Mohon tunggu...
Isom Rusydi
Isom Rusydi Mohon Tunggu... Freelance Writer -

Orang Kampung

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

Kelainan Cintanya Rabiah dan Sigmund Freud

5 April 2016   00:12 Diperbarui: 5 April 2016   20:43 74
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Di suatu sore, ufuk menguning dan mengeluarkan pendar merah. Menyalang. Mataku tertegun meneropong gelap yang mulai merayapi langit. Sebentar lagi horison akan tetutup kelam, gumamku dalam hati. Menjelang malam, aku melihat alam yang diperlakukan Tuhan dengan sangat sempurnanya. Aku dé javu. Ingatanku menggerayangi tahun-tahun, memutar sejarah dan kembali ke akhir abad 8 H, ketika seorang perempuan yang masih kecil tersedu menangis.

“Aku merasakan suatu kesedihan yang aneh sekali. Seolah-olah ada suatu jeritan di lubuk hatiku yang menyebabkan aku menangis. Bagaikan suatu munajat dalam pendengaranku yang tidak bisa aku hadapi kecuali dengan mengucurkan air mata.” Jawabnya ketika ditanya Abidah, kakaknya, mengapa ia selalu menangis. Kesedihan yang tak jelas itu baru diketahui  jawabannya ketika sejarah akrab memanggilnya Rabiah al-Adawiyah, seorang putri dari sufi terkenal Ismail al-Adawiyah al-Qishiah.

Perempuan Basrah yang tidak mau menikah ini menjadi lambang untuk memahami cinta dari lini hubungan dengan Tuhan. Ia tidak peduli cinta mau dipahami seperti apa, diperlakukan seperti apa, diungkapan dengan apa. Yang ia tahu cinta dinikmati hanya untuk-Nya, suatu perasaan Cinta Ilahi yang kerap ia ungkapkan dalam bentuk puisi maupun prosa secara filosofis dengan kelindan indah yang akhirnya mengantarkan Rabiah kepada penyaksian dalam kesatuan intuitif.

Aku tahu, cara pengungkapan cinta laiknya Rabiah sudah dilakukan oleh Umar ibn al-Farid, seorang sufi dari Arab, Jalaluddin Rumi dari Persia, al-Hallaj, dan Yahya bin Muadz al-Razi. Mereka semua menggunakan cinta sabagai media untuk mendekatkan diri kepada Tuhan. Namun, Rabiah lain. Ke-lainannya membuatku selalu bertanya-tanya, mengapa dia menggunakan cinta untuk menuju Tuhan.

Rabiah berpuisi;

Aku mengabdi kepada Tuhan

Bukan karena takut neraka...

Bukan pula karena mengharap masuk surga...

Tetapi aku mengabdi karena cintaku pada-Nya

Ya Allah, jika aku menyembah-Mu karena takut neraka

Biarkan aku di dalamnya

Dan jika aku menyembah-Mu karena mengharap surga,

campakkanlah aku darinya

Tetapi , jika aku menyembah-Mu demi Engkau semata

Janganlah engkau enggan memperlihatkan keindahan-Mu yang abadi padaku

Tak butuh apa-apa untuk memahaminya. Cinta tak  perlu dipahami karena cinta bukanlah esensi yang dapat diuraikan dari komposisi genus dan diferensia. Cinta tidak bisa dijelaskan kandungannya, tidak terpasung oleh terma kata. Berharap memahaminya hanya akan menjerumuskan ke dalam jurang ketidakpahaman dan tentunya kebingungan. “Cinta tidak bisa diartikan dengan jelas, bahkan bila diartikan tidak menghasilkan (sesuatu) melainkan menambah kabur dan tidak jelas, (berarti) definisinya adalah cinta itu sendiri,” ujar Ibnu al-Qayyim al-Jauziah.

Seorang penyair bergumam;

Setiap perkataanku berbicara tentang cinta

Tatkala memandanginya, daku tersipu malu

Bahasa mulut memang bisa menerangkan

Tapi bahasa cinta terang tanpa kata-kata

Jelaslah sudah, cinta tidak membutuhkan pemahaman, dia hanya ingin diperlakukan sebagai cinta, bukan sebagai definisi yang akhirnya menyebabkan cinta lari tanpa arah, tanpa landasan, tanpa gairah, tanpa apa-apa. Dan, masya Allah, jika cinta itu digunakan sebagai simbol dari seksualitas—sebuah rasa yang, katanya, merupakan gambaran dari cinta sejati yang berupa kepasrahan kepada pasangan dengan kedok libido.

Barangkali, cinta merupakan puncak pengalaman mistis seorang sufi dengan Tuhan. Kehidupan yang asketis, sepi dari hiruk-pikuk dunia, membuatnya semakin tidak ‘kuat’ menahan kehidupan. Mereka ingin segera ‘mati’. Menemui-Nya. Atau jika tidak, mereka akan memperlakukan makhluk-Nya sebaik mungkin.

Di tempatku menyantri, tidak ada pelajaran khusus cinta. Tidak ada pula yang membahasnya di ruang-ruang musyawarah ketika sekian kitab kuning nan klasik berjejelan bertumpuk menunggu untuk segera dibuka. Begitu juga dengan Kiai. Beliau tidak mengajarkan apa yang disebut cinta dan bagaimana cara memperlakukan ‘makhluk’ satu ini. Bagi beliau, mengajarkan kitab kuning tentang tata cara hidup beragama dan bermasyarakat dengan baik jauh lebih penting.

Karena cinta tak perlu didefinisikan, maka salah satu keluarga Kiaiku mengekspresikan cintanya kepada makhluk Tuhan. Mungkin ini media penyampai kepada Tuhan, gumamku. Kepada santri-santri beliau sangat sayang. Bahkan kepada hewan sekalipun. Ketika kasih sayangnya yang “berlebihan” diekspresikan kepada seekor kucing, kasih sayangnya mungkin dianggap tidak wajar. Ada cerita unik tentang kasih sayang beliau kepada seekor kucing. Beliau memperlakukan kucing laiknya manusia.

Kucing-kucing peliharaannya—sebenarnya kucing terlantar yang dipelihara—sangat banyak. Kucing-kucing itu diberi makan dengan ikan kualitas terbaik. Bahkan, kata santri dekatnya, jika kucing-kucing itu mati, maka mereka akan dikuburkan dengan sangat layaknya. Ketika aku membaca Burdah Keliling[1] pesantren dan melewati belakang rumah Kiai, kuburan-kurburan kecil itu memang benar adanya.

Cerita itu sudah menjadi bukti bahwa Kiai menapaki jalan sufi (asketis) di tengah keramaian zaman. Cerita beliau berkelindan dari kamar ke kamar melengkapi kisah-kisah kedekatan seorang hamba kepada Tuhan yang terserak di lembar-lembar kitab kuning, dalam kajian sufistik dalam Forum Kajian Tasawuf di perpustakaan, juga penuturan santri dekat beliau. Meskipun aku mondok ketika beliau telah tiada, karismanya masih begitu kuat, apalagi berhubungan dengan salat berjamaah, seakan beliau hadir mengawasi kami yang masih belum sempurna salatnya. Sampai kini beliau menjadi bukti dari keimanan (testimony of belief) seorang hamba yang berhasil mengungkapkan hasrat Cinta Ilahi kepada santri-santri dan makhluk Tuhan yang lain. 

Akhirnya, aku tahu mengapa cinta sangat penting bagi kehidupan sufi. Karenanya, cinta menjadi salah satu tema sentral dalam khazanah kehidupan orang-orang yang selalu mencari jalan agar dekat dengan-Nya. Jika ditanya siapa orang yang paling tahu tentang cinta di dunia ini, adalah para sufi merupakan manusia yang paling berpengalaman dalam ‘bercinta’ dan mahir mengekspresikannya. Cinta begitu sangat istimewa karena objeknya yang dicinta adalah sang Khalik, Allah. Betapa pentingnya cinta sehingga Syekh Qusyairi an-Naisaburi merasa penting mencantumkan terma cinta dalam kitabnya, Risâlatu al-Qusyairiyah, menjadikan sebagai 49 pilar utama dalam membangun kecintaan, kedekatan, dan keimanan kepada Allah. Mereka (sufi) akan senantiasa mencintai apa yang dicintai-Nya, sebagai sarana mendekatkan diri hingga ke maqam tertinggi pencapaian seorang sufi, bertemu dengan-Nya.

Sebelum aku mengakhiri catatanku, aku ingin berkirim surat kepada Tuan Freud yang ahli psikoanalisis.

Untuk Tuan Freud di London.

Aku ingin mengatakan sesuatu tentang cinta, tuan Freud. Anggaplah surat ini sebagai ketidaksetujuanku terhadap pendapat tuan Freud tentang cintanya seorang yang ingin selalu dekat dengan Tuhan.

Tuan Freud, Anda dan teman Anda, Carl Gustav Jung, mengatakan bahwa cinta seorang sufi merupakan kecenderungan psikologis yang terpasung sebagai luapan emosi seksual yang memuncrat dari jiwa. Karena emosi didorong oleh motif birahi dalam kehidupan manusia. Emosi tak lain dan tak bukan adalah kesadaran seks belaka. Akhirnya, Cinta Ilahi merupakan ekspresi cinta biologis yang timbul dari perjalanan seorang sufi yang sedang mengalami kegagalan biologis. (Duh, sungguh ekstrem pandangan Anda, Tuan Freud).     

Tuan Freud, cinta seorang sufi merupakan emosi—dalam bahasa Arab disebut ‘Athifah—yang melewati berbagai macam fase yang beragam secara terus menerus. Semangat itu merupakan buah dari kepekaan intuitif khusus yang mendorong seorang sufi untuk meraih tujuannya, yakni Allah dan mengetahui hakikat-Nya. Bila tujuan itu sudah tercapai, cinta tak lain merupakan suatu kepatuhan kepada-Nya, membenci sesuatu yang dibenci-Nya, melakukan apapun yang disenangi-Nya, menyerahkan diri dengan penuh kepada-Nya, mengosongkan hati dari apapun selain-Nya.

Allah berfirman, “Katakanlah (Muhammad), apabila kamu sekalian mencintai Allah, maka ikutilah aku, niscaya Allah akan mencintai kamu sekalian.” (QS. Ali Imran: 31)

Tuan Freud, aku ingin mengutipkan sebuah puisi dari Rabiah al-Adawiyah, the mother of benevolence (Ibu Kebajikan), seorang pecinta terkenal, seorang alim, seorang guru, seorang pecinta yang pasrah kepada Tuhannya. Ini puisinya.

Ya Allah apapun yang akan Engkau

karuniakan padaku di dunia ini

berikanlah pada musuh-musuh-Mu

Dan apapun yang Engkau 

karuniakan padaku di akhirat nanti

berikanlah kepada sahabat-sahabat-Mu

Karena Kau sendiri cukuplah bagiku    

 

[1] Pembacaan kasidah Burdah karangannya Imam al-Bushiri setiap malam Kamis sambil mengelilingi pesantren.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun