"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui"." (QS. Al Baqarah: 30).
Â
Bisa kita lihat, kebanyakan tugas ke-khalifahan (Pemimpin dsb) mayoritas diserahkan kepada laki-laki. Padahal dalam ayat tersebut tidak ada secara langsung menyebutkan kata laki-laki, harusnya perempuan juga termasuk, mengapa perempuan selalu dianggap pelengkap laki-laki. Ia mencontohkan di buku zahra ayubi filosofi helenistik, di buku ini dikatakan laki-laki itu memiliki moral yang lebih baik dari perempuan, jadi bias gender sebenarnya sudah terjadi dari jaman dahulu. Di masa dinasti abbasiyah ketika abad 8-13, walaupun di masa itu ilmu pengetahuan umat muslim berkembang pesat. Namun, di sisi lain kaum perempuan tidak boleh dilibatkan.
Wadud sampai kepada suatu kesimpulan, dimana ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang perempuan harus dikaji ulang secara kontekstual dengan pendekatan hermeneutika. Menurutnya, hermeneutika menjadi kacamata yang ‘pas’ dalam mengkaji ayat-ayat gender. Karena metodologi yang digunakan cenderung lebih obyektif dan jelas.Â
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI