......
Restoran Jepang itu membatasi hanya 50% dari kapasitas pengunjung yang boleh makan di tempat sebagai imbas dari penerapan prokes ketat yang dimulai hari itu. Tiba jam 12 lewat lima, Nico bergegas menuju front desk setelah menjalani pengecekan suhu tubuh terlebih dahulu di pintu masuk. Sudah membuat reservasi sebelumnya, ia langsung diberi meja nomor tujuh yang kebetulan berada di sisi dinding kaca sehingga tampak di seberangnya kantor Martha berada.Â
Coba menata apa yang ada di dalam benaknya untuk diutarakan, Nico menyadari sesosok wanita sedang berjalan dari arah luar menuju ke restoran. Mengenakan seragam berwarna hijau emerald dengan kemeja dan blazer dipadukan celana panjang, si wanita mengamati sekeliling ruangan dengan saksama. Sambil berdiri dan melambaikan tangannya, Nico  menyambut kedatangan Martha dengan sumringah.Â
Sembari mempersilahkan duduk, Nico berucap, "Thank you for coming, dear," sapanya mesra.Â
"My pleasure," balasnya tersenyum sambil merebahkan diri.Â
"You look gorgeous with the mask," pujinya.Â
"Oh, thanks, honey. Just obey the prokes," jawabnya tersipu-sipu.Â
"Right, the prokes!" ujarnya tersenyum simpul.Â
"So, ... we're here for ..." kata Martha memancing Nico seolah tak sabar menanti kejutan apa yang akan diberikan.Â
Dengan tatapan murung, ia berkata, "Actually, it's hard for me to tell you about this. I've been thinking for days and I think this is the time to bring all this into the light. But I'm trying not to make you sad."Â
Mendengar ucapan itu, sontak raut muka Martha berubah namun ia berusaha untuk bisa setenang mungkin. "It's okay, honey. Please, go on! I'm ready to listen anything you want to say," jawabnya agak resah.Â
"Martha, ...," panggilnya. Saat hendak berterus terang, hidangan hot pot yang menggugah selera datang disajikan di atas meja.Â