“Tulisan yang baik itu, Bapak Penasehat Kepresidenan, harus mampu membangkitkan pembacanya dengan harapan-harapan, dan bukannya justru membunuh mereka dengan hanya berfokus pada masalah, perbedaan atau sekedar berisi tentang ujaran kebencian.”
Aku terdiam. Bagaimana mungkin aku menulis yang indah-indah, sementara kenyataan di luar sana, bahkan jauh lebih tragis dibanding yang sempat kucatat? (Ditulis untuk menemani hari terakhir kunjungan Jokowi Sang Presiden, nun di Kupang sana…^_)
***
Cerita sebelumnya:
Dan di sinilah sekarang aku berada, memandangi hamparan salah satu tanah tersubur yang ada di negeriku dari balik lebat hutan pedalaman Papua, yang tentu saja belum pernah sekalipun mencicipi modernisasi.
Keningku sedikit mengernyit melihat pemukiman suku paling terasing yang baru ditemukan keberadaanya tiga puluh tahun lalu ini, yang kutaksir berada pada pucuk pepohonan lima puluh hingga seratus meter… dari permukaan tanah!
Kutatap agen penghubungku dengan penuh tanya. Laporan apa yang baiknya kubuat untuk Presiden, tentang komunitas suku, yang bahkan tidak mengenakan koteka ini? (#2 Dongeng untuk Jokowi).
***
tak perlu berguru puisi jika cuma untuk mengerti
bendera negeri sendiri