apakah ini cukup: Sepotong sunyi
bagi pelegalan sebuah keterpurukan?**)
“Dia bukan Rhein yang kita kenal,” ucapku ngilu tanpa prolog apapun terlebih dahulu, membuat Ran dan Nina saling bertukar tanya lewat tatap mata.
“Tapi nama dan tanggal lahirnya persis sama, Gie,” Nina mencoba meyakinkan.
“Juga postur dan raut mukanya, serta suara dan mimiknya yang khas saat dia tersenyum,” timpal Ran mencoba menguatkan.
“Tetap saja dia bukan Rhein yang pernah kita kenal,” sangkalku. “Jika dia memang Rhein, mengapa dia tak lagi mengenalimu, Na, dan percaya saja ketika kau kukenalkan sebagai adikku! Padahal kurang akrab bagaimana lagi kita berempat sejak masa sekolah dulu?” tegasku, yang langsung mengkatup paksa bibir Nina yang telah setengah terbuka.
“Dan bukankah Rhein yang kita kenal, tak pernah selemah itu, Ran?” lanjutku.
“Terakhir tadi dia tak lagi terlihat rapuh, Gie, bahkan amat mirip dengan Rhein yang dulu,” Ran mencoba bertahan.
“Tadinya aku sempat merasa seperti itu, Ran. Hanya saja dongeng sakti tentang bulan mati yang terus ia rapal tak henti-henti, membuat gembira luar biasa yang sempat kurasa, langsung lesap hanya dalam hitungan kejap. Memberi tekanan ekstrim hingga kesadaranku turut terenggut dan membuat repot dirimu.”
“Apa salahnya dengan bulan mati, Gie? Bukankah memang filosofinya memiliki daya pikat yang begitu kuat, yang tidak hanya bagi sosok seperti Rhein semata?” kali ini Nina yang bertanya.