Mohon tunggu...
Ahmad BurhanZulhazmi
Ahmad BurhanZulhazmi Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa Magister Akuntansi

NIM : 55523110040 | Program Studi : Magister Akuntansi | Fakultas : Ekonomi dan Bisnis | Universitas : Universitas Mercu Buana | Pajak Internasional | Dosen : Prof. Dr. Apollo, M.Si., Ak.

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

TB1 - The Good, The Right Habermas Tentang Pajak Internasional dan Keadilan Deliberatif

20 Oktober 2024   15:50 Diperbarui: 20 Oktober 2024   16:07 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.


Jürgen Habermas, seorang tokoh terkemuka dari Mazhab Frankfurt, dikenal luas dalam diskursus filsafat dan teori sosial, terutama dalam konteks keadilan dan etika politik. Pandangannya tentang keadilan deliberatif menjadi sangat relevan ketika membahas pajak internasional dan pluralisme budaya. Habermas membedakan antara konsep 'The Good' dan 'The Right', di mana 'The Good' merujuk pada nilai-nilai etis yang sering kali bersifat primordial dan terkait dengan identitas budaya atau etnis tertentu, sedangkan 'The Right' mengacu pada norma-norma universal yang dapat diterima secara rasional oleh semua individu dalam masyarakat pluralistik.

Dalam konteks ini, keadilan deliberatif berusaha menjembatani perbedaan antara kedua konsep ini melalui dialog dan diskursus publik. Habermas menekankan bahwa keadilan tidak hanya dilihat sebagai hasil akhir, tetapi sebagai proses yang melibatkan partisipasi semua pihak dalam dialog yang setara. Ini berarti bahwa keputusan-keputusan penting, termasuk kebijakan pajak internasional, harus diambil melalui proses deliberatif yang melibatkan semua pemangku kepentingan.

Pajak internasional sering kali menjadi sumber ketidakadilan ekonomi, terutama bagi negara-negara berkembang yang tidak memiliki suara yang sama dalam pengambilan keputusan global. Dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan deliberatif, negara-negara dapat bekerja sama untuk menciptakan sistem pajak yang lebih adil dan inklusif. Habermas juga mengkritik pendekatan esensialisme dan substansialisme identitas kultural dalam liberalisme, komunitarianisme, dan multikulturalisme, dengan menekankan bahwa keadilan harus ditemukan melalui komunikasi dan diskursus publik yang menghargai keragaman dan perbedaan.

Dalam bukunya "Between Facts and Norms", Habermas mengusulkan bahwa keadilan politis tidak boleh dilekatkan pada nilai religio-kultural tertentu, tetapi harus mencakup hak-hak komunikasi semua kelompok dalam legislasi hukum. Dengan demikian, keadilan bukanlah sesuatu yang sudah ada, melainkan harus dirancang di masa depan melalui partisipasi aktif dalam diskursus publik yang inklusif dan setara.

1. APA (WHAT)

Konsep "The Good" dan "The Right"

Sumber: Prof. Apollo
Sumber: Prof. Apollo

Jürgen Habermas, seorang filsuf dan sosiolog terkemuka dari Mazhab Frankfurt, mengembangkan konsep "The Good" dan "The Right" sebagai bagian dari upayanya untuk memahami dan menjelaskan keadilan dalam konteks masyarakat modern yang kompleks dan pluralistik. Dalam pandangan Habermas, "The Good" merujuk pada nilai-nilai etis dan moral yang sering kali bersifat primordial dan terkait erat dengan identitas budaya atau etnis tertentu. Nilai-nilai ini mencerminkan aspirasi, keyakinan, dan tradisi yang mendalam dari kelompok-kelompok sosial yang berbeda, dan sering kali menjadi dasar bagi individu dan komunitas dalam menentukan apa yang dianggap baik dan benar dalam kehidupan mereka. "The Good" adalah tentang bagaimana kelompok-kelompok ini memahami dan mengartikulasikan tujuan hidup mereka, serta bagaimana mereka membangun identitas kolektif mereka berdasarkan sejarah dan budaya yang mereka warisi.

Di sisi lain, "The Right" mengacu pada norma-norma universal dan prinsip-prinsip keadilan yang dapat diterima secara rasional oleh semua individu, terlepas dari latar belakang budaya atau etnis mereka. "The Right" berfokus pada penciptaan kerangka kerja normatif yang dapat diterima oleh semua orang dalam masyarakat pluralistik, di mana perbedaan budaya dan etnis diakui dan dihormati. Dalam konteks ini, "The Right" berusaha untuk melampaui batasan-batasan partikularisme dan menawarkan prinsip-prinsip keadilan yang dapat diterapkan secara universal. Ini mencakup hak-hak asasi manusia, kebebasan individu, dan prinsip-prinsip demokrasi yang menjamin partisipasi setara dalam proses pengambilan keputusan.

Habermas mengusulkan bahwa keadilan deliberatif dapat menjembatani perbedaan antara "The Good" dan "The Right" melalui dialog dan diskursus publik. Dalam ruang publik, individu dan kelompok dapat berpartisipasi dalam proses deliberatif yang memungkinkan mereka untuk menyuarakan pandangan mereka, mendengarkan perspektif lain, dan mencari konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak. Proses ini menekankan pentingnya komunikasi yang bebas dan terbuka, di mana semua suara dihargai dan dipertimbangkan. Dengan demikian, keadilan tidak hanya dilihat sebagai hasil akhir, tetapi sebagai proses yang dinamis dan partisipatif, di mana semua pihak memiliki kesempatan untuk berkontribusi dalam pembentukan norma-norma sosial yang adil.

Dalam konteks globalisasi dan masyarakat yang semakin beragam, pendekatan Habermas terhadap keadilan menawarkan kerangka kerja yang inklusif dan berkelanjutan. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip keadilan deliberatif, masyarakat dapat bekerja menuju sistem sosial yang lebih adil, yang menghormati pluralitas budaya dan memastikan partisipasi yang setara bagi semua individu. Ini menciptakan demokrasi deliberatif yang ideal, di mana keputusan-keputusan penting diambil dengan mempertimbangkan kepentingan semua pihak, dan di mana keadilan tidak hanya tentang distribusi sumber daya, tetapi juga tentang pengakuan dan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan.

Teori Keadilan Habermas

Sumber : Prof. Apollo
Sumber : Prof. Apollo

Teori keadilan yang dikembangkan oleh Jürgen Habermas menekankan bahwa keadilan tidak dapat dipisahkan dari proses dialogis. Dalam pandangan Habermas, keadilan bukanlah sekadar hasil akhir yang dapat diukur melalui distribusi sumber daya atau hak, melainkan sebuah proses yang melibatkan partisipasi aktif dan dialogis dari semua individu yang terlibat. Habermas berargumen bahwa keadilan sejati hanya dapat dicapai melalui komunikasi yang rasional dan inklusif, di mana semua pihak memiliki kesempatan yang setara untuk menyuarakan pandangan mereka dan berkontribusi dalam pengambilan keputusan.

Pada inti dari teori keadilan Habermas adalah konsep diskursus publik, yang berfungsi sebagai arena di mana individu dan kelompok dapat berpartisipasi dalam dialog yang bebas dan terbuka. Dalam ruang publik ini, argumen-argumen dievaluasi berdasarkan kekuatan logis dan moralnya, bukan berdasarkan kekuasaan atau otoritas dari pihak yang menyampaikannya. Proses ini memungkinkan terciptanya konsensus yang dapat diterima oleh semua pihak, yang pada gilirannya menciptakan dasar bagi keadilan yang lebih inklusif dan berkelanjutan. Dengan demikian, keadilan tidak hanya dilihat sebagai hasil akhir, tetapi sebagai proses yang dinamis dan partisipatif, di mana semua suara dihargai dan dipertimbangkan.

Habermas juga menekankan bahwa keadilan harus mencakup pengakuan dan penghormatan terhadap keragaman budaya dan identitas. Dalam masyarakat yang semakin pluralistik, penting untuk memastikan bahwa semua suara, termasuk mereka yang berasal dari kelompok minoritas atau terpinggirkan, didengar dan dipertimbangkan. Ini berarti bahwa keadilan tidak hanya tentang distribusi yang adil dari sumber daya, tetapi juga tentang pengakuan dan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Dengan mengadopsi pendekatan ini, masyarakat dapat bekerja menuju sistem sosial yang lebih inklusif dan berkelanjutan, di mana semua individu merasa dihargai dan memiliki peran dalam membentuk masa depan mereka.

Dalam konteks globalisasi, teori keadilan Habermas juga menawarkan kerangka kerja untuk mengatasi tantangan yang muncul dari interaksi antara negara dan budaya yang berbeda. Dengan mendorong dialog dan kerjasama internasional, keadilan deliberatif dapat membantu menciptakan kebijakan yang lebih adil dan efektif dalam menangani isu-isu global seperti perubahan iklim, perdagangan internasional, dan hak asasi manusia. Dengan demikian, keadilan deliberatif tidak hanya relevan dalam konteks lokal atau nasional, tetapi juga dalam skala global, di mana tantangan dan peluang baru terus muncul.

Secara keseluruhan, teori keadilan Habermas menawarkan visi yang dinamis dan partisipatif tentang keadilan, yang menekankan pentingnya proses dialogis dalam mencapai hasil yang adil dan inklusif. Dengan menempatkan komunikasi dan partisipasi di pusat dari konsep keadilan, Habermas memberikan kerangka kerja yang kuat untuk memahami dan mengatasi tantangan keadilan dalam masyarakat modern yang kompleks dan beragam.

Konsekuensi Pajak Internasional

Pajak internasional, meskipun dirancang untuk mengatur dan menyeimbangkan sistem perpajakan global, sering kali menciptakan ketidakadilan bagi negara-negara berkembang. Ketidakadilan ini muncul dari berbagai faktor struktural dan kebijakan yang cenderung menguntungkan negara-negara maju, sementara negara-negara berkembang harus menghadapi tantangan yang lebih besar dalam mengumpulkan pendapatan pajak yang adil dan efektif.

Salah satu konsekuensi utama dari sistem pajak internasional adalah erosi basis pajak di negara-negara berkembang. Banyak perusahaan multinasional yang beroperasi di negara-negara ini memanfaatkan celah dalam peraturan pajak internasional untuk mengalihkan keuntungan mereka ke yurisdiksi dengan pajak rendah atau bebas pajak. Praktik ini, yang dikenal sebagai penghindaran pajak agresif, mengurangi pendapatan pajak yang seharusnya diterima oleh negara-negara berkembang. Alex Cobham dan Petr Janský dalam penelitian mereka menyatakan bahwa "penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional mengakibatkan kerugian pendapatan yang signifikan bagi negara-negara berkembang, yang sangat bergantung pada pendapatan pajak untuk pembiayaan publik" (Cobham & Janský, 2018).

Selain itu, perjanjian pajak bilateral yang sering kali dinegosiasikan antara negara-negara maju dan berkembang cenderung lebih menguntungkan pihak yang lebih kuat secara ekonomi. Negara-negara berkembang sering kali berada dalam posisi tawar yang lemah dan terpaksa menerima persyaratan yang tidak menguntungkan, seperti tarif pajak yang lebih rendah untuk royalti dan dividen yang dibayarkan kepada perusahaan asing. Gabriel Zucman dalam bukunya "The Hidden Wealth of Nations" menyoroti bahwa "perjanjian pajak internasional sering kali dirancang untuk melindungi kepentingan negara-negara kaya, meninggalkan negara-negara berkembang dengan sedikit pilihan selain menerima kondisi yang merugikan" (Zucman, 2015).

Ketidakadilan ini diperparah oleh kurangnya kapasitas administrasi pajak di banyak negara berkembang. Sumber daya yang terbatas dan kurangnya keahlian teknis membuat negara-negara ini kesulitan dalam menegakkan peraturan pajak dan memerangi penghindaran pajak. Selain itu, tekanan dari lembaga keuangan internasional untuk mengadopsi kebijakan pajak yang lebih liberal sering kali menghambat upaya negara-negara berkembang untuk meningkatkan pendapatan pajak mereka.

Untuk mengatasi ketidakadilan ini, diperlukan reformasi mendasar dalam sistem pajak internasional. Negara-negara berkembang perlu didukung dalam memperkuat kapasitas administrasi pajak mereka dan dalam negosiasi perjanjian pajak yang lebih adil. OECD dalam laporannya "Addressing Base Erosion and Profit Shifting" menekankan pentingnya "kerjasama internasional yang lebih erat dan transparansi yang lebih besar dalam pelaporan keuangan untuk mengurangi penghindaran pajak dan meningkatkan pendapatan pajak di negara-negara berkembang" (OECD, 2013).

Secara keseluruhan, meskipun pajak internasional memiliki potensi untuk mendukung pembangunan global yang berkelanjutan, sistem saat ini sering kali menciptakan ketidakadilan bagi negara-negara berkembang. Dengan reformasi yang tepat dan kerjasama internasional yang lebih baik, tantangan ini dapat diatasi, memungkinkan negara-negara berkembang untuk memperoleh bagian yang adil dari pendapatan pajak global dan memajukan kesejahteraan ekonomi dan sosial mereka.

2. MENGAPA (WHY)

Pentingnya Keadilan Deliberatif

Sumber : Prof. Apollo
Sumber : Prof. Apollo

Dalam era globalisasi yang semakin terhubung, isu pajak dan keadilan sosial telah menjadi masalah lintas batas yang memerlukan perhatian serius dari komunitas internasional. Keadilan deliberatif, sebuah konsep yang menekankan pentingnya partisipasi publik dan diskusi terbuka dalam pengambilan keputusan, menjadi semakin relevan dalam konteks ini. Konsep ini bertujuan untuk memastikan bahwa semua negara, terlepas dari tingkat perkembangan ekonominya, dapat berkontribusi secara adil terhadap pembangunan global.

Keadilan deliberatif, sebagaimana dijelaskan oleh Jürgen Habermas dalam karyanya "Between Facts and Norms," menekankan pentingnya komunikasi yang rasional dan inklusif dalam proses pengambilan keputusan politik dan sosial (Habermas, 1996). Dalam konteks pajak internasional, ini berarti bahwa kebijakan pajak harus dirumuskan melalui proses deliberasi yang melibatkan semua pemangku kepentingan, termasuk negara-negara berkembang yang sering kali terpinggirkan dalam negosiasi internasional.

Pajak internasional memainkan peran penting dalam mendukung pembangunan global dengan menyediakan sumber daya yang diperlukan untuk investasi dalam infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan. Namun, sistem pajak global saat ini sering kali tidak adil, dengan banyak perusahaan multinasional yang memanfaatkan celah hukum untuk menghindari kewajiban pajak mereka. Hal ini mengakibatkan kerugian pendapatan yang signifikan bagi negara-negara berkembang, yang sangat bergantung pada pendapatan pajak untuk pembiayaan publik. Alex Cobham dan Petr Janský dalam penelitian mereka menunjukkan bahwa penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional mengakibatkan kerugian pendapatan yang signifikan bagi negara-negara berkembang (Cobham & Janský, 2018).

Keadilan deliberatif menawarkan kerangka kerja untuk mengatasi ketidakadilan ini dengan mendorong dialog yang lebih terbuka dan partisipatif antara negara-negara. Dengan melibatkan semua pihak dalam proses deliberasi, kebijakan pajak dapat dirancang untuk mencerminkan kepentingan kolektif dan memastikan bahwa semua negara berkontribusi secara adil terhadap pembangunan global. Ini juga mencakup upaya untuk meningkatkan transparansi dalam pelaporan keuangan perusahaan multinasional dan memperkuat kerjasama internasional dalam pertukaran informasi pajak.

Selain itu, keadilan deliberatif juga menekankan pentingnya pendidikan dan partisipasi publik dalam proses pengambilan keputusan. Dengan meningkatkan kesadaran masyarakat tentang isu-isu pajak dan keadilan sosial, individu dapat lebih terlibat dalam proses deliberasi dan memberikan masukan yang berharga untuk kebijakan yang lebih adil. Amartya Sen dalam "Development as Freedom" menyoroti pentingnya kebebasan dan partisipasi publik dalam mencapai pembangunan yang berkelanjutan dan adil (Sen, 1999).

Secara keseluruhan, keadilan deliberatif merupakan pendekatan yang penting untuk memastikan bahwa semua negara dapat berkontribusi secara adil terhadap pembangunan global. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip keadilan deliberatif, masyarakat internasional dapat bekerja menuju sistem pajak yang lebih adil dan berkelanjutan, yang pada akhirnya akan mendukung kesejahteraan ekonomi dan sosial bagi semua.

Peran Pajak Internasional

Pajak internasional memainkan peran krusial dalam mencegah penghindaran pajak yang merugikan negara-negara berkembang dan memastikan alokasi sumber daya yang seimbang di seluruh dunia. Dalam konteks globalisasi, di mana modal dan perusahaan dapat bergerak melintasi batas negara dengan mudah, sistem pajak internasional yang efektif menjadi semakin penting untuk menjaga keadilan ekonomi dan sosial.

Penghindaran pajak oleh perusahaan multinasional telah menjadi masalah yang signifikan, terutama bagi negara-negara berkembang yang sangat bergantung pada pendapatan pajak untuk mendanai pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan layanan kesehatan. Menurut laporan dari OECD, praktik penghindaran pajak ini mengakibatkan kerugian pendapatan yang besar bagi banyak negara, mengurangi kemampuan mereka untuk berinvestasi dalam pembangunan sosial dan ekonomi (OECD, 2013).

Pajak internasional berfungsi sebagai mekanisme untuk mengatasi tantangan ini dengan menetapkan aturan dan standar yang mengatur bagaimana pendapatan perusahaan multinasional harus dikenakan pajak. Inisiatif seperti Base Erosion and Profit Shifting (BEPS) yang dipimpin oleh OECD dan G20 bertujuan untuk menutup celah dalam peraturan pajak internasional yang memungkinkan perusahaan untuk mengalihkan keuntungan mereka ke yurisdiksi dengan pajak rendah atau bebas pajak. Melalui kerjasama internasional, negara-negara dapat memastikan bahwa perusahaan membayar bagian pajak yang adil di tempat mereka menghasilkan keuntungan.

Selain mencegah penghindaran pajak, pajak internasional juga berperan dalam memastikan alokasi sumber daya yang lebih seimbang di antara negara-negara. Dengan mengumpulkan pendapatan pajak yang memadai, negara-negara berkembang dapat meningkatkan investasi dalam sektor-sektor penting yang mendukung pertumbuhan ekonomi dan pengurangan kemiskinan. Joseph Stiglitz dalam bukunya "The Price of Inequality" menekankan bahwa sistem pajak yang adil dapat membantu mengurangi ketimpangan ekonomi dengan mendistribusikan kembali kekayaan dan memberikan kesempatan yang lebih besar bagi semua individu untuk berpartisipasi dalam ekonomi (Stiglitz, 2012).

Lebih jauh lagi, pajak internasional dapat berfungsi sebagai alat untuk mempromosikan keadilan sosial dengan memastikan bahwa semua negara memiliki akses yang setara terhadap sumber daya global. Ini penting untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pembangunan berkelanjutan dan inklusif. Jeffrey Sachs dalam "The End of Poverty" menggarisbawahi pentingnya pajak internasional dalam mendukung upaya global untuk mengentaskan kemiskinan dan mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (Sachs, 2005).

Secara keseluruhan, peran pajak internasional dalam mencegah penghindaran pajak dan memastikan alokasi sumber daya yang seimbang adalah kunci untuk mengurangi ketimpangan sosial dan ekonomi antar negara. Dengan memperkuat kerjasama internasional dan menerapkan kebijakan pajak yang adil, masyarakat global dapat bekerja menuju sistem ekonomi yang lebih berkeadilan dan berkelanjutan.

Tantangan Dalam Penerapan
Dalam dunia yang semakin terhubung, penerapan keadilan deliberatif menghadapi berbagai tantangan yang kompleks. Salah satu tantangan utama adalah perbedaan budaya, kepentingan politik, dan ekonomi yang dapat menimbulkan konflik dan menghambat proses deliberasi. Jürgen Habermas, dalam karyanya "Between Facts and Norms," menekankan pentingnya komunikasi yang rasional dan inklusif untuk mengatasi perbedaan ini dan mencapai konsensus yang adil (Habermas, 1996).

Perbedaan budaya sering kali menciptakan hambatan dalam komunikasi dan pemahaman antar kelompok. Setiap budaya memiliki nilai, norma, dan cara pandang yang berbeda terhadap keadilan dan pengambilan keputusan. Misalnya, dalam beberapa budaya, keputusan mungkin lebih dipengaruhi oleh hierarki dan otoritas, sementara dalam budaya lain, partisipasi dan konsensus lebih diutamakan. Hal ini dapat menyebabkan kesalahpahaman dan ketegangan dalam proses deliberasi, terutama ketika kelompok-kelompok ini harus bekerja sama dalam konteks internasional.

Selain itu, kepentingan politik yang berbeda juga dapat menghambat proses deliberasi. Negara-negara dengan kepentingan politik yang beragam mungkin memiliki prioritas yang berbeda dalam negosiasi internasional. Misalnya, negara-negara maju mungkin lebih fokus pada stabilitas ekonomi dan keamanan, sementara negara-negara berkembang lebih menekankan pada pengentasan kemiskinan dan pembangunan berkelanjutan. Perbedaan ini dapat menyebabkan kebuntuan dalam negosiasi dan menghambat tercapainya kesepakatan yang adil.

Dari perspektif ekonomi, ketimpangan dalam kekuatan ekonomi antar negara juga dapat mempengaruhi proses deliberasi. Negara-negara dengan ekonomi yang lebih kuat sering kali memiliki pengaruh yang lebih besar dalam negosiasi internasional, yang dapat mengarah pada kebijakan yang lebih menguntungkan mereka. Hal ini dapat menimbulkan rasa ketidakadilan dan ketidakpuasan di antara negara-negara yang lebih lemah secara ekonomi, yang merasa bahwa suara mereka tidak didengar atau dipertimbangkan dengan serius.

Untuk mengatasi tantangan-tantangan ini, penting untuk menciptakan ruang di mana semua suara dapat didengar dan dipertimbangkan. Habermas menekankan pentingnya diskursus publik yang inklusif, di mana semua pihak dapat berpartisipasi secara setara dan bebas dari dominasi (Habermas, 1996). Ini memerlukan komitmen untuk mendengarkan dan menghargai perspektif yang berbeda, serta kesediaan untuk berkompromi dan mencari solusi bersama.

Selain itu, pendidikan dan peningkatan kesadaran tentang pentingnya keadilan deliberatif dapat membantu mengurangi hambatan budaya dan politik. Dengan memahami nilai-nilai dan kepentingan masing-masing pihak, proses deliberasi dapat menjadi lebih konstruktif dan produktif. Ini juga memerlukan dukungan dari lembaga internasional untuk memfasilitasi dialog dan mediasi antara pihak-pihak yang berbeda.

Secara keseluruhan, meskipun tantangan dalam penerapan keadilan deliberatif cukup besar, dengan pendekatan yang tepat dan komitmen untuk inklusivitas, masyarakat internasional dapat bekerja menuju sistem yang lebih adil dan berkelanjutan.

3. BAGAIMANA (HOW)

Penerapan pemikiran Habermas dalam kebijakan pajak internasional dapat dilakukan dengan beberapa cara.

Sumber : Prof. Apollo
Sumber : Prof. Apollo

Diskursus Publik

Diskursus publik adalah inti dari keadilan deliberatif yang dikemukakan oleh Jürgen Habermas. Dalam bukunya "Between Facts and Norms," Habermas menekankan pentingnya dialog terbuka di mana semua kelompok dapat menyuarakan pandangan mereka. Diskursus publik melibatkan proses komunikasi yang rasional dan inklusif, di mana setiap individu memiliki kesempatan untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka (Habermas, 1996).

Proses ini menuntut adanya ruang di mana perbedaan dapat didengar dan dihargai. Dalam konteks masyarakat yang plural, perbedaan budaya, agama, dan pandangan politik sering kali menjadi sumber konflik. Namun, melalui diskursus publik, perbedaan ini dapat menjadi sumber kekuatan, di mana berbagai perspektif dapat dipertemukan untuk mencari kesamaan dan mencapai konsensus. Ini bukan hanya tentang mendengarkan, tetapi juga tentang menghargai dan memahami posisi orang lain, serta bersedia untuk berkompromi demi kebaikan bersama.

Transformasi Konsep Pra-Politis

Transformasi konsep pra-politis menjadi lebih inklusif adalah salah satu tujuan utama dari keadilan deliberatif. Habermas mengkritik esensialisme dan substansialisme identitas kultural yang sering kali menghambat tercapainya keadilan yang sejati. Dalam pandangannya, keadilan tidak terdapat pada identitas yang sudah ada, tetapi pada "identity in the making," yaitu identitas yang terus berkembang melalui interaksi sosial dan diskursus publik (Habermas, 1996).

Proses ini melibatkan perubahan dari konsep keadilan yang bersifat eksklusif, yang mungkin hanya menguntungkan kelompok tertentu, menjadi konsep yang inklusif dan dapat diterima oleh semua. Ini berarti menggeser fokus dari identitas yang sudah mapan ke identitas yang sedang dibentuk melalui dialog dan interaksi. Dengan demikian, keadilan dapat dicapai melalui proses deliberatif yang menghormati keragaman dan mengakomodasi berbagai kepentingan.

Keadilan dalam Legislasi

Keadilan dalam legislasi adalah aspek penting dari keadilan deliberatif, di mana hukum dan kebijakan harus mencerminkan prinsip-prinsip keadilan yang inklusif dan deliberatif. Habermas berpendapat bahwa hukum harus menjadi produk dari diskursus publik yang melibatkan semua kelompok dalam masyarakat, sehingga hak-hak komunikasi mereka diakui dan dihormati (Habermas, 1996).

Ini berarti bahwa proses legislasi harus transparan dan partisipatif, memungkinkan semua kelompok untuk berkontribusi dalam pembentukan hukum. Dengan cara ini, hukum tidak hanya menjadi alat untuk mengatur masyarakat, tetapi juga menjadi sarana untuk mencapai keadilan sosial. Legislasi yang adil harus mencerminkan keragaman masyarakat dan memastikan bahwa semua individu memiliki hak yang sama untuk berpartisipasi dalam kehidupan publik.

Pajak Internasional

Pajak internasional adalah salah satu bidang di mana prinsip keadilan deliberatif dapat diterapkan untuk merancang sistem yang lebih adil. Dalam konteks globalisasi, di mana perusahaan multinasional dapat dengan mudah mengalihkan keuntungan mereka ke yurisdiksi dengan pajak rendah, sistem pajak internasional yang adil menjadi semakin penting. Habermas menekankan pentingnya menggunakan prinsip keadilan deliberatif untuk memastikan bahwa sistem pajak internasional mempertimbangkan kepentingan semua negara dan kelompok sosial (Habermas, 1996).

Ini berarti bahwa kebijakan pajak internasional harus dirancang melalui proses deliberatif yang melibatkan semua negara, terutama negara-negara berkembang yang sering kali dirugikan oleh praktik penghindaran pajak. Dengan melibatkan semua pihak dalam proses ini, sistem pajak dapat dirancang untuk mencerminkan kepentingan kolektif dan memastikan bahwa semua negara berkontribusi secara adil terhadap pembangunan global. Ini juga mencakup upaya untuk meningkatkan transparansi dan akuntabilitas dalam pelaporan keuangan perusahaan multinasional.


KESIMPULAN

Dalam dunia yang semakin terhubung dan kompleks, keadilan deliberatif, sebagaimana dirumuskan oleh Jürgen Habermas, menawarkan pendekatan yang inovatif dan inklusif untuk mencapai keadilan sosial dan politik. Konsep ini menekankan pentingnya diskursus publik yang rasional dan partisipatif, di mana semua individu dan kelompok memiliki kesempatan yang sama untuk berpartisipasi dalam pengambilan keputusan yang mempengaruhi kehidupan mereka. Dalam konteks globalisasi, keadilan deliberatif menjadi semakin relevan untuk mengatasi tantangan lintas batas seperti pajak internasional, perubahan iklim, dan hak asasi manusia.

Habermas berargumen bahwa keadilan tidak dapat dicapai hanya melalui distribusi sumber daya yang adil, tetapi juga melalui pengakuan dan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan. Ini berarti bahwa semua pihak harus memiliki hak yang sama untuk menyuarakan pandangan mereka dan berpartisipasi dalam diskusi yang mempengaruhi kebijakan publik. Dalam diskursus publik yang ideal, perbedaan budaya, agama, dan pandangan politik tidak menjadi penghalang, tetapi justru menjadi sumber kekuatan yang memperkaya dialog dan memungkinkan tercapainya konsensus yang lebih inklusif.

Dalam konteks pajak internasional, keadilan deliberatif dapat digunakan untuk merancang sistem yang lebih adil dan seimbang. Sistem perpajakan internasional saat ini sering kali tidak adil, dengan banyak perusahaan multinasional yang memanfaatkan celah hukum untuk menghindari kewajiban pajak mereka. Hal ini mengakibatkan kerugian pendapatan yang signifikan bagi negara-negara berkembang, yang sangat bergantung pada pendapatan pajak untuk pembiayaan publik. Dengan menerapkan prinsip-prinsip keadilan deliberatif, negara-negara dapat bekerja sama untuk menciptakan sistem pajak yang mempertimbangkan kepentingan semua pihak, terutama negara-negara berkembang yang sering kali dirugikan oleh praktik penghindaran pajak.

Proses ini melibatkan dialog terbuka di mana semua negara dapat menyuarakan pandangan dan kepentingan mereka. Melalui komunikasi yang berorientasi pada pemahaman bersama, negara-negara dapat mencapai konsensus mengenai peraturan perpajakan yang adil dan efektif. Ini juga memerlukan komitmen untuk mendengarkan dan menghargai perbedaan, serta mencari kesamaan untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan. Dengan cara ini, sistem perpajakan internasional dapat dirancang untuk mencerminkan prinsip-prinsip keadilan deliberatif, yang pada akhirnya akan mendukung pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dan inklusif.

Secara keseluruhan, keadilan deliberatif menawarkan kerangka kerja yang dinamis dan partisipatif untuk mencapai keadilan sosial dan politik dalam masyarakat modern yang kompleks dan beragam. Dengan mengadopsi prinsip-prinsip ini, masyarakat internasional dapat bekerja menuju sistem sosial dan ekonomi yang lebih adil dan berkelanjutan, yang menghormati pluralitas budaya dan memastikan partisipasi yang setara bagi semua individu. Ini menciptakan demokrasi deliberatif yang ideal, di mana keputusan-keputusan penting diambil dengan mempertimbangkan kepentingan semua pihak, dan di mana keadilan tidak hanya tentang distribusi sumber daya, tetapi juga tentang pengakuan dan partisipasi dalam proses pengambilan keputusan.


Sumber:

  • Bohman, James, and Rehg, William (eds.). "Deliberative Democracy: Essays on Reason and Politics." MIT Press, 1997.
  • Chambers, Simone. "Reasonable Democracy: Jürgen Habermas and the Politics of Discourse." Cornell University Press, 1996.
  • Cobham, Alex, and Petr Janský. "Global Distribution of Revenue Loss from Tax Avoidance: Re-estimation and Country Results." United Nations University World Institute for Development Economics Research, 2018.
  • Daito, Apollo. "Keadilan Deliberatif Habermas: The Good vs The Right." (Dokumen yang disusun oleh Dosen Apollo Daito, yang mencakup berbagai konsep keadilan dalam konteks politik dan sosial).
  • Habermas, Jürgen. "Between Facts and Norms: Contributions to a Discourse Theory of Law and Democracy." MIT Press, 1996.
  • OECD. "Addressing Base Erosion and Profit Shifting." OECD Publishing, 2013.
  • Sen, Amartya. "Development as Freedom." Oxford University Press, 1999.
  • Stiglitz, Joseph E. "The Price of Inequality: How Today's Divided Society Endangers Our Future." W.W. Norton & Company, 2012.
  • Sachs, Jeffrey D. "The End of Poverty: Economic Possibilities for Our Time." Penguin Press, 2005.
  • Zucman, Gabriel. "The Hidden Wealth of Nations: The Scourge of Tax Havens." University of Chicago Press, 2015.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun