“Kau jangan mati, Na…” kali ini Bay hanya sanggup mengatakannya lewat tatap mata, sebelum semuanya berubah menjadi gelap.
***
Gua Kalimantan, Waktu Indonesia Bagian Lari-lari.
“Dari mana Mbak Hanna tahu saya di sini?” tanya Aldy kepada Hanna Chandra. Sebagai mantan pemimpin sebuah Pang, kepandaiannya memang tak bisa disamakan dengan anak kemarin sore yang baru paham seucap tapi gemar mengumbar omong-kosong berbuku-buku layaknya Trio Warkop DPR. Luka dalamnya membaik dengan amat cepat.
Belum lagi Hanna Chandra menjawab, Aldy telah kembali bertanya, “Mbak Hanna punya kopi, enggak? Dah sejak pertarungan sama Duo Tengik Desol dan Pebri kemarin saya belum ngopi, bikin hidup saya jadi agak hambar. Mana anggota Pang Kehutanan saya diberangus semua pulak, sedih deh…”
Tapi sebelum curcol Aldy semakin seru, Hanna Chandra langsung menjawab agak jutek, “Mas Aldy bagaimana sih, kayak orang benar aja. Masak sempat-sempatnya nanya saya bawa kopi apa enggak? Emangnya saya Kompasianer yang kurang kerjaan apa? Mas Aldy mestinya paham, kalo saya ini terburu-buru datang kemari, murni buat menolong Mas Al? Boro-boro ingat kopi segala macam. Eh, tapi tahu enggak Mas Al, saya ke sini naik Sukhoi, loh… Bahkan sempat terjun bebas dari ketinggian 17.000 meter dan menari di udara dengan ilmu cantik warisan leluhur. Mmmh… saya hebat kan…?” celoteh Hanna Chandra riuh melebihi segerombolan bebek yang berisik memperebutkan dedak seduh, membuat Aldy menggaruk kepalanya yang mendadak gatal karena alih-alih mendapat kopi, justru malah di cap sebagai orang yang agak waras karena minta yang aneh-aneh.
Ternyata keinginan untuk menikmati hal sederhana seperti secangkir kopipun dapat membuat dirinya dicela orang, entah bagaimana pula reaksi yang akan dia terima jika misalnya menginginkan banyak hal yang bukan sekedar kopi. Kemerdekaan sejati, misalnya. Atau pemberantasan kemiskinan serta negeri yang bebas dari asap kebakaran hutan. Akankah dirinya langsung berakhir dipenjara? Atau seketika menyusul takdir Salim Kancil, hanya karena mencoba menyuarakan hak dan kebenaran? Ah…
Baru saja Aldy ingin meminta maaf, ketika Hanna Chandra mendadak tersenyum, membuatnya curiga jangan-jangan Hanna Chandra ini adalah salah satu anggota Planet Kenthir yang postingannya banyak beredar di kolom sembarang.
“Tapi saya bawa es dawet… Asli buatan Mbok Sarungpaet yang terkenal buah cocotannya yang cewakwakan tak karuan itu. Ayo kita nikmati bersama, Mas Al…” Hanna Chandra langsung membuka bungkusan yang tergantung di punggung dan memberi seplastik kecil es dawet kepada Aldy, membuat pendekar rimba ini langsung menepuk jidatnya keras-keras sambil berpikir, sebenarnya siapa yang ‘kayak orang benar’, sih?
“Waduh… saya lupa satu hal, Mas Al. Kita harus buru-buru pergi…!” teriak Hanna Chandra sambil melompat berdiri dan langsung menyeret Aldy berlari mengikutinya, membuat Aldy tersedak es dawet hingga kumis baplangnya belepotan potongan cendol kecil-kecil yang mirip uget-uget itu.