Mohon tunggu...
Ahmad Maulana S
Ahmad Maulana S Mohon Tunggu... Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan -

Founding partner di Lembaga Pendidikan dan Sosial Kemasyarakatan // Penikmat kutak-katik kata yang gemar mengembara dari satu bait ke larik yang lainnya // Cuma seseorang yang ingin menjadi tua tanpa rasa bosan, setelah sebelumnya beranak-pinak seperti marmut atau cecurut // Salam hangat persahabatan...^_

Selanjutnya

Tutup

Fiksiana

[KC] Cinta dalam Secangkir Hujan

2 Oktober 2015   11:39 Diperbarui: 2 Oktober 2015   11:39 687
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Ahmad Maulana S, No. 9.

 

Kopi yang baik selalu berhasil membuatmu terjaga. Jika kau penikmat kopi sejati, niscaya kau akan memahami, bahwa cinta yang memberimu getir berulang kali justru mengasah bathinmu untuk tetap terbuka…

 

***

“Di sinilah kami sekarang berada, Bay, pada sebuah persimpangan di sudut hati. Dan dongeng tentang lalat cintamu waktu itu, amat berhasil membuatku tertekan,” ucapmu, melanjut kembali obrolan tentang hujan pada pagi yang lewat.

Kualihkan pandang dari laptop tua di depanku, mencoba memaknai lagi senja di teras yang entah mengapa tiba-tiba menjadi amat tua.

“Hari ini Jakarta kembali hujan, Rin,” ketikku singkat, berusaha mengalihkan aura sendu yang memancar dari tulisanmu di ruang pesan.

“Agaknya Jakarta lebih memahami perasaan wanita,” kembali pesanmu masuk, dan kembali aku terseret ke dalam lingkaran.

“Tak semua mesti dibaca sebagai hujan, Rin,” kilahku.

“Salahkah hujan, Bay,” sendumu. “Salahkah jika semua kumaknai hanya sebagai hujan?”

“Kau yakin dengan pilihan hujanmu saat ini?” raguku.

“Aku tak tahu, Bay. Barangkali dia memang belum hujan. Dan barangkali pula, dia tak lebih dari sepercik gerimis, yang tak akan pernah mampu menjelma hujan.”

 

***

Pagi yang basah. Dari sudut teras kulihat air mulai menggenang di beberapa tempat. Semoga hujan kali ini tak membawa banjir, doaku.

Ada pesan masuk. Dari Rin.

“Kami berselisih paham, Bay.”

Belum sempat kujawab ketika sebuah pesan kembali menyusul.

“Aku cuti minggu ini. Mungkin malam nanti sudah tiba di tempatmu.”

Kuteguk kopi hitam di cangkir. Agak masam. Kabarnya rasa kopi asli Banyuwangi memang seperti ini.

Kupikir ini cuma kesalahan pengolahan. Barangkali penyimpanan biji kopinya yang terlalu gegas, penjemurannya yang kurang kering, atau bisa jadi, proses pengosengannya menggunakan api teramat lilin, hanya demi meratanya hitam tanpa hangus, mengakibatkan tak sempurnanya pelepasan kandungan asam yang ada di setiap bijinya.

Kembali kusesap kopi, sebelum mengetik pesan super singkat: Ya.

Malamnya, sepasang cangkir kopi menemani cengkerama kami. Hanya kopi. Tanpa penganan kecil apapun. Juga tanpa gadged serta benda elektronik lainnya.

Tadinya kupikir akan lebih harmonis jika kutambah sebatang lilin di meja sebagai penerang. Hanya saja ingatan akan pesan terakhirnya yang muram, memaksaku menepis khayal manis nan romantis yang menyelinap di angan barusan.

“Mengapa interaksi kita melulu diwarnai hujan, Bay?” tanyamu, mencoba untuk melucu.

“Karena ini memang musim hujan,” sahutku getas, enggan mendramatisir suasana.

“Sejak kapan musim menjadi begitu teratur,” senyummu.

“Sejak kau selalu mengundangnya melalui percakapan tentang hujan” getirku.

Kau terdiam. Menghela nafas.

“Kopimu agak masam,” lanjutmu usai diam yang agak redam.

“Kabarnya memang seperti itu rasa kopi asli dari perkebunan,” aku mengulang jawaban si pemberi kopi, yang bahkan hingga detik ini tak pernah mampu kupercayai kebenarannya.

“Oh, ya? Kupikir itu bukanlah jawaban yang baik, Bay, karena dari petualangan kopiku selama ini, rasa masam biasa terjadi karena ini dan ini, seperti pada kopi ini dan ini, sementara untuk kopi ini dan ini justru ini dan ini lalu begini…” celotehmu riuh mengagetkanku, karena tak menyangka pengalaman kopimu jauh melebihi pengetahuanku.

Kikik kecil melompat dari mulutmu melihat takjubku. Sayangnya kikik yang tak bertahan lama, yang kembali bermimikri menuju kesedihan yang sedia kala.

Hujan seringkali membingungkanku, Bay.” Ucapmu sambil memutar-mutar cangkir kopi, sebelum akhirnya menyesap dengan gerakan yang amat perlahan.

“Barangkali aku memang tak akan pernah bisa untuk memahami hujan, karena yang kutahu, aku teramat merindukan hujan.”

“Tapi pilihan hujanmu selalu keliru, Rin.”

“Aku tak tahu, Bay. Aku menikmati hujan yang kini.”

“Bukankah usianya terpaut jauh denganmu, Rin? Juga status sosial dan pekerjaannya?”

“Pernahkah kau dengar cinta peduli dengan rupa atau raga, Bay? Atau usia… juga kasta?”

Aku terdiam. Cinta memang umumnya tak memiliki logika, selain logika cinta itu sendiri.

“Aku tahu kecurigaanmu yang menganggapnya sekedar memanfaatkan uang dan posisiku. Dan aku amat berterima kasih atas kepedulianmu, sejak kita masih sekolah dulu.”

Sekilas kulihat ada binar yang berkelebat di mata Rin saat melafadzkan kalimat terakhir tersebut. Binar yang selalu ragu kutafsir lebih selain tulus persahabatan. Walau jika boleh jujur, aku merindukan binar itu sejak dulu. Binar yang kerap terpancar saat menghabiskan waktu bersamaku.

 

***

“Mengapa tak sekalipun kudengar kau menjalin hubungan, Bay? Seperti apa sebenarnya tipe wanita idealmu?” tanyamu, sesaat sebelum mengakhiri perjamuan kopi yang penuh nuansa hujan itu. Kembali kutangkap kelebat yang sama di kerlip matamu.

“Seperti apa tanyamu, Rin? Tentu saja seperti dirimu… Seperti dirimu yang dulu, kini juga nanti. Tak lebih dan tak kurang.”

Tapi Rin tak akan pernah mendengarnya, karena hujan telah mengiringi kepergiannya bersama derai yang kini memercik sunyi. Rin yang tak ubahnya langit tempatku diam-diam menggantung awan kenangan. Rin yang serupa mimpi buah jutaan pendar indah yang terus mengerlip di kesendirianku. Rin yang serupa api unggun tempatku membakar seluruh keluh dan membiarkannya membumbung menjadi asap harapan. Rin… yang kini kembali berlalu ditelan hujan, tanpa aku pernah menyatakan apapun.

Saat kita mencintai seseorang, kita tidak pernah diberitahu bagaimana cara mencintai yang sebenarnya cinta. Karena cinta memang tidak pernah mengajari apapun tentang cinta itu sendiri.

Jika ada yang tahu cara memahami wanita ataupun cinta, tolong hubungi aku.

***********

 

*) Untuk membaca karya peserta lain silahkan menuju akun Fiksiana Community (disini)

**) Silahkan bergabung di FB Fiksiana Community (disini)

 

Sumber gambar: bumigonjangganjing.blogspot.com.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Fiksiana Selengkapnya
Lihat Fiksiana Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun