Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Dongeng Pilihan

Dongeng untuk Jokowi #3: Ini Bukan Hanya Tentang Papua, Pak

28 Desember 2015   05:14 Diperbarui: 29 Desember 2015   06:29 1473
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Setelah mempersiapkan diri, dengan adrenalin bergejolak kutiti satu demi satu ‘tangga’ dari batang pohon yang diukir berlekuk dari rumah pohon tempatku menginap, yang sekilas mengingatkanku pada kegiatan panjat dinding masa sekolah dulu. Hanya saja kali ini jauh lebih tinggi… 50 meter, dan tanpa tali pengaman!

Bersama agen penghubungku, kuhampiri gundukan batu yang mengepulkan asap tersebut, bergabung bersama warga suku paling terpencil dari tak kurang lima puluh klan yang ada, yang telah terlebih dulu hadir melingkari gundukan ‘batu berasap’ tersebut. Dan bersamaan dengan kedatanganku, seseorang yang kuduga Nati (kepala suku) berkata di tengah lingkaran, menggunakan bahasa Awyu-Dumut yang belum pernah kudengar sebelumnya. Sepertinya tengah memberi semacam ‘pidato sambutan’ atas kedatanganku.

“Apa yang beliau katakan?” bisikku pada agen penghubungku.

Nati tengah menjelaskan kepada warganya tentang kehadiran Bapak, yang dikatakan datang dari Indonesia,” jawab agen penghubungku sambil berbisik pula.

Agak terperangah juga aku mendengar penjelasan dari agen penghubungku. Bukankah semua yang hadir dalam pesta bakar batu ini memang tengah berada di Indonesia?

Seperti memahami keherananku, agen penghubungku menggeleng prihatin, dan menjelaskan sambil tetap berbisik bahwa butuh waktu cukup lama untuk menjelaskan kepada mereka, bahkan hanya untuk menjelaskan bahwa Papuapun, masih merupakan bagian dari Indonesia juga.

“Mereka nyaris tak pernah keluar dari hutan tempat tinggal mereka, Pak. Dan di sini juga tak ada sekolah, yang mengajarkan beragam pengetahuan dasar seperti yang biasa dilakukan di tempat-tempat lain. Dan pengetahuan mereka tentang Indonesiapun hanya sebatas dari kami, yang dalam beberapa kali kunjungan selalu memperkenalkan diri sebagai utusan dari Presiden Indonesia.”

Aku mengangguk, dengan pikiran yang berkecamuk tentang tak adanya sekolah serta beberapa garis besar situasi serta kondisi yang berlaku di tempat ini.

Perjamuan kudus telah siap tersaji. Kue sagu bakar yang nyaris sekeras batu, bubur sagu yang mengingatkanku pada lem kertas seharga ‘gocapan’ waktu kecil dulu, beberapa jenis sayur, serta… ulat sagu bakar dibungkus daun sagu! Mengingatkan betapa tepatnya ketidak sukaanku sejak dulu terhadap apapun yang bernama: Pepes.

Agen penghubungku mengangguk mahfum melihat keraguanku, membuatku secepat kilat menyuapkan ulat sagu sebesar-besar jempol itu, langsung ke ujung terdekat tenggorokanku, dan menelannya kuat-kuat sambil merapal mantra, “Ulat sagu adalah makanan penuh gizi yang mengandung saripati sagu!” secara berulang-ulang.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
Mohon tunggu...

Lihat Dongeng Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun