Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[Fikber] #3 : Pesan Cinta dari Masa Lalu

15 November 2015   11:29 Diperbarui: 15 November 2015   11:52 609
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Fiksiana. Sumber ilustrasi: PEXELS/Dzenina Lukac

Ahmad Maulana S, No. 03.

telah kuberi aku punya jiwa, tapi
tak ada yang kuberi
karena ternyata
aku tak punya cinta*)

 

“Kau tidak apa-apa, Gie?” tanya Ran dengan amat hati-hati.

Kugoyangkan kepala mengusir sisa berat yang menggelayut. Sepertinya Ran telah membawaku ke kantor, yang memang berjarak tak terlalu jauh dari apartemen Rhein. Dan dari isyarat tangannya, aku mengerti bahwa kami masuk kantor melalui jalur rahasia, yang bahkan tidak seluruh sekuriti kantor mengetahuinya.

“Harusnya kau tak perlu melakukan semua ini, Gie…” sesal Ran, yang langsung kupotong dengan gelengan kepala.

“Kau orang yang paling tahu bagaimana dan untuk siapa aku bisa berhasil memiliki semua ini, Ran. Dan relakah kau, jika setelah semua yang telah kulakukan dengan amat berdarah-darah ini, seumur hidup aku harus tinggal bersama serta berpura-pura mencintai perempuan yang sama sekali tidak kukenal?”

Sesaat Ran terlihat ragu, sebelum akhirnya hanya bisa mengangguk pasrah.

“Panggil Nina ke ruangan, Ran, ada yang perlu kita bahas secara tuntas hari ini juga,” ucapku dengan suara yang terdengar begitu lelah.

***

 

apakah ini cukup: Sepotong sunyi

bagi pelegalan sebuah keterpurukan?**)

 

“Dia bukan Rhein yang kita kenal,” ucapku ngilu tanpa prolog apapun terlebih dahulu, membuat Ran dan Nina saling bertukar tanya lewat tatap mata.

“Tapi nama dan tanggal lahirnya persis sama, Gie,” Nina mencoba meyakinkan.

“Juga postur dan raut mukanya, serta suara dan mimiknya yang khas saat dia tersenyum,” timpal Ran mencoba menguatkan.

“Tetap saja dia bukan Rhein yang pernah kita kenal,” sangkalku. “Jika dia memang Rhein, mengapa dia tak lagi mengenalimu, Na, dan percaya saja ketika kau kukenalkan sebagai adikku! Padahal kurang akrab bagaimana lagi kita berempat sejak masa sekolah dulu?” tegasku, yang langsung mengkatup paksa bibir Nina yang telah setengah terbuka.

“Dan bukankah Rhein yang kita kenal, tak pernah selemah itu, Ran?” lanjutku.

“Terakhir tadi dia tak lagi terlihat rapuh, Gie, bahkan amat mirip dengan Rhein yang dulu,” Ran mencoba bertahan.

“Tadinya aku sempat merasa seperti itu, Ran. Hanya saja dongeng sakti tentang bulan mati yang terus ia rapal tak henti-henti, membuat gembira luar biasa yang sempat kurasa, langsung lesap hanya dalam hitungan kejap. Memberi tekanan ekstrim hingga kesadaranku turut terenggut dan membuat repot dirimu.”

“Apa salahnya dengan bulan mati, Gie? Bukankah memang filosofinya memiliki daya pikat yang begitu kuat, yang tidak hanya bagi sosok seperti Rhein semata?” kali ini Nina yang bertanya.

“Mungkin penafsiranmu benar, Na. Hanya saja bagi Rhein dan aku, bulan mati tak lebih sekedar dongeng kerdil para pecundang, yang terus memimpikan datangnya hari baru dengan penuh harap, demi penukar waktu yang mereka lalui dengan penuh kelam.” sahutku, yang setelah menghela napas sejenak, kembali kubocorkan rahasia kecil antara aku dan Rhein.

“Karena kami lebih menggilai malam bersimbah hujan. Memetiki satu demi satu rindu yang meluruh di setiap tetesnya, yang dengannya kami coba simpulkan: Berapa pastinya jumlah cinta yang berhasil kami peroleh, dari butir-butir rasa yang berhasil kami tampung melalui pandang mata.”

Kembali kuhela napas amat perlahan. Berat juga panjang.

“Dan ketika seseorang telah menapaki jalan cinta yang seperti itu, dapatkah dia kemudian mudah tergiur untuk berpaling, sementara hujan selalu setia menyampai titik-titik ritmis bagi segala keluh kalbu?”

“Adakah kemungkinan Rhein mengalami trauma pasca kecelakaan pesawat, Gie, yang membuatnya kehilangan sebagian ingatan? Karena berdasarkan penelusuranku pada lokasi sekitar kecelakaan dua tahun terakhir, hanya ada satu nama Rhein yang berhasil kutemukan.”

Kugelengkan kepala dengan amat perlahan, membuat Ran dan Nina terdiam dengan sorot mata yang amat tak puas.

Tapi aku tak mempedulikannya. Hatiku lelah. Terutama sekali setelah kuhabiskan begitu banyak tahun, hanya untuk bertaruh kepada harapan, yang lantas berakhir penuh kesia-siaan.

“Kupercayakan segala urusan perusahaan ini kepadamu, Ran. Sementara kau Nina, tolong bilang pada Mr. J, agar paling lambat senin ini Rhein sudah dimutasi ke luar kota,” putusku mengakhiri rapat.

“Dan ada baiknya kau berikan kunci duplikat apartemen Rhein kepada Ran, Na, barangkali kelak akan lebih berguna di tangannya.”

Kutinggalkan kantor dengan penuh rasa masygul, yang entah sementara atau mngkin juga selamanya. Perusahaan yang memang kubangun sejak mula hanya untuk Rhein, dan bukan demi yang lainnya.

***

 

berenang terlalu jauh

gejolak duka, irisan – irisan perih

tajam pedih yang gigih

 

kuhabiskan hidup dengan terus berlari!

 

ah, aku hanya ingin dipeluk

dengan cinta**)

 

Di kota ini aku kembali menjelma angin. Terbang kesana-kemari, berkelana mencari mimpi, sambil sesekali menghirupi aroma keindahan lalu mengembara bersama kesunyian yang kian menghujan. Kesunyian yang terus saja singgah dan membuncah ruah di ruang dada.

Dan baru kutahu sunyi itu diam yang teramat riuh, yang menyimpan jutaan gerak dalam setiap gemingnya. Ternyata butuh ribuan malam terlebih dahulu bagiku untuk mengetahui hal itu. Butuh ribuan sepi terlebih dahulu sebelum aku benar-benar paham, bahwa sunyi… tak lagi cuma sepi yang berserak-porak di sudut hati.

Kutatap baliho pilkada di depanku dengan muak. Alangkah menjijikannya kata-kata yang tertera di sana, mengingatkanku akan percakapan yang terus tak usai berkelindan pada sebuah ruang bernama kenangan, yang selalu hanya berakhir kosong seperti janji yang tertera di tiap baliho.

“Aku tak mau terima kamu apa adanya, Gie. Justru maukah kamu berubah untukku, demi aku? Agar aku tak butuh orang lain. Agar aku hanya punya kamu, seseorang yang dapat aku banggakan. Seseorang yang selalu membuatku nyaman bila berada di sampingnya. Seseorang yang kelak menjagaku, menyayangiku dan mencintaiku sebagaimana aku mencintainya. Seseorang yang kelak akan aku serahkan seluruh hidupku untuknya?”

Tanpa sadar bibirku bergetar membisikkan sebuah jawaban: Aku mau, Rhein…

Langkahku melimbung ketika kenangan yang lain kembali menghampir.

“Kita punya sesuatu yang orang lain tidak punya, Gie. Kita punya cinta, punya orang yang sangat kita cintai dan mencintai kita dengan sepenuh rasa. Aku punya kamu dan kamupun memiliki aku. Dengan semua yang kita miliki ini, tak ada alasan yang dapat menghalangi kita untuk merubah semua… menjadi sebuah kenyataan yang melegakan.”

Dan ketika kenangan selanjutnya menyeruak, spontan bibirku turut serta menggumamkan setiap katanya, lengkap dengan spasi serta jeda yang pernah kau ejakan penuh cinta yang mengharap kepadaku waktu itu.

Tak perlu menjadi segala, Gie. Cukuplah kita melebarkan sayap merangkul semua yang dibutuhkan. Jangan pernah berhenti berpikir untuk maju. Yakinlah, jika kita hari ini kecewa, terluka, terhina, buatlah semua menjadi hanya sebuah kenangan yang tak melenakan. Beri aku sebuah janji, Gie, tentang esok hari yang bukan hanya ilusi...”.

Hingga akhirnya, pada ingatan percakapan yang terakhir aku tak sanggup lagi mengayun kaki. Diam. Tegak menatap langit, mencoba memencarkan rindu sederu dulu yang terus kian menggebu.

Tak pernah ada waktu yang cukup, Gie. Tak ada alasan untuk menunda semua. Kita tak akan pernah siap. Bergeraklah saja, maka dunia akan mengekor di belakang. Tersenyumlah, maka siapapun niscaya akan turut tersenyum. Jikapun itu tak terjadi, jikapun semua meng-kacau, tak perlu khawatir, aku di sini, untukmu, menunggumu… Jika semua meninggalkanmu, tetap aku di sini, menemani serta mendukung semua langkahmu. Dan jika semua kemudian menjadi begitu tak terkendali, jangan pernah ada rasa takut dan khawatir, karena kupastikan aku akan tetap dan terus bersamamu. Aku berjanji, tak akan kubiarkan kau menghadapi semuanya sendiri, Gie, tak akan pernah...”

“Ah, Rhein, tahukah kau bahwa aku, hanya ingin dipeluk oleh dirimu: Dengan cinta.”

 

Secangkir Kopi Pesan Cinta dari Masa Lalu, Thornville-Kompasiana, 15 November 015.

*) Puisi ‘Tapi’ dalam Bercinta dengan Tuhan –koleksi pribadi.

**) Puisi ‘Dalam Kesalah-pahaman’ dalam Di Bawah Kibaran Dosa –koleksi pribadi.

 

Fiksi Bersambung edisi sebelumnya:

#1 : Malam Bulan Mati, Balkon, dan Ciuman.

#2: Bulan Mati di Hati Rheinara.

#3: Pesan Cinta dari Masa Lalu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun