HERMENEUTIKA FEMINIS, TELAAH MODEL PENAFSIRAN AMINA WADUD
Amina Wadud merupakan penggiat al-Qur’an yang berfokus terhadap isu kesetaraan gender dan feminisme muslimah. Di samping itu, karirnya sebagai akademisi juga tak jauh dari isu tersebut, terlihat dari penelitian-penelitiannya yang berkutat pada studi gender dan Al-Qur’an. Perempuan yang menguasai bahasa Arab ini, pernah mengenyam pendidikan formal di al-Azhar Mesir dan menempuh doktoral dalam bidang studi islam di University of Michigan. Namanya dikenal luas akibat kontroversinya memimpin shalat jumat pada 2008 di Inggris. Darisana ia diberi julukan sebagai “The Lady Imam”
Dalam diskursus tafsir al-Qur’an, Wadud memposisikan dirinya selalu melakukan dekontruksi dan rekontruksi ayat al-Qur’an yang berbicara mengenai isu laki-laki dan perempuan. Kritiknya, terhadap penafsiran klasik, menurutnya selalu berkutat seputar laki-laki dan pengalaman laki-laki. Ia menawarkan pendekatan yang lebih humanis dalam menafsirkan al-Quran yakni pendekatan berbasis gender dan Feminis. Amina sebenarnya melanjutkan pemikirannya Rahman dalam tawaran itu, ia sependapat mengenai pemikiran Rahman yang mengkritik penafsiran klasik dengan bilang bahwa penafsiran klasik cenderung kuno dan kaku.
Tulisan ini, merupakan refleksi atas salah satu karya Wadud yang berjudul “Reflections on Islamic Feminist Exegesis of the Qur’an“. Jika diartikan ke dalam bahasa Indonesia yakni “Refleksi (Tanggapan) terhadap Penafsiran Feminis Islam Terhadap al-Qur’an.” Artikel ini secara umum membahas mengenai pentingnya kaitan antara hermeneutika al-Qur’an dengan realitas kehidupan (Pandangan Dunia / Welstanchauung) dan juga mempertanyakan / kritik terhadap teori penafsiran al-Qur’an klasik.
Berangkat dari problem dimana, di era sekarang ini harus ada tawaran metodologi penafsiran yang dapat menyesuaikan dengan perkembangan dan tuntutan zaman. Terutama di kehidupan para perempuan yang cenderung mengalami diskriminasi dari para laki-laki. Menurutnya teks-teks keagamaan terutama Islam cenderung berperan penting dalam fenomena tersebut. Maka dari itu ia menulis dan menawarkan yang ia bilang “Personal Reflection” dalam artikel yang kita resensi ini.[1]
Di awal artikel ini, Amina menjelaskan tulisan ini secara umum ingin menjelaskan betapa pentingnya realitas kehidupan bagi hermeneutika al-Qur’an dan mengkritik penafsiran model klasik terhadap Al-Qur'an.
Membahas tentang sikap dan ayat-ayat Al-Qur'an tertentu, terutama istilah netral dalam kaitannya dengan penciptaan dan kosmologi, kisah nabi luth, dan tema-tema seperti persoalan syariat, artikel ini menawarkan refleksi pribadi atau opininya tentang gender dan kemungkinan penafsiran Al-Qur'an atau Islam. Wadud juga menjelaskan, bagaimana dia sampai pada perspektif teologis tentang kesetaraan gender dan identitas gender selama 20 tahun terakhir, dan memberikan contoh spesifik melalui analisisnya terhadap ayat Al-Qur'an.
Kritiknya terhadap penafsiran klasik berangkat dari bahwasanya, penafsiran mengenai'manusia' dalam al-Qur'am, cenderung banyak membela laki-laki dan seolah-olah wanita yang selalu dibawah dan salah. Ia menawarkan Intrepretasi yang lebih kepada memperjuangkan hak-hak wanita dalam penafsiran ayat-ayat yang berbau gender.
Wadud mengatakan, motif utamanya berkutat dalam isu ini ialah, berangkat dari kegelisahan dimana tidak adanya undang undang dan hukum negara yang membela wanita secara formal ataupun tidak formal, di komunitas muslim budaya yang dibangun cenderung patriarki tidak berpihak kepada wanita.
Lanjut Amina, hal ini berawal dari problem penafsiran klasik yang bernada patriarki. Seperti Interpretasi kata nafs, yang artinya manusia. Secara bahasa kata manusia itu dapat bermakna dua yakni, lelaki apa perempuan, tidak spesifik mengacu kepada gender tertentu. Tetapi di beberapa penafsiran banyak diartikan sebagai laki-laki. Dia menjelaskan sebenarnya di dalam al-Qur’an itu, laki-laki dan perempuan itu setara sama sama penting. Di dalam al-Qur’an itu tidak ada yang secara gamblang menyalahkan perempuan seperti di Kristen yang bilang bahwa melahirkan merupakan kesalahan wanita.
Kisah kosmologi juga tidak lepas dari kritik oleh Wadud, menurutnya ayat mengenai Kisah Adam menggunakan makna ganda, bukan adam saja yang dikenakan hukuman namun dua-duanya. Mereka bersama-sama makan buah khuldi semuanya berdosa dan dihukum dengan cara diturunkan di dunia, jadi bukan salah satu orang saja yakni karena hawa yang menggoda, seperti yang banyak diamini oleh masyarakat. Amina bercerita ketika pertama kali melawan arus penafsiran yang umum.
Tentang Hawa yang diyakini sebagai tulang rusuk Adam padahal tidak ada ayat yang secara langsung bilang Hawa itu tulang rusuk Adam. Itulah pertama kalinya ia mendapat surat ancaman ketika menafsirkan yang berbeda terkait tulang rusuk itu. Menurutnya cerita sedetail itu pengaruh dari israiliyat yang berasal dari teks yahudi dan nasrani. Berangkat dari sinilah Amina menegaskan mengapa pentingnya membaca atau menafsirkan al-Quran dengan pisau analisis gender.
Amina juga menegaskan pentingnya seorang mufassir memahami cara pandang dunia, weltanschauung atau worldview. Kemudian banyak tafsir tekstual yang bersifat atomistik,yaitu penafsiran dilakukan ayat per-ayat dan tidak tematik, sehingga pembahasannya terkesan parsial. Dan banyak pula tafsir yang ditulis hanya oleh kaum laki-laki, makanya kebanyakan ide serta visi misi perempuan tidak banyak tersebar luas ke dalam penafsiran.
Menurut Wadud, Ulama ataupun penafsiran klasik seperti selalu didewakan dan mutlak kebenarannya. Makanya, ketika ada penafsiran yang berani berbeda dari tafsir klasik sering dituduh sebagai Kafir, murtad, dan liberal. Apalagi ketika yang berbeda itu ialah Ulama perempuan, yang notabenenya mayoritas perempuan selalu dijatuhkan dalam hal literasi dan dipandang rendah di beberapa negara.
Sejatinya al-Quran dan as-Sunnah, memberikan mandat yang universal terhadap laki-laki dan perempuan. Akan tetapi pada faktanya perempuan tidak banyak berperan dalam membentuk paradigma keislaman. Contohnya hadis menuntut ilmu wajib bagi setiap setiap muslim. Kata muslim disini bersifat universal dan mencakup juga untuk muslimah.
Pembelaan perempuan terkadang dianggap tidak ortodoks, inilah gunanya feminis muslim ingin mengembalikan status penafsiran al-Quran ini terhadap manusia yang aslinya kesulitan juga untuk memahami dan menerapkan pesan sesungguhnya yang dimaksudkan Allah.
Terlebih faktanya laki-laki juga ada kurangnya juga dan jangan sampai diperlakukan sebagai ‘dewa’ yang tidak ada salahnya. Ketika wacana islam dibentuk, laki-laki selalu mendominasi, padahal harusnya juga melibatkan wanita dalam diskusi tersebut. Sehingga terkesan laki-laki itu menjadi ‘hakim’ yang memutuskan apa yang seharusnya manusiawi atau tidak dan pencapaian terhadap nilai-nilai kebenaran itu hanya berlaku kepada konstruk kepada laki-laki, namun laki-laki itu akhirnya ada kurangnya juga.
Ayat al-Qur’an yang berbicara bahwa manusia mempunyai tugas sebagai khalifah di bumi, cenderung diartikan sebagai laki-laki.
وَإِذْ قَالَ رَبُّكَ لِلْمَلَائِكَةِ إِنِّي جَاعِلٌ فِي الْأَرْضِ خَلِيفَةً ۖ قَالُوا أَتَجْعَلُ فِيهَا مَنْ يُفْسِدُ فِيهَا وَيَسْفِكُ الدِّمَاءَ وَنَحْنُ نُسَبِّحُ بِحَمْدِكَ وَنُقَدِّسُ لَكَ ۖ قَالَ إِنِّي أَعْلَمُ مَا لَا تَعْلَمُونَ
Artinya:
"Ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada para Malaikat: "Sesungguhnya Aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi". Mereka berkata: "Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, padahal kami senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan berfirman: "Sesungguhnya Aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui"." (QS. Al Baqarah: 30).
Bisa kita lihat, kebanyakan tugas ke-khalifahan (Pemimpin dsb) mayoritas diserahkan kepada laki-laki. Padahal dalam ayat tersebut tidak ada secara langsung menyebutkan kata laki-laki, harusnya perempuan juga termasuk, mengapa perempuan selalu dianggap pelengkap laki-laki. Ia mencontohkan di buku zahra ayubi filosofi helenistik, di buku ini dikatakan laki-laki itu memiliki moral yang lebih baik dari perempuan, jadi bias gender sebenarnya sudah terjadi dari jaman dahulu. Di masa dinasti abbasiyah ketika abad 8-13, walaupun di masa itu ilmu pengetahuan umat muslim berkembang pesat. Namun, di sisi lain kaum perempuan tidak boleh dilibatkan.
Wadud sampai kepada suatu kesimpulan, dimana ayat-ayat al-Qur’an yang berbicara tentang perempuan harus dikaji ulang secara kontekstual dengan pendekatan hermeneutika. Menurutnya, hermeneutika menjadi kacamata yang ‘pas’ dalam mengkaji ayat-ayat gender. Karena metodologi yang digunakan cenderung lebih obyektif dan jelas.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI