Setelah mempersiapkan diri, dengan adrenalin bergejolak kutiti satu demi satu ‘tangga’ dari batang pohon yang diukir berlekuk dari rumah pohon tempatku menginap, yang sekilas mengingatkanku pada kegiatan panjat dinding masa sekolah dulu. Hanya saja kali ini jauh lebih tinggi… 50 meter, dan tanpa tali pengaman!
“Apa yang beliau katakan?” bisikku pada agen penghubungku.
“Nati tengah menjelaskan kepada warganya tentang kehadiran Bapak, yang dikatakan datang dari Indonesia,” jawab agen penghubungku sambil berbisik pula.
Agak terperangah juga aku mendengar penjelasan dari agen penghubungku. Bukankah semua yang hadir dalam pesta bakar batu ini memang tengah berada di Indonesia?
Seperti memahami keherananku, agen penghubungku menggeleng prihatin, dan menjelaskan sambil tetap berbisik bahwa butuh waktu cukup lama untuk menjelaskan kepada mereka, bahkan hanya untuk menjelaskan bahwa Papuapun, masih merupakan bagian dari Indonesia juga.
“Mereka nyaris tak pernah keluar dari hutan tempat tinggal mereka, Pak. Dan di sini juga tak ada sekolah, yang mengajarkan beragam pengetahuan dasar seperti yang biasa dilakukan di tempat-tempat lain. Dan pengetahuan mereka tentang Indonesiapun hanya sebatas dari kami, yang dalam beberapa kali kunjungan selalu memperkenalkan diri sebagai utusan dari Presiden Indonesia.”
Aku mengangguk, dengan pikiran yang berkecamuk tentang tak adanya sekolah serta beberapa garis besar situasi serta kondisi yang berlaku di tempat ini.
Agen penghubungku mengangguk mahfum melihat keraguanku, membuatku secepat kilat menyuapkan ulat sagu sebesar-besar jempol itu, langsung ke ujung terdekat tenggorokanku, dan menelannya kuat-kuat sambil merapal mantra, “Ulat sagu adalah makanan penuh gizi yang mengandung saripati sagu!” secara berulang-ulang.