Mohon tunggu...
AHMAD FAAZA HUDZAIFAH
AHMAD FAAZA HUDZAIFAH Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Studi Islam

Saya seorang mahasiswa asal Palembang, Sumatera Selatan yang suka menulis konten-konten keagamaan dan puisi.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Hermeneutika Feminis: Telaah Model Penafsiran Amina Wadud

29 Maret 2023   19:02 Diperbarui: 9 April 2023   22:21 208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

HERMENEUTIKA FEMINIS, TELAAH MODEL PENAFSIRAN AMINA WADUD

Amina Wadud merupakan penggiat al-Qur’an yang berfokus terhadap isu kesetaraan gender dan feminisme muslimah. Di samping itu, karirnya sebagai akademisi juga tak jauh dari isu tersebut, terlihat dari penelitian-penelitiannya yang berkutat pada studi gender dan Al-Qur’an. Perempuan yang menguasai bahasa Arab ini, pernah mengenyam pendidikan formal di al-Azhar Mesir dan menempuh doktoral dalam bidang studi islam di University of Michigan. Namanya dikenal luas akibat kontroversinya memimpin shalat jumat pada 2008 di Inggris. Darisana ia diberi julukan sebagai “The Lady Imam”

Dalam diskursus tafsir al-Qur’an, Wadud memposisikan dirinya selalu melakukan dekontruksi dan rekontruksi ayat al-Qur’an yang berbicara mengenai isu laki-laki dan perempuan. Kritiknya, terhadap penafsiran klasik, menurutnya selalu berkutat seputar laki-laki dan pengalaman laki-laki. Ia menawarkan pendekatan yang lebih humanis dalam menafsirkan al-Quran yakni pendekatan berbasis gender dan Feminis. Amina sebenarnya melanjutkan pemikirannya Rahman dalam tawaran itu, ia sependapat mengenai pemikiran Rahman yang mengkritik penafsiran klasik dengan bilang bahwa penafsiran klasik cenderung kuno dan kaku.

Tulisan ini, merupakan refleksi atas salah satu karya Wadud yang berjudul “Reflections on Islamic Feminist Exegesis of the Qur’an“. Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia yakni “Refleksi (Tanggapan) terhadap Penafsiran Feminis Islam Terhadap al-Qur’an.” Artikel ini secara umum membahas mengenai pentingnya kaitan antara hermeneutika al-Qur’an dengan realitas kehidupan (Pandangan Dunia / Welstanchauung) dan juga mempertanyakan / kritik terhadap teori penafsiran al-Qur’an klasik. 

Berangkat dari problem dimana, di era sekarang ini harus ada tawaran metodologi penafsiran yang dapat menyesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Terutama di kehidupan para perempuan yang cenderung mengalami diskriminasi dari para laki-laki. Menurutnya teks-teks keagamaan terutama Islam cenderung berperan penting dalam fenomena tersebut. Maka dari itu ia menulis dan menawarkan yang ia bilang “Personal Reflection” dalam artikel yang kita resensi ini.[1]

Di awal artikel ini, Amina menjelaskan tulisan ini secara umum ingin menjelaskan betapa pentingnya realitas kehidupan bagi hermeneutika al-Qur’an dan mengkritik penafsiran model klasik terhadap Al-Qur'an. 

Membahas tentang sikap dan ayat-ayat Al-Qur'an tertentu, terutama istilah netral dalam kaitannya dengan penciptaan dan kosmologi, kisah nabi luth, dan tema-tema seperti persoalan syariat, artikel ini menawarkan refleksi pribadi atau opininya tentang gender dan kemungkinan penafsiran Al-Qur'an atau Islam. Wadud juga menjelaskan, bagaimana dia sampai pada perspektif teologis tentang kesetaraan gender dan identitas gender selama 20 tahun terakhir, dan memberikan contoh spesifik melalui analisisnya terhadap ayat Al-Qur'an.

Kritiknya terhadap penafsiran klasik berangkat dari bahwasanya, penafsiran mengenai'manusia' dalam al-Qur'am, cenderung banyak membela laki-laki dan seolah-olah wanita yang selalu dibawah dan salah. Ia menawarkan Intrepretasi yang lebih kepada memperjuangkan hak-hak wanita dalam penafsiran ayat-ayat yang berbau gender.

Wadud mengatakan, motif utamanya berkutat dalam isu ini ialah, berangkat dari kegelisahan dimana tidak adanya undang undang dan hukum negara yang membela wanita secara formal ataupun tidak formal, di komunitas muslim budaya yang dibangun cenderung patriarki tidak berpihak kepada wanita.

Lanjut Amina, hal ini berawal dari problem penafsiran klasik yang bernada patriarki. Seperti Interpretasi kata nafs, yang artinya manusia. Secara bahasa kata manusia itu dapat bermakna dua yakni, lelaki apa perempuan, tidak spesifik mengacu kepada gender tertentu. Tetapi di beberapa penafsiran banyak diartikan sebagai laki-laki. Dia menjelaskan sebenarnya di dalam al-Qur’an itu, laki-laki dan perempuan itu setara sama sama penting. Di dalam al-Qur’an itu tidak ada yang secara gamblang menyalahkan perempuan seperti di Kristen yang bilang bahwa melahirkan merupakan kesalahan wanita.

Kisah kosmologi juga tidak lepas dari kritik oleh Wadud, menurutnya ayat mengenai Kisah Adam menggunakan makna ganda, bukan adam saja yang dikenakan hukuman namun dua-duanya. Mereka bersama-sama makan buah khuldi semuanya berdosa dan dihukum dengan cara diturunkan di dunia, jadi bukan salah satu orang saja yakni karena hawa yang menggoda, seperti yang banyak diamini oleh masyarakat. Amina bercerita ketika pertama kali melawan arus penafsiran yang umum. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun