang ketinggalan.
"Krek, krek ... krek, krek!" Terdengar bunyi dari kamar pojok selain suara tv. Sekali lagi, rasa penasaran kembali mendorongnya untuk mengungkap keanehan itu sekaligus menyingkap misteri di seputar kamar tersebut.
Mendadak ia teringat pesan Bu Hilda beberapa waktu lalu yang melarangnya masuk ke kamar itu. Sempat merasa ragu namun ia tidak ingin belenggu keraguan itu terus mengekang dirinya. Ia harus menguak sendiri berbagai keanehan itu jika memang harus begitu. Lagipula Bu Hilda tidak pernah terbuka padanya selama ini.
Dengan perasan berdebar, ia mendekat ke pintu kamar itu. Sambil mengetuk, ia berkata, "Apa ada orang di dalam?"
Tak kunjung mendapat jawaban, ia meraih gagang pintu kamar itu yang ternyata tidak terkunci. Jantungnya berdebar saat pintu itu terbuka. Perasaan takut seketika meliputinya saat hendak melangkah masuk. Meski begitu, ia bersikukuh tetap masuk demi sesuatu yang ingin ia buktikan.
Kamar itu gelap tanpa ada lampu dan hanya memperoleh cahaya dari layar tv yang menyala. Jantungnya berdegup kencang saat mengetahui di depan tv itu ada sosok yang sedang duduk di kursi goyang. Baru ia ketahui bila bunyi "krek, krek" itu ternyata berasal dari gerakan kursi goyang yang bergesekan dengan lantai parket kayu.
Tatapannya menegang saat mendekati sosok yang mengenakan jubah dengan penutup kepala itu. Dan semakin tegang saat ia mencoba melihat dengan jelas sosok yang duduk membelakanginya itu. Dalam remang-remang kamar, sosok misterius itu tampaknya seperti seorang wanita terlihat dari rambutnya yang tergerai ke depan.
Namun ia bergidik saat hendak memastikan kondisi wanita itu. Ketakutannya kian bertambah karena tak ada cara lain baginya selain melihatnya lebih dekat. Dalam suasana mencekam itu, hal sangat menakutkan terjadi. Ketika sosok wanita itu disentuh pundaknya, seketika tubuhnya miring, terhuyung-huyung lalu ambruk ke depan.
Wanita itu ternyata sudah tidak bernyawa lagi dengan jasad yang sudah kaku. Saat penutup kepalanya tersingkap, tampak matanya terbelalak dan mulutnya menganga.
"Arrrhhh!" jeritnya histeris.
Menyaksikan pemandangan mengerikan tersebut, spontan ia lari tunggang-langgang keluar dari kamar itu. Saat buru-buru menuruni tangga kayu itu, kakinya tergelincir sehingga membuatnya tersungkur dan menghantam pinggir tangga sebelum akhirnya terguling di atas bordes tangga.
Butuh beberapa saat baginya untuk menyadarkan diri setelah kejatuhan naas itu. Sambil meringis menahan sakit karena kakinya terkilir, ia berusaha bangkit dan kembali menuruni tangga dengan berpegangan pada railing tangga. Tak hanya kakinya saja, bahu, lengan, dan kepalanya juga terasa sakit akibat benturan tersebut. Dengan sisa-sisa tenaganya, ia berjuang agar bisa sampai ke bawah.
Saat tiba di bawah, ia merasa begitu lega meskipun rasa sakit terasa di beberapa bagian tubuhnya. Dengan langkah tertatih-tatih, ia segera meraih HP-nya untuk menghubungi Bagas.
"Tuuut!" terdengar bunyi nada panggilan yang panjang dan berulang.
Sesaat kemudian ia tiba-tiba terperanjat oleh bunyi benda yang jatuh. Bak terjadi gempa bumi, satu per satu pajangan dan hiasan yang tergantung di dinding berjatuhan. Begitupun benda-benda yang ditaruh di atas meja dan dalam lemari. Bahkan cermin besar itu pun ikut jatuh sehingga menimbulkan bunyi yang cukup keras. Seketika lantai dipenuhi dengan barang-barang yang hancur, pecah, dan berserakan.
"Cepat-cepat, angkat!" ucapnya saat memperhatikan HP sambil terus berjalan terseok-seok menuju pintu depan.
Dengan sangat hati-hati, ia melangkah di lantai yang penuh dengan pecahan dan serpihan barang yang berhamburan. Hanya tinggal beberapa langkah lagi dari pintu depan, mendadak semua lampu mati.
"Oh, tidak!" ucapnya panik sambil terus melanjutkan langkahnya pelan-pelan dengan memanfaatkan cahaya temaram dari layar HP mungilnya.
Saat lampu menyala kembali, ia merasa seperti ada sebuah kekuatan tak kasatmata yang kemudian mendorong hingga membuatnya terjerembab. Akibatnya, HP yang digenggamnya terlepas dan terhempas namun masih tetap menyala. Saat tergeletak menahan sakit yang seakan datang tiada henti, tiba-tiba saja rambutnya dijambak lalu ditarik oleh kekuatan tersebut.
Tidak sampai disitu saja, kekuatan itu kembali menyeretnya di sepanjang lantai yang berantakan dengan berbagai benda dalam posisi yang menengadah ke atas.
"Lepaskan! Arrrhhh!" pekiknya meronta-ronta.
"Tolong!" teriaknya semakin keras saat serpihan benda tajam mengenai tubuhnya.
Siksaan itu terus berlanjut saat ia hendak diseret naik ke atas tangga. Badannya seakan remuk saat bertumbukan dengan setiap anak tangga yang berundak-undak. Hampir-hampir ia tidak sadarkan diri karena begitu hebat sakit yang dialaminya. Dan ia merasa itu adalah akhir dari hidupnya.
Saat sedikit lagi mencapai bibir lantai atas, ia kembali merasakan seperti ada kekuatan lain yang menahan laju dirinya ke atas. Namun kekuatan itu justru menariknya ke arah yang berlawanan. Dalam kelemahannya, ia berharap agar hidupnya belum akan berakhir.
"Mungkinkah itu adalah malaikat penyelamat yang akan membebaskanku dari penderitaan dan kekuatan jahat yang saat ini sedang menindasku dengan sangat kejam?" kata hatinya.
Harapan itu tampaknya terwujud saat sang penyelamat muncul di hadapannya. Lalu terdengar suara memanggilnya. "Ranti! Ranti! Kau bisa dengar aku?"
"Mas, apakah itu engkau?" jawabnya setengah sadar.
"Ya, ini aku Bagas. Aku datang untukmu, Ran. Bertahanlah! Aku akan membawamu keluar dari sini," ujarnya sambil mendekap dan membopongnya.
.......
Tidak ingin berisiko, malam itu juga Ranti langsung dilarikan ke klinik terdekat. Dengan kaki kiri yang terkilir ditambah luka lecet, sobek, dan memar di beberapa bagian tubuhnya, kondisi Ranti terlihat sangat mengkhawatirkan bagi Bagas. Meski begitu, dokter yang menanganinya cukup yakin ia bisa pulih kurang dari seminggu.
Bagas tertegun saat menatap Ranti yang terbaring lemah dan masih belum sadarkan diri. Ia benar-benar tak menyangka Ranti bisa sekolaps itu. Sebuah pertanyaan besar meliputi Bagas tentang apa yang sesungguhnya terjadi di rumah itu. Terlepas dari itu, ia beruntung mendapati Ranti masih bernyawa dan menyelamatkannya. Ia tak tahu apa jadinya kalau saja ia terlambat datang atau tidak menemukan keberadaan Ranti.
Saat panggilan telepon itu masuk, ia sedang berkendaraan pulang dari kerja. Saat diangkat, betapa terkejut dirinya ketika mendengar teriakan dan jeritan Ranti. Dengan spontan ia langsung memacu motornya ke kosan Ranti namun ternyata ia tidak berada disana. Instingnya mengatakan ia ada di rumah itu dan ternyata memang tepat setelah disatroni.
Masih segar dalam ingatannya saat Ranti bicara mengenai pekerjaan part time-nya itu. Ada firasat kurang baik saat pertama kali mendengarnya. Ia lalu mewanti-wanti Ranti akan hal itu. Akan tetapi rasa penasaran telah membutakannya. Sekarang apa yang dikhawatirkannya justru malah terjadi.
"Huaaahhh!" pekik Ranti tiba-tiba terbangun membuyarkan angan Bagas seketika.
"Ran! Sadar, Ran! Aku ada disini bersamamu," ujarnya sambil menahan tubuh Ranti yang meronta seperti orang kerasukan.
"Mayat! Aku melihat mayat di kamar itu," serunya dengan nafas terengah-engah dan mata terbelalak.
"Tenanglah, Ran! Kau sudah aman sekarang," ucapnya terperangah mendengar ocehan Ranti.
"Aku melihat banyak hal mengerikan di rumah itu. Dan itu sungguh menakutkan. Ku pikir aku tidak akan bisa keluar dari sana dan meninggal disana," ratapnya.
"Aku sungguh menyesal mendengarnya. Namun aku sangat bersyukur bisa menemukanmu," timpalnya.
"Kau benar, Mas. Semestinya aku tidak menerima pekerjaan itu sejak awal. Maafkan aku karena sudah tidak mendengarkanmu," ungkapnya tersedu-sedu.
"Sudahlah, Ran. Itu bukan salahmu. Lihatlah dirimu! Kau selamat meskipun cedera. Dan itu nikmat yang patut disyukuri. Sekarang yang kau perlukan hanyalah istirahat total dan fokus saja pada pemulihan kesehatanmu. Dan yang tak kalah penting, jangan banyak pikiran. Oke?" tuturnya.
"Iya, Mas. Entah apa jadinya aku tanpamu. Terima kasih sudah menyelamatkanku. Aku berutang budi begitu banyak padamu," ucapnya.
Bagas hanya mengangguk sambil tersenyum menanggapi ucapan itu. Ia hanya berharap Ranti bisa segera pulih seperti kata dokter. Meskipun tragedi yang menimpa Ranti masih jadi tanda tanya besar, ia berharap suatu hari nanti tabir misteri di rumah itu bisa terkuak. Demi kesembuhan Ranti, ia akan mengesampingkan seluruh kerisauan di seputar misteri yang memenuhi benaknya.
.......
Menjelang siang itu, sebuah mobil jeep hitam berhenti dan parkir di depan sebuah rumah tua mewah. Terdengar suara mesin mobil itu dimatikan lalu seseorang turun diikuti suara pintu mobil dibanting. Sambil memperhatikan rumah itu dari luar, pria itu menginjak sisa puntung rokoknya yang masih menyala di tanah.
Ia merunduk saat melintasi police line yang terpasang di depan rumah itu. Di dalam rumah, tampak beberapa orang petugas sedang sibuk melakukan pekerjaannya. Salah seorang dari mereka menyapanya, "Siang, Dan!"
Komandan, panggilan akrab anak buah padanya, hanya membalasnya dengan anggukan sambil terus melaju menuju lantai atas. Para bawahan yang sudah mengenalnya tidak begitu heran dengan sikap dingin sang atasan. Selain perfeksionis, ia juga dikenal sebagai pribadi yang sedikit bicara banyak kerja. Beberapa ciri menonjol itu seperti sudah menjadi trade mark yang melekat pada dirinya.
Sebagai seorang perwira polisi, Komandan Vito telah malang-melintang dan banyak makan asam garam. Dalam 20-an tahun karirnya, berbagai pos pernah ia singgahi sebelum mengisi posisinya saat ini. Selama karirnya, banyak kasus besar pernah ia tangani. Beberapa diantaranya mendulang keberhasilan. Tak heran dengan track record tersebut, kiprah dan reputasinya sebagai seorang perwira dengan segudang portofolio, jadi dikenal luas.
Di kamar yang sedang ia tuju itu, terlihat tiga orang petugas sedang melakukan olah TKP. Ia  masuk lalu menatap ruangan itu seakan coba menerawang dan meraba bekas kejahatan yang tersisa di setiap jengkal sudut kamar itu. Pandangannya kemudian tertuju pada sosok jasad yang terbujur kaku di atas tempat tidur.
"Gimana sejauh ini?" tanyanya to the point.
"Korban seorang wanita. Bernama Hilda van Heusen. Keturunan Belanda dari ibunya. Selama ini ia tinggal disini bersama sang ibu yang sudah meninggal tiga tahun lalu. Statusnya di KTP single. Berusia 55 tahun. Penyebab kematian belum bisa dipastikan. Namun ada bekas lilitan di leher yang mengarah pada cekikan atau jeratan sesuatu. Waktu kematian sekitar satu atau dua bulan yang lalu."
"Dan yang menarik, tubuh si korban ternyata telah diawetkan alias dijadikan mumi. Itu sebabnya mayatnya masih awet dan tidak bau meski sudah agak lama. Benar-benar tidak bisa dipercaya," sambungnya.
"Bagaimana bisa si pelaku melakukan hal gila semacam ini? Tampaknya ia benar-benar ahli dalam hal ini," ujar komandan sambil mengamati tubuh si mayat dari jarak dekat.
"Sambil menunggu hasil lab, coba periksa apapun yang terkait dengan korban. Tagihan telepon, kartu kredit, rekening bank atau koran, HP, teman, kerabat, tetangga, atau siapapun. Cepat atau lambat kita akan segera membekuk pelakunya," arahnya.
"Siap, Komandan!" sahutnya.
.......
Minggu pagi itu di sebuah pemukiman padat penduduk, terjadi hal yang langka dan menghebohkan. Beberapa orang pria berseragam polisi menyatroni deretan kosan yang memanjang dan bertingkat. Dari sana mereka mengamankan seorang perempuan sekaligus membawa sejumlah barang bukti hasil dari penggeledahan di kamarnya. Keberadaannya memang sudah diincar petugas satu dua hari sebelumnya.
Si perempuan tampak tenang dan tidak melakukan perlawanan saat didatangi dan dijemput oleh petugas. Ia hanya diam menyaksikan para petugas memenuhi kamar sempitnya yang berukuran 3 x 2,5 meter persegi itu. Ia pun menurut saja saat hendak digelandang ke kantor polisi guna dimintai keterangan.
Belum seminggu berlalu sejak kasus mumi itu terkuak, Komandan sudah mengantongi nama-nama calon tersangka dari kasus yang sedang ia tangani. Dari beberapa nama tersebut, akhirnya mengerucut pada sebuah nama. Dari pengalamannya, Komandan telah membuktikan jika instingnya selama ini jarang sekali meleset dari kenyataan sesungguhnya.
Di ruang interogasi itu, Komandan berhadap-hadapan dengan perempuan urutan teratas yang paling dicurigai dalam daftarnya. Bak petinju yang akan bertarung di atas ring, kesempatan itu seperti ajang pembuktian dan pertaruhan bagi dirinya. Semua daya dan upaya akan ia kerahkan demi mengungkap pelaku sekaligus menuntaskan kasus yang mulai menyita perhatian publik itu.
"Selamat siang! Perkenalkan saya Inspektur Vito. Izinkan saya untuk bertanya pada anda. Untuk itu, mohon bantuan dan kerja samanya. Nama anda?" sapanya.
"Ranti," jawabnya.
"Anda tahu kenapa ada disini," tanyanya.
"Tidak, Pak," katanya.
"Apakah anda kenal seorang wanita bernama Hilda?" ucapnya sambil menunjukkan sebuah foto.
Mendadak raut wajahnya berubah seraya bicara dengan mengiba-iba, "Saya benar-benar tidak tahu-menahu tentang jasad di kamar itu. Kondisinya sudah tak bernyawa saat ditemukan. Sungguh saya tidak melakukan apapun padanya. Saya hanya bekerja sementara saja di rumah itu."
"Sebentar, sebentar! Coba anda tenang dulu. Sekarang ceritakan pelan-pelan pada saya agar jelas duduk perkaranya. Kita mulai dari Hilda. Anda mengenalnya?" ungkapnya.
"Ya," jawabnya.
"Kapan?" tanyanya.
"Sekitar satu bulan yang lalu," ucapnya.
"Dimana anda mengenalnya?" tanyanya.
"Saya mengenalnya pertama kali lewat SMS yang ia kirim ke saya. Dia menawari saya kerja part time. Setelah dijajaki, pekerjaan itu akhirnya saya terima. Selama itu kami hanya berkomunikasi lewat SMS saja tanpa pernah bertemu langsung meskipun pada awalnya saya berharap dapat bertatap muka langsung dengannya. Namun sebulan lebih saya bekerja, tak sekalipun tampak batang hidungnya," paparnya.
"Jadi, anda kenal Hilda tapi selama bekerja padanya tidak pernah bertemu sama sekali dengannya. Begitu?" ungkapnya.
"Betul," tukasnya.
"Terkait pekerjaan. Kenapa anda memutuskan menerima pekerjaan itu? Apa alasannya?" tanyanya.
"Pertimbangan mendasar saya saat itu adalah untuk mengisi waktu luang disamping memperoleh uang saku. Saat bersamaan saya sedang mengerjakan skripsi di akhir perkuliahan saya," jelasnya.
"Jadi, anda seorang mahasiswa. ..... Baiklah. Adakah pekerjaan lain yang anda lakukan sebelumnya?" tanyanya.
"Tadinya saya mengajar freelance di sebuah lembaga pendidikan. Karena sedang masa libur sekolah, saya coba cari kerja part time lain. Untuk sementera waktu saja, sambil menunggu sekolah masuk lagi," ungkapnya.
"Kembali ke Hilda. Berapa lama anda kerja padanya?" tanyanya.
"Sebulan. Tak lama setelah saya gajian bulan pertama, sebuah peristiwa tragis menimpa saya," katanya.
"Selama anda bekerja disana, adakah hal-hal yang mencurigakan?" tanyanya.
"Rumah itu tidak berpenghuni sejak pertama saya bekerja. Namun hal itu ditutupi oleh Bu Hilda. Hanya seorang tukang kebun yang saya temui. Itupun hanya dua kali. Tentang keanehan yang berbau mistik atau supranatural yang saya alami di rumah itu, Bapak pasti tidak akan percaya dengan saya," ungkapnya.
"Lantas apa yang membuat anda memutuskan berhenti bekerja?" tanyanya.
"Tidak ada niat saya berhenti bekerja. Namun seperti yang tadi saya bilang, kekuatan jahat tak kasatmata di rumah itu meneror saya habis-habisan di hari naas itu. Beruntung Bagas datang menyelamatkan saya," ujarnya.
"Bagas? Siapa dia?" tanyanya.
"Dia teman saya. Tapi sudah seperti kakak sendiri bagi saya," tukasnya.
"Oh, begitu. Setelah penemuan jasad itu, kenapa anda tidak melapor ke pihak berwajib seperti yang semestinya dilakukan oleh warga negara yang baik," tanyanya.
"Sebenarnya bukan tidak ada niat. Perlu Bapak ketahui, setelah berhasil diselamatkan keluar dari rumah itu, saya sempat dirawat di sebuah klinik selama lima hari. Setelah pulang, saya baru cerita ke Bagas tentang tragedi di rumah itu. Bagas mengajak saya untuk melapor tapi saya minta waktu. Belum sempat saya melakukan hal itu, saya sudah dibekuk lebih dulu," ungkapnya.
Inspektur Vito tampak mengenyeritkan dahinya lalu berkata, "Baik, cukup dulu untuk hari ini. Sementara waktu anda disini dulu. Keterangan anda masih diperlukan."
Saat bangkit hendak pergi, Komandan mendadak diseru. "Pak inspektur!" Ia langsung berhenti seraya menyimak apa yang akan ia dengar tanpa berbalik badan.
"Saya tidak bersalah. Cepat atau lambat, anda akan segera mengetahuinya," ucapnya terkesan mengancam.
......
Dari balik kaca transparan besar itu, tampak sepasang mata sedang menatap dengan penuh awas dan melekat. Di ruangan lain yang tersambung dengan kaca besar itu, tampak sebuah pemeriksaan tengah dilangsungkan terhadap seorang perempuan.
Meski sudah lebih dari satu jam diperiksa, perempuan yang tak lain adalah Ranti, tampak tenang dan terkesan tanpa beban. Di tubuhnya menempel beberapa kabel sebagai sensor penghantar sinyal yang terhubung dengan alat poligraf. Setiap kali pertanyaan diajukan penguji padanya, alat itu akan merekam dan memberikan gambaran grafis tentang respon atau reaksi yang terjadi dalam dirinya terkait perubahan fisik dan psikologis.
Masih menatap tajam lewat kaca itu, sang komandan teringat kembali interogasi sebelumnya. Ia terperangah dengan keterangan yang diberikan Ranti. Setelah dikaji ulang, banyak hal dari keterangannya itu berbeda bahkan bertolak belakang dengan data dan temuan tim di lapangan. Oleh karena itu, dilakukanlah pengujian lebih lanjut dengan menggunakan alat pendeteksi kebohongan.
Pemeriksaan hampir dua jam yang mendebarkan itu membawa hasil yang mencengangkan. Komandan terheran-heran dan dibuat tak percaya. Pemeriksaan yang diharapkan menghasilkan titik terang itu ternyata berjalan tidak sesuai dengan harapan.
Alat itu seakan tidak berdaya mengungkap apa yang semestinya diungkap. Tanda-tanda kebohongan dari sejumlah info fiktif dan manipulatif bersumber dari Ranti yang kemudian dikonfrontir, nyatanya tidak terdeteksi oleh alat tersebut. Hampir tidak ada fluktuasi yang berarti jika dilihat dari hasil grafik yang diperoleh. Semuanya tampak seperti normal saja.
Padahal alat itu sangat sensitif dengan tingkat akurasi mencapai 90%. Jika ada perubahan sedikit saja pada organ tubuh seperti detak jantung, pernapasan, tekanan darah, denyut nadi, dan keringat, alat itu pasti akan merespon dan bereaksi seketika. Alat itu juga sangat reaktif terhadap gejolak emosi yang dirasakan orang yang diperiksa seperti cemas, gugup, takut, resah, dan gelisah.
Dari hasil pengujian, secara keseluruhan disimpulkan Ranti tidak berbohong. Bagi Komandan, hal itu sungguh aneh dan tidak bisa dipercaya. Kecewa dan kesal terlihat jelas dari raut wajahnya dan tak mampu ia sembunyikan.
Dengan konstruksi berpikir yang telah susah payah dibangunnya, ia mendebat, "Bagaimana mungkin semua kebohongan itu bisa tidak terekspos? Padahal faktanya benar-benar berlawanan dengan pengakuannya. Ranti bukanlah seorang mahasiswi tingkat akhir di sebuah universitas yang sedang mengerjakan skripsi. Tidak ada satupun perguruan tinggi di Jakarta yang pernah ia enyam pendidikannya. Selepas SMA ia merantau ke Jakarta kemudian tinggal di daerah kumuh di satu sudut ibu kota. Ia hanya seorang pekerja serabutan yang mengadu nasib dengan bergonta-ganti dari satu pekerjaan ke pekerjaan yang lain demi bertahan hidup."
"Ranti tidak hanya kenal dengan Hilda majikannya tapi juga dekat dan intens berinteraksi dengannya. Hal itu dikarenakan Ia adalah asisten rumah tangga di rumah itu. Ia telah bekerja disana selama hampir setahun. Itu bisa dilihat dari transaksi rekening bank milik Hilda. Ada 11 kali transfer rutin tiap awal bulan masuk ke rekening Ranti dari Hilda. Belum termasuk beberapa transfer lainnya."
"Tidak ada HP yang berisi percakapan dengan Hilda. Tidak secarik pun kertas bahan skripsi ataupun kuliah miliknya yang ditemukan. Tidak ada lembaga pendidikan tempat ia mengajar freelance. Tidak satu pun barang dan bagian dari rumah itu yang rusak atau hancur. Tidak ada klinik yang menjadi tempat ia dirawat selama lima hari. Bahkan tidak ada sedikitpun cedera ia alami. Tidak ada seorangpun bernama Bagas yang disebut-sebut sebagai sosok penting baginya."
"Semua begitu nyata dan jelas. Semua itu bohong dan dusta yang diada-adakannya. Semua itu hanya khayalan dan karangannya belaka. Alangkah hebat narasi yang ia buat! Betapa sempurna acting yang ia mainkan! Tak seorangpun mampu melakukan kegilaan semacam itu kecuali ia memang gila."
Saat kekalutan itu membuncah, secara spontan seluruh gulungan kertas print out hasil uji kebohongan itu dilemparnya sehingga berserakan di lantai ruang kerjanya. Beberapa saat setelah amarahnya reda, ia berkata sambil menghela nafas dalam-dalam, "Tinggal satu langkah lagi yang harus ku lakukan untuk menyelesaikan kasus ini."
(BERSAMBUNG)
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H