Mohon tunggu...
ahmad hassan
ahmad hassan Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Berkecimpungan dalam dunia pendidikan. Suka musik klasik & nonton film. Moto "semua sudah diatur".

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Si Penghubung 2 (selesai)

30 Oktober 2021   10:41 Diperbarui: 30 Oktober 2021   10:43 255
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Tampak tiga orang bermasker sedang asyik ngobrol di lounge sebuah hotel di Jum'at sore itu ketika didatangi oleh beberapa orang pria. Suasana tenang di ruang itu mendadak berubah menjadi tegang. Beberapa tamu hotel lain terlihat mulai memperhatikan kejadian tak lazim tersebut dan ada yang spontan mendokumentasikannya.

Salah satu dari tiga orang itu beradu mulut dengan para pria yang mendatanginya. Dari rekaman video amatir yang beredar, si pria yang didatangi berkata dengan suara lantang, "Mana surat penangkapannya? Anda tidak bisa melakukan penggeledahan pada kami tanpa surat. Saya tidak bisa terima jika kami diperlakukan layaknya teroris seperti ini."

Beberapa saat kemudian, ia lalu menelepon dari hp-nya. Setelah mendengarkan arahan dari orang yang diteleponnya, sikapnya tampak berubah. Ia lalu bicara kepada dua rekannya yang lain. Keduanya kemudian mengikuti apa yang disampaikan koleganya. Ketiganya lalu mengikuti para pria yang mendatangi mereka. Mereka berjalan keluar hotel menuju mobil yang sudah disiapkan.

Terlihat awak media sudah menunggu diluar hotel saat para "selebritas dadakan" itu digiring pihak berwenang. Ketiga orang yang diamankan itu bergeming saat pemburu berita melontarkan berbagai pertanyaan. Hampir seluruh stasiun tv beramai-ramai memberitakan penangkapan tersebut. Beberapa dari mereka menjadikannya sebagai breaking news. Segera berita itu menjadi trending topic baik di media elektronik maupun online.

Diambil dari CCTV hotel tempat aksi peringkusan terjadi, rekaman video berdurasi hampir dua menit itu segera berseliweran menghiasi layar tv malam itu. Ketiga orang dalam rekaman itu ditengarai sebagai seorang anggota parlemen pusat (DE), seorang aparatur sipil negara (WPI), dan seorang pengusaha (AM). Mereka diduga terlibat skandal suap untuk memuluskan jalannya tender proyek di sebuah kementerian negara.

Bak ilalang kering yang dilalap api, berita itu menyebar begitu cepat. Jam dinding di ruangan itu menunjukkan 18:40 saat Roy hendak makan malam yang sudah disiapkan sang istri sebelum ia pulang ke rumah sore itu. Saat itu Roy masih berada di rumah sakit menjalani proses recovery. Sambil menyalakan tv, ia mendadak kaget bukan kepalang saat menyaksikan berita penangkapan itu. Beberapa stasiun tv menyiarkan berita itu hampir secara bersamaan.

Seketika ia menghentikan makannya. Coba mengamati rekaman video yang ditayangkan berulang-ulang itu, ia berusaha menyangkal dugaannya. Ketiga pria yang ada di dalam rekaman itu posisinya berada agak jauh dari kamera CCTV dan memakai masker sehingga agak sulit memastikan jika salah satunya Danu. Namun di berita-berita itu jelas disebutkan inisial DE.

Merasa kurang yakin, ia langsung mengecek berita online dari hp-nya. Hasilnya tak jauh beda. Apa yang didapatnya malah semakin memperkuat dugaannya. Tak salah lagi, anggota dewan berinisial DE itu adalah Danu Erlino. Namun pengusaha yang bersamanya di hotel bukanlah pengusaha yang ditemui dan diajaknya bermain golf beberapa waktu lalu. Sementara, abdi negara yang terlibat belum diketahui di instansi mana ia bekerja.

"Oh tidak! Itu memang Danu!" serunya kepada diri sendiri.

"Bagaimana bisa?" ujarnya masih tak percaya. Lalu buru-buru ia membantah hal itu. "Kenapa tidak bisa? Apa yang Danu lakukan sangat besar risikonya dan tak ada jaminan akan selalu berjalan baik."

Ia mulai tidak tenang dan khawatir akan dirinya. Perasaan resah dan gelisah mulai melandanya. Ketakutan terbesarnya bagaimana jika kongkalikong Danu dan dirinya terbongkar. Seribu tanya muncul dalam dirinya. "Bagaimana ini? Bagaimana nasibku? Aku begitu khawatir. Apakah aku akan mengikuti jejak Danu?"

Masih terkaget-kaget karena berita itu dan beragam gambaran buruk yang terlintas dalam benak pikirannya, Roy dikejutkan oleh suara dering hp-nya. Dari ujung telepon, terdengar suara sang istri. Roy menduga Evi juga mengetahui berita itu sehingga menghubunginya. Coba kendalikan diri, ia menerima telepon itu.

"Pa, si Danu!" katanya.

"Ya, Ma. Papa udah tahu. Semua tv lagi ngebahas itu," jawabnya.

"Aduh, Pa! Benar-benar gak nyangka si Danu teh. Kayaknya orangnya baik. Kunaon nyak?" ungkapnya.

"Mama sudah nelepon istrinya?" tanyanya.

"Pengin nelepon tapi Mama ragu. Ari menurut Papa teh kumaha?" tanyanya balik.

"Papa teh kasihan sama istrinya. Coba aja kalau Mama mau nelepon. Gak usah ragu. Tanyakan kabarnya.  Tawarkan apa yang bisa kita bantu. Itu sangat berarti bagi mereka. Saat-saat seperti inilah kehadiran kita diperlukan," terangnya.

"Iya, Pa. Mama teringat anaknya yang satu sekolah dengan Ricko. Kasihan pisan nasib anaknya kalau melihat ayahnya begitu," katanya.

"Oya, Papa udah makan belum?" tanyanya.

"Belum selesai tadi keburu lihat berita," tukasnya. 

"Sok atuh, Pa. Lanjutin makannya," imbuhnya.

"Iya, udah dulu ya, Ma," pungkasnya.

Roy merasa bersalah atas apa yang ia pendam namun ia tidak ingin pula Evi tahu tentang ihwal itu. Ia begitu takut jika Evi bernasib sama seperti istri Danu. Sementara waktu, akan ia jalani dulu semua sewajar mungkin sebagaimana ritme hidupnya yang tenang dan damai selama ini. Dengan harapan, semoga tidak terjadi hal-hal buruk yang tidak diinginkan ke depan.

Menimbang kemungkinan dirinya ikut terseret setelah penangkapan itu, Roy harap-harap cemas. Satu yang pasti, kuncinya ada di Danu. Ia aktor utamanya. Semua rahasia ada padanya. Kalau ia beberkan semua, entah berapa banyak orang yang akan terjerat. Jika ia diam, akan berapa banyak orang yang selamat. Hidup mati Roy kini seakan ada di tangan Danu.

Teringat map yang diberikan Danu saat keduanya bertemu di sekolah, Roy menyimpannya di gudang karena dianggapnya tersembunyi. Ia berniat jika nanti sudah diperbolehkan pulang dari rumah sakit, map itu akan segera ia musnahkan untuk menghilangkan barang bukti.

Sementara untuk apel Washington 20 kilo alias uang 20 ribu dolar AS yang ditaruh dalam kaleng kue itu, akhirnya ia sembunyikan di bawah tempat tidurnya. Sedari awal, dana itu sengaja tidak ia setorkan ke bank. Kini setelah peringkusan itu, uang itu tidak akan ia sentuh sama sekali. 

Penangkapan itu baru dilakukan beberapa jam lalu tapi pengaruhnya sudah begitu ia rasakan. Makan tak enak, tidur tak nyenyak. Paranoid dengan setiap berita suap atau korupsi. Cemas jika sewaktu-waktu pihak berwenang mendatanginya. Mendadak ketenangan hidupnya jadi terusik dan terganggu.

Ia menyesal telah mengambil langkah yang salah dan hanya membuatnya terjerumus ke pusaran masalah seperti saat ini. "Apa yang telah ku lakukan? Mengapa aku begitu bodoh? Mengapa baru sekarang ku sadari? Mengapa aku tidak menolak dari waktu itu?" sesalnya berkali-kali.

Ia merasa seperti terhipnotis di setiap gerak-gerik yang dilancarkan Danu. Ia seperti tak berdaya dan nurut begitu saja bagai di bawah pengaruh guna-guna seorang tukang sihir. Danu begitu mahir menjalankan perannya.

Siapapun yang dibidiknya, pasti akan tunduk padanya. Si korban sendiri tidak merasa dirinya telah dimanfaatkan malah dengan senang hati melakukan tugasnya seperti yang diminta. Bak silent killer, begitu tenang dan halus cara yang dipakai Danu ke para korbannya termasuk Roy.

Di beberapa kesempatan, Roy teringat Danu yang sering menyinggung sang ayah dalam obrolannya. Dalam pandangan Roy, Danu tampaknya begitu terobsesi dengan ayahnya. Inilah mungkin alasan yang melatarbelakangi Danu sehingga berani melakukan pekerjaan berisiko itu. Kesimpulan itu diperoleh Roy dari pernyataan dan pengakuan Danu kepadanya baik tersirat atau tersurat.

Menurut Roy, Danu sulit untuk bisa keluar dari bayang-bayang sang ayah. Ia seperti tidak punya pilihan lain selain mengikuti jejak sang ayah. Dari sini lahirlah apa yang dinamakan dengan politik dinasti. Politik dianggap seperti warisan turun-temurun dari generasi ke generasi. Fenomena ini jelas bukan hisapan jempol belaka karena begitu nyata dan marak terjadi. Banyak contoh yang bisa kita temukan dalam  kehidupan sehari-hari perihal dinasti politik yang pernah dan sedang berkuasa.

Praktik politik dinasti pada gilirannya sulit terhindar dari perilaku menghalalkan segala cara agar tetap bisa berkuasa dan melanggengkan kekuasaan. Sebagai seorang anggota parlemen di masa jabatan yang kedua, Danu sudah paham betul dengan seluk-beluk dunia perpolitikan. Baginya, celah kecil sekalipun dapat dimanfaatkan sebagai jalan masuk guna meraup keuntungan sebanyak mungkin.

Prinsip aji mumpung jelas terlihat pada diri Danu. Misalnya, di awal jabatan, ia berpikir bagaimana cara mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan di masa kampanya. Ketika sedang menjabat, ia berpikir lagi bagaimana mengumpulkan modal untuk pencalonan kembali pada periode berikutnya. Atau mulai ancang-ancang ikut kontestasi pilkada seperti yang mulai ia jajaki mengikuti jejak sang ayah. 

Berbagai praktik yang bersifat rahasia, terselubung, dan tabu, biasa diperagakan oknum wakil rakyat pernah dituturkan Danu ke Roy. Contohnya, dalam berbagai proyek daerah dan nasional yang identik dengan unsur KKN. Praktik otak-atik anggaran belanja yang syarat dengan kongkalikong dan "tahu sama tahu". Proses penyusunan dan legislasi suatu draf perundangan yang ditengarai ada unsur permainan dan intrik dengan kelompok kepentingan atau pihak tertentu.

Pada kasus Danu, tindak korupsi dan abuse of power yang terjadi bukan karena gaji, tunjungan, dan fasilitas yang minim tetapi lebih karena faktor individu yang cacat moral. Jauh dari karakter pribadi yang amanah, jujur, berintegritas, bertanggung jawab, sederhana, dan loyal pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Selain itu, adanya peluang dan kesempatan juga menjadi faktor penyebab Danu melakukan aksinya.

Kini Danu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sebuah harga mahal yang harus ia bayar akibat dari praktik politik Machiavellian yang hina dan tercela. Sanksi hukum siap menjeratnya. Penjara sempit, pengap, dan lembab telah menantinya. Nama baiknya tercemar. Status istimewa legislatornya terancam dicabut. Semua teman dan kolega lari darinya. Keluarganya malu dan tercerai-berai. Tinggallah penyesalan yang tiada artinya.

Saat bersamaan, Roy menanti dengan resah gelisah dalam ketidakpastian akan nasibnya. Ia sangat menyesal dan menyadari bahwa ia telah silau dengan kemilau yang Danu pancarkan. Ia telah melakukan kesalahan besar dalam hidupnya dan sangat terpukul akan hal itu. Gegara satu orang saja, hidupnya kini kacau-balau. Tak ada yang dapat ia perbuat. Ia hanya bisa pasrah seakan membiarkan waktu yang bicara.

.......

Roy tampak tegang di depan laptopnya Senin pagi itu. Setelah beberapa hari dilanda kegalauan, ia memutuskan untuk melakukan kunjungan secara virtual ke Danu. Selama masa pandemi, otoritas rutan mengeluarkan aturan dimana kunjungan di tempat untuk sementara waktu ditiadakan dan diganti dengan kunjungan secara online. Ini dimaksudkan tidak lain untuk mencegah penularan dan penyebarluasan virus yang kian mengganas.

Selesai mendaftar dan mengikuti prosedur yang telah ditentukan, Roy tinggal menunggu giliran. Kebetulan hari itu pengunjungnya cukup banyak sementara alat dan fasilitas yang disediakan pihak rutan terbatas. Jadi harus digilir dan dibatasi maksimal 15 menit per orang. Beberapa saat kemudian, tibalah giliran Roy. Dari layar laptopnya, terlihat Danu dengan waja lesu dan kusut. Begitu melihatnya, Roy langsung menyapanya, "Gimana kabarnya, Mas Danu?"

"Baik-baik saja. Makasih sudah menghubungi. Ini sangat berarti bagi saya," jawabnya dengan wajah yang berubah sedikit lebih berseri.

Danu lalu balik bertanya. "Oya, btw, ini Pak Roy masih di rumah sakit atau sudah pulang?"

"Masih di rumah sakit. Besok lusa saya baru pulang," tukasnya.

"Enak ya Pak, bisa pulang dan kumpul lagi dengan keluarga," ujarnya.

Mengerti maksud ucapan Danu itu, Roy menjawab, "Semoga Mas Danu juga bisa menyusul segera."

Ia melanjutkan, "Saya ikut bersimpati dengan yang terjadi. Mudah-mudahan Mas Danu tetap kuat dan sabar menjalani ini semua. Jika ada yang bisa saya perbuat, tolong katakan saja. Jangan sungkan!"

"Makasih atas perhatiannya. Pak Roy jangan khawatir. Semuanya saya simpan disini," ujarnya sambil menepuk-nepuk dadanya. Seakan bermaksud mengisyaratkan bahwa ia akan menyimpan erat seluruh rahasia yang ada padanya.

Seperti bisa membaca pikirannya, Roy yang ingin menyampaikan perihal apel 20 kilo itu lalu mengurungkannya. Lagipula, uang itu tidak akan ia gunakan sama sekali dan merasa bukan haknya. Suatu saat nanti akan ia kembalikan ke Danu.

Dengan perasaan haru, Danu lalu berkata, "Tolong jaga Sahira, Pak. Saya tahu Pak Roy seorang family man sejati. Saya titip anak saya."

"Tentu, Mas. Ira sudah seperti anak saya sendiri," jawabnya dengan sungguh-sungguh sebelum mengakhiri obrolan 15 menit itu.

Roy cukup tenang setelah pembicaraan itu.  Dengan alasan kehati-hatian, tidak semua sempat ia sampaikan dan tanyakan. Namun yang terpenting ia merasa rahasianya akan dijaga meski hanya dinyatakan tersirat oleh Danu. Itu hal yang melegakan dan patut ia syukuri.

......

Senin itu hari yang tak terlupakan bagi Roy. Setelah pagi ia video call dengan Danu, siangnya berita-berita tv secara serentak ramai-ramai menyiarkan konferensi pers kelanjutan dari kasus penangkapan Danu dan dua orang lainnya. Meski baru saja berbincang dengan Danu, Roy tetap saja cemas saat menyimak berita itu. Namun ia yakin jika dirinya tidak akan terlibat dengan apa yang pernah direncanakan Danu.

Berdasarkan hasil pemeriksaan, Danu dinyatakan bersalah karena telah melakukan suap ke seorang aparatur sipil negara (WPI) dengan barang bukti berupa uang 20 ribu dolar AS dan berkas yang disita dari rumah si ASN. Sementara si  pengusaha (AM), statusnya masih diduga terlibat dimana sejauh ini belum ada barang bukti yang menguatkannya. Meski begitu, ia masih diminta wajib lapor.

Dari berita itu, Roy dapat sedikit bernapas lega sebab dirinya tidak disebut-sebut dalam kasus yang melibatkan Danu tersebut. Namun demikian, kekhawatiran tetap ada mengingat pihak berwenang masih terus melakukan penyelidikan dan pengembangan pada kasus tersebut. Tampaknya ia harus sabar menunggu sampai kasus itu benar-benar selesai di meja hijau.

Mengenali cara kerja Danu, Roy tidak merasa heran dengan fakta yang diungkap ke publik. Jumlah uang yang disebut sama persis dengan yang ia terima. Sementara si pengusaha yang diduga terlibat, belum menyerahkan apapun ke Danu juga sama persis dengan tindak-tanduk pengusaha yang diajak bermain golf waktu itu. Meski Danu yakin dengan modusnya seperti yang dulu pernah ia katakan ke Roy, toh nyatanya terbongkar juga.

Bak kata pepatah sepandai-pandai tupai melompat, akhirnya jatuh juga. Serapat dan sekuat apapun kebusukan itu disembunyikan, suatu saat akan ketahuan juga. Entah sudah berapa kali aksi korup yang pernah diperbuat Danu lolos dari jerat hukum. Bak lingkaran setan, praktik korupsi sulit untuk dihentikan sampai pelakunya tertangkap dan diadili di hadapan hukum. Saatnya Danu memetik apa yang sudah ditanamnya selama ini.

Roy menyadari kesalahannya dan kapok sejadi-jadinya. Ia berjanji tidak akan melakukan kebodohan semacam itu lagi yang hanya membuat hidupnya kalang-kabut. Ia tak akan jadi peragu seperti dulu lagi yang hanya membuat dirinya terombang-ambing dalam kegalauan yang tak berujung. Sejak mengalami peristiwa itu, ia seakan terlahir kembali. Ia bersyukur diberi kesempatan untuk memperbaiki diri dan coba memetik hikmah dari peristiwa yang telah dilalui.

Pengalaman mengajarkannya agar selalu ingat keluarga dan kerabatnya setiap kali godaan dan nafsu itu muncul. Coba menyugesti dirinya dengan ungkapan, "Ingatlah! Betapa malunya anak dan istrimu jika ayah atau suaminya seorang koruptor. Atau bagi orangtua dan mertuamu. Betapa malunya jika anak atau menantunya terlibat korupsi. Dan beban moral itu mereka tanggung bukan hanya sesaat tapi seumur hidup."

Meski begitu, pertemanannya dengan Danu akan tetap ia pertahankan walau Danu hampir saja menjerumuskannya ke dalam masalah besar. Ia tidak menyesali pertemuannya dengan Danu. Ia hanya menyesal karena tak kuasa menolak ajakan dan bujukan Danu. Padahal ia tahu perbuatan itu menyalahi akal pikiran dan hati nuraninya. Tampaknya hal itu yang harus benar-benar ia waspadai dan ingat baik-baik tidak hanya saat bergaul dengan Danu tapi juga dengan siapapun di kemudian hari.

(SELESAI)

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun