Dear Prof…
Pada saat kau memposting tulisan “Jangan Kaget! Penulis Adalah Pembohong Paling Seronok” yang merupakan tanggapan atas tulisan Ninoy Karundeng beberapa waktu sebelumnya, sebenarnya saya sudah ingin meluncurkan puisi ini, yang sudah sejak 14 tahun yang lalu ngejogrok lusuh kayak kain topo di pinggiran laptop.
Tapi mengingat kau adalah satu dari beberapa rekan kompasianer ‘penggemar’ puisi genre Genk Cinta yang Penuh Konflik yang rutin saya posting pada era awal saya berkompasiana, menghasut saya untuk berkali-kali memupus keinginan tersebut. Lagi pula, saya agak bingung dengan pemilihan bakal calon judulnya, yang diperkirakan akan sangat panjang serta mbulet ga karuan:
Kita Bukan Tuhan: Tanggapan atas Tulisan Pebrianov yang Merupakan Tanggapan Pula dari Tulisan Ninoy Karundeng sebelumnya yang Mestinya Tanggapan juga dari Tulisan Kompasianer Entah Siapa sebelumnya Lagi yang Pastilah Tanggapan atas Tanggapan dari Tulisan Tanggapan dari Tanggapan… (Lanjutkan sendiri sampai bosan… ^_).
Benar-benar sebuah judul yang amat ‘membuat haru’ siapapun yang membacanya. Itupun dengan catatan tidak dihapus oleh admin Kompasiana karena bentuknya yang menyebalkan serta lebih cocok di masukkan ke kolom isi ketimbang judul.
Hingga hari ini, Desol sang pacar fiksimu bersuit nyaring mengumpulkan wadyabalanya guna memeriahkan Peringatan Hari Surat Sedunia, membuat saya langsung kumat penyakit usilnya.
Kali ini menjahili kau, Prof, dengan ramuan huruf yang minim unsur sastra namun semoga cukup ampuh membuatmu gatal tenggorokan, agar tak bisa lagi menulis komentar: “Celeguk!” yang sering membuat saya merasa haus pasca membacanya.
Langsung meluncur ke puisi lawas tersebut, Prof… ^_
kita bukanlah tuhan, Prof
walau hanya, dalam dunia baru
yang terus kita buat
sesuaikan
dengan selera-selera kita yang murahan
kita bukanlah tuhan, Prof
walau kadang tak hanya kesombongan
atau ide-ide aneh
yang selalu kita buat
yang selalu kita paksa untuk lahir
walau secara prematur
lalu secara sadar
serta dengan keangkuhan yang sangat
kita rawat
dengan pupuk tawa jahanam
atau duka nista
dari moral-moral kita yang
tidak akan pernah mati
karena memang tak pernah ada
kita bukanlah tuhan, Prof
karena
tuhanpun bukan kita
walau segalanya hanya tinggal kenangan
atau khayal kosong
yang tak pernah ingin kita acuhkan
walau selalu
gerak langkah kita
melampaui batas sang dia
walau
walau kita hanya seorang sahaya
yang hanya punya sombong
dan kesia-siaan sebagai penopang
kita
bukanlah tuhan
Prof
walau hanya bagi tuhan-tuhan
yang tak pernah berhenti kita cipta
buat dan buat lagi
pada akhirnya
ternyata kita tuhan, Prof
dalam dunia khayal tanpa batas
kekafiran, kafakiran
dan kemurtadan
kemudian kita senang, berdendang
menyanyikan hymne-hymne
tentang kedamaian, dalam tanda kutip
('Kita Bukan Tuhan' dalam Di Bawah Kibaran Dosa, Thornvillage, 14 maret 2001)
Tertanda:
Ahmad Maulana S.
Kepala Suku Genk Cinta yang Penuh Konflik Tahun 2222 SM.
-oOo-
Ikuti Event Surat-menyurat di SINI
Awas! Status ini mengandung fiksi!
Dilarang ‘baper’ alias bawa-bawa perasaan karena dapat menimbulkan efek samping yang agak mengherankan saking ghaibnya…^_
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H