Menurut Roy, Danu sulit untuk bisa keluar dari bayang-bayang sang ayah. Ia seperti tidak punya pilihan lain selain mengikuti jejak sang ayah. Dari sini lahirlah apa yang dinamakan dengan politik dinasti. Politik dianggap seperti warisan turun-temurun dari generasi ke generasi. Fenomena ini jelas bukan hisapan jempol belaka karena begitu nyata dan marak terjadi. Banyak contoh yang bisa kita temukan dalam  kehidupan sehari-hari perihal dinasti politik yang pernah dan sedang berkuasa.
Praktik politik dinasti pada gilirannya sulit terhindar dari perilaku menghalalkan segala cara agar tetap bisa berkuasa dan melanggengkan kekuasaan. Sebagai seorang anggota parlemen di masa jabatan yang kedua, Danu sudah paham betul dengan seluk-beluk dunia perpolitikan. Baginya, celah kecil sekalipun dapat dimanfaatkan sebagai jalan masuk guna meraup keuntungan sebanyak mungkin.
Prinsip aji mumpung jelas terlihat pada diri Danu. Misalnya, di awal jabatan, ia berpikir bagaimana cara mengembalikan modal yang sudah dikeluarkan di masa kampanya. Ketika sedang menjabat, ia berpikir lagi bagaimana mengumpulkan modal untuk pencalonan kembali pada periode berikutnya. Atau mulai ancang-ancang ikut kontestasi pilkada seperti yang mulai ia jajaki mengikuti jejak sang ayah.Â
Berbagai praktik yang bersifat rahasia, terselubung, dan tabu, biasa diperagakan oknum wakil rakyat pernah dituturkan Danu ke Roy. Contohnya, dalam berbagai proyek daerah dan nasional yang identik dengan unsur KKN. Praktik otak-atik anggaran belanja yang syarat dengan kongkalikong dan "tahu sama tahu". Proses penyusunan dan legislasi suatu draf perundangan yang ditengarai ada unsur permainan dan intrik dengan kelompok kepentingan atau pihak tertentu.
Pada kasus Danu, tindak korupsi dan abuse of power yang terjadi bukan karena gaji, tunjungan, dan fasilitas yang minim tetapi lebih karena faktor individu yang cacat moral. Jauh dari karakter pribadi yang amanah, jujur, berintegritas, bertanggung jawab, sederhana, dan loyal pada nilai-nilai kebenaran dan kebaikan. Selain itu, adanya peluang dan kesempatan juga menjadi faktor penyebab Danu melakukan aksinya.
Kini Danu harus mempertanggungjawabkan perbuatannya. Sebuah harga mahal yang harus ia bayar akibat dari praktik politik Machiavellian yang hina dan tercela. Sanksi hukum siap menjeratnya. Penjara sempit, pengap, dan lembab telah menantinya. Nama baiknya tercemar. Status istimewa legislatornya terancam dicabut. Semua teman dan kolega lari darinya. Keluarganya malu dan tercerai-berai. Tinggallah penyesalan yang tiada artinya.
Saat bersamaan, Roy menanti dengan resah gelisah dalam ketidakpastian akan nasibnya. Ia sangat menyesal dan menyadari bahwa ia telah silau dengan kemilau yang Danu pancarkan. Ia telah melakukan kesalahan besar dalam hidupnya dan sangat terpukul akan hal itu. Gegara satu orang saja, hidupnya kini kacau-balau. Tak ada yang dapat ia perbuat. Ia hanya bisa pasrah seakan membiarkan waktu yang bicara.
.......
Roy tampak tegang di depan laptopnya Senin pagi itu. Setelah beberapa hari dilanda kegalauan, ia memutuskan untuk melakukan kunjungan secara virtual ke Danu. Selama masa pandemi, otoritas rutan mengeluarkan aturan dimana kunjungan di tempat untuk sementara waktu ditiadakan dan diganti dengan kunjungan secara online. Ini dimaksudkan tidak lain untuk mencegah penularan dan penyebarluasan virus yang kian mengganas.
Selesai mendaftar dan mengikuti prosedur yang telah ditentukan, Roy tinggal menunggu giliran. Kebetulan hari itu pengunjungnya cukup banyak sementara alat dan fasilitas yang disediakan pihak rutan terbatas. Jadi harus digilir dan dibatasi maksimal 15 menit per orang. Beberapa saat kemudian, tibalah giliran Roy. Dari layar laptopnya, terlihat Danu dengan waja lesu dan kusut. Begitu melihatnya, Roy langsung menyapanya, "Gimana kabarnya, Mas Danu?"
"Baik-baik saja. Makasih sudah menghubungi. Ini sangat berarti bagi saya," jawabnya dengan wajah yang berubah sedikit lebih berseri.