Barangkali, cinta merupakan puncak pengalaman mistis seorang sufi dengan Tuhan. Kehidupan yang asketis, sepi dari hiruk-pikuk dunia, membuatnya semakin tidak ‘kuat’ menahan kehidupan. Mereka ingin segera ‘mati’. Menemui-Nya. Atau jika tidak, mereka akan memperlakukan makhluk-Nya sebaik mungkin.
Di tempatku menyantri, tidak ada pelajaran khusus cinta. Tidak ada pula yang membahasnya di ruang-ruang musyawarah ketika sekian kitab kuning nan klasik berjejelan bertumpuk menunggu untuk segera dibuka. Begitu juga dengan Kiai. Beliau tidak mengajarkan apa yang disebut cinta dan bagaimana cara memperlakukan ‘makhluk’ satu ini. Bagi beliau, mengajarkan kitab kuning tentang tata cara hidup beragama dan bermasyarakat dengan baik jauh lebih penting.
Karena cinta tak perlu didefinisikan, maka salah satu keluarga Kiaiku mengekspresikan cintanya kepada makhluk Tuhan. Mungkin ini media penyampai kepada Tuhan, gumamku. Kepada santri-santri beliau sangat sayang. Bahkan kepada hewan sekalipun. Ketika kasih sayangnya yang “berlebihan” diekspresikan kepada seekor kucing, kasih sayangnya mungkin dianggap tidak wajar. Ada cerita unik tentang kasih sayang beliau kepada seekor kucing. Beliau memperlakukan kucing laiknya manusia.
Kucing-kucing peliharaannya—sebenarnya kucing terlantar yang dipelihara—sangat banyak. Kucing-kucing itu diberi makan dengan ikan kualitas terbaik. Bahkan, kata santri dekatnya, jika kucing-kucing itu mati, maka mereka akan dikuburkan dengan sangat layaknya. Ketika aku membaca Burdah Keliling[1] pesantren dan melewati belakang rumah Kiai, kuburan-kurburan kecil itu memang benar adanya.
Cerita itu sudah menjadi bukti bahwa Kiai menapaki jalan sufi (asketis) di tengah keramaian zaman. Cerita beliau berkelindan dari kamar ke kamar melengkapi kisah-kisah kedekatan seorang hamba kepada Tuhan yang terserak di lembar-lembar kitab kuning, dalam kajian sufistik dalam Forum Kajian Tasawuf di perpustakaan, juga penuturan santri dekat beliau. Meskipun aku mondok ketika beliau telah tiada, karismanya masih begitu kuat, apalagi berhubungan dengan salat berjamaah, seakan beliau hadir mengawasi kami yang masih belum sempurna salatnya. Sampai kini beliau menjadi bukti dari keimanan (testimony of belief) seorang hamba yang berhasil mengungkapkan hasrat Cinta Ilahi kepada santri-santri dan makhluk Tuhan yang lain.
Akhirnya, aku tahu mengapa cinta sangat penting bagi kehidupan sufi. Karenanya, cinta menjadi salah satu tema sentral dalam khazanah kehidupan orang-orang yang selalu mencari jalan agar dekat dengan-Nya. Jika ditanya siapa orang yang paling tahu tentang cinta di dunia ini, adalah para sufi merupakan manusia yang paling berpengalaman dalam ‘bercinta’ dan mahir mengekspresikannya. Cinta begitu sangat istimewa karena objeknya yang dicinta adalah sang Khalik, Allah. Betapa pentingnya cinta sehingga Syekh Qusyairi an-Naisaburi merasa penting mencantumkan terma cinta dalam kitabnya, Risâlatu al-Qusyairiyah, menjadikan sebagai 49 pilar utama dalam membangun kecintaan, kedekatan, dan keimanan kepada Allah. Mereka (sufi) akan senantiasa mencintai apa yang dicintai-Nya, sebagai sarana mendekatkan diri hingga ke maqam tertinggi pencapaian seorang sufi, bertemu dengan-Nya.
Sebelum aku mengakhiri catatanku, aku ingin berkirim surat kepada Tuan Freud yang ahli psikoanalisis.
Untuk Tuan Freud di London.
Aku ingin mengatakan sesuatu tentang cinta, tuan Freud. Anggaplah surat ini sebagai ketidaksetujuanku terhadap pendapat tuan Freud tentang cintanya seorang yang ingin selalu dekat dengan Tuhan.
Tuan Freud, Anda dan teman Anda, Carl Gustav Jung, mengatakan bahwa cinta seorang sufi merupakan kecenderungan psikologis yang terpasung sebagai luapan emosi seksual yang memuncrat dari jiwa. Karena emosi didorong oleh motif birahi dalam kehidupan manusia. Emosi tak lain dan tak bukan adalah kesadaran seks belaka. Akhirnya, Cinta Ilahi merupakan ekspresi cinta biologis yang timbul dari perjalanan seorang sufi yang sedang mengalami kegagalan biologis. (Duh, sungguh ekstrem pandangan Anda, Tuan Freud).
Tuan Freud, cinta seorang sufi merupakan emosi—dalam bahasa Arab disebut ‘Athifah—yang melewati berbagai macam fase yang beragam secara terus menerus. Semangat itu merupakan buah dari kepekaan intuitif khusus yang mendorong seorang sufi untuk meraih tujuannya, yakni Allah dan mengetahui hakikat-Nya. Bila tujuan itu sudah tercapai, cinta tak lain merupakan suatu kepatuhan kepada-Nya, membenci sesuatu yang dibenci-Nya, melakukan apapun yang disenangi-Nya, menyerahkan diri dengan penuh kepada-Nya, mengosongkan hati dari apapun selain-Nya.