tapi kelak barangkali sempat kau bacai
serenada sedih yang tak sudah ini
tolong, awetkan jasadku, dalam puisi”
Na menyanggah sambil melayang kembali ke dalam sampan, setelah sebelumnya berlarian mengelilingi danau dengan menutul-nutulkan kakinya di atas air seperti capung yang tengah bertelur.
“rintih pedih
bersama langkah tertatih
butir butir sejuk menyerpih
entah, jawabnya sedih
karena memang ku tak pandai mengawet kata penuh buih”
Kembali mereka saling berhadapan. Dan entah siapa yang memulai, ketika tahu-tahu kedua pasang tangan mereka telah saling bertaut erat. Mata memandang mata. Hati menatap hati, membawa serta jutaan mimpi yang berpendar mengelilingi mereka tak ubahnya kerlip begitu banyak kunang-kunang menyusuri malam demi mengurai setiap helai rindu yang datang menyerbu.
#Bay
telah kuberi aku punya jiwa, tapi
tak ada yang kuberi
karena ternyata
aku tak punya jiwa
*Na
semilir sejuknya malam
menemani kelam
sayup terdengar teriakan menggema
yang entah apakah masih punya jiwa